Jumat 25 Jan 2019 08:34 WIB

Ba’asyir dan Subaltern

Istilah subaltern pertama kali diperkenalkan oleh Antonio Gramsci

Ustaz Baasyir (ilustrasi)
Foto: Republika TV
Ustaz Baasyir (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wim Tohari Daniealdi, Staf Pengajar di FISIP, Universitas Pasundan, Bandung

Pada Jumat, 18 Januari 2019, Abu Bakar Ba’asyir dinyatakan bebas oleh pemerintah. Keputusan ini langsung mengundang tanda tanya, mengingat salah satu sosok yang dianggap ideolog dan gembong teroris itu divonis 15 tahun penjara oleh pengadilan pada 2011.

Dengan demikian, secara keseluruhan Ba’asyir baru menjalani sekitar delapan tahun masa tahanannya. Hal ini jelas melahirkan spekulasi, ada motif politik di balik keputusan agak janggal ini. Terlebih, lahirnya keputusan ini justru terjadi di tengah dinamika persaingan pilpres.

Namun, sebagaimana dikatakan Yusril Ihza Mahendra, utusan penasihat hukum Jokowi-Ma’ruf Amin, keputusan ini lahir berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dan usia Ba’asyir yang sudah lanjut.

Di samping itu, ada juga pertimbangan bahwa Ba’asyir merupakan seorang ulama yang cukup dihormati. Anehnya, hanya berselang tiga hari setelahnya atau pada 21 Januari 2019, keputusan bebas tersebut ditarik kembali (atau ditunda) oleh Menkopolhukam Wiranto.

Dalam jumpa persnya, Wiranto menyatakan alasan pembatalan tersebut karena pemerintah masih harus mengkaji lebih jauh, baik dari segi hukum, politik, maupun lain-lainnya.

Namun, terlepas dari kontroversi hukum dan politik yang melatarbelakangi keputusan tersebut, dilihat dari perspektif lebih luas, sebenarnya keputusan pertama yang mempertimbangkan alasan kemanusiaan adalah satu hal yang patut diapresiasi.

Pertimbangan tersebut nyaris tidak pernah kita temui dalam kasus-kasus besar semacam ini. Lebih jauh, munculnya pertimbangan itu jelas sebuah pertanda baik, bahwa negara sudah membuka dirinya seluas mungkin untuk juga mendengar suara subaltern.

Di mana, selama lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, suara-suara ini nyaris tidak mungkin masuk dalam ruang kedap udara struktur hegemoni negara.

Suara subaltern

Istilah subaltern pertama kali diperkenalkan oleh Antonio Gramsci dalam artikelnya yang berjudul "Note on Italian History" yang kemudian dikenal luas dengan buku Prison Notebook.

Subaltern yang dimaksud oleh Gramsci adalah semua kelas individual ataupun kelompok yang berada di bagian bawah struktur sosial atau bahkan berada di luar wilayah sosial. Mereka ini merupakan bagian partikular dari masyarakat yang mengalami penderitaan di bawah hegemoni kelas elite berkuasa yang menolak hak dasar mereka berpartisipasi dalam membuat sejarah lokal dan kebudayaan sebagai individu yang aktif di dalam negara. (Antonio Gramsci: 1975)

Selain buruh dan petani, dewasa ini, korban HAM, kelompok minoritas, teroris, separatis, dan narapidana dapat juga dimasukkan dalam kelompok subaltern ini. Karena suara mereka tidak mungkin bisa diungkap apalagi didengar, disebabkan oleh berbagai labelisasi sebagai 'kriminal', 'perusuh', 'sesat', atau 'sampah masyarakat', yang sudah telanjur mereka sandang.

Namun, menurut Gramsci, untuk membangun sebuah bangsa, sejarah bangsa tersebut haruslah terbangun utuh dengan narasi dari semua lini dan kelas. Sejarah tidak bisa hanya dituturkan para pemenang atau kelompok elite yang hegemonik.

Suara-suara dari kelompok yang kalah, bersalah, dan terpinggirkan juga perlu diberi ruang, agar narasi sejarah dapat dilihat secara utuh. Di sinilah urgensinya suara-suara subaltern. Bicara tentang suara subaltern, kita tidak sedang bicara benar-salah atau baik-buruk.

Namun, kita sedang bicara tentang hak-hak manusia paling asasi, yaitu untuk menyampaikan pendapatnya secara otonom dan merdeka, tanpa takut akan terancam martabat, hak hidup, dan kebebasannya. Dalam studi lebih jauh, Gayatri C Spivak, dalam jurnalnya yang berjudul “Can the Subaltern Speak?” menjelaskan, betapa sulitnya suara-suara subaltern ini bisa dikemukakan. Demikian banyak hambatan hegemonik yang harus dilompati untuk suara ini bisa didengar secara utuh, tanpa tercampur oleh pengaruh kepentingan kelompok hegemoni (Gayatri C. Spivak: 1992).

Ini disebabkan subaltern dan hegemonic power hakikatnya berada pada ruang identitas terpisah (seperti hewan dengan manusia). Meski subaltern berteriak sekeras apa pun, suara mereka tidak akan bisa dipahami kelompok hegemonik, bahkan terdengar asing. Hegemoni, pada hakikatnya adalah penguasaan terhadap nilai moral dan intelektual oleh satu kelas elite masyarakat, di mana pada tahap selanjutnya, sistem penguasaan ini diinstitusionalisasikan dalam bentuk negara.

Maka untuk bisa dikatakan baik dan benar, suara subaltern haruslah memenuhi kriteria 'benar' menurut negara. Caranya, dengan menggunakan saluran yang sah serta dengan metodologi dan aturan penyampainya yang sah pula.

Bila tidak, suara-suara ini hanya dianggap sebagai 'isapan jempol' dan kehilangan objektivitasnya, sebab tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kalaupun pada akhirnya suara ini bisa keluar, kondisi informasinya mungkin sudah tidak utuh.

Dengan kata lain, individu ataupun kelompok subaltern ini haruslah bersedia masuk dulu dalam ruang hegemonik agar aspirasinya, informasinya, serta tuntutannya menjadi benar dan bisa diterima. Tapi hasilnya, tentu telah disesuaikan dengan keinginan penguasa.

Sebagaimana kita ketahui, negara ini masih memiliki begitu banyak daftar kasus yang tak tersentuh hukum. Namun, setiap cerita ini hanya bisa diratapi setiap tahunnya sebab suara-suara mereka hilang dalam keriuhan dinamika politik dan perebutan kekuasaan.

Kasus penculikan dan pembunuhan aktivis 98 atau Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang sampai hari ini tidak diketahui hasil temuannya, serta kasus Haris Azhar yang dilaporkan oleh BNN, Polri, dan TNI terkait surat elektroniknya tentang pengakuan Fredy Budiman beberapa tahun lalu bisa juga dijadikan contoh bagaimana struktur hegemonik ini bekerja.

Berangkat dari hal tersebut, kita tentu menyambut baik dan menilai luar biasa keputusan pemerintah membebaskan Ba’asyir dengan alasan kemanusiaan. Silogismenya sederhana, bila untuk terpidana teroris seperti Abu Bakar Ba’asyir saja pertimbangan kemanusiaan bisa muncul, apalagi dengan warga negara lain, khususnya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang hingga hari ini masih mencari keadilan.

Dengan demikian, terlepas dari kontroversi hukum dan politik yang melatarinya, seiring dicabutnya keputusan bebas Ba’asyir, patut diduga, jangan-jangan pemerintah tidak siap dengan semua konsekuensi dari keputusan pertama. Di mana pemerintah akan dituntut untuk konsisten dengan tindakannya, dan diharapkan segera melakukan hal yang sama, dengan pertimbangan yang sama, pada setiap warga negara. Wallahu’alam bi Sawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement