Ahad 27 Jan 2019 01:38 WIB

Indonesia tak Lagi Menarik Bagi Investor Migas?

Ranking Indonesia ini masih kalah dari Malaysia.

Nidia Zuraya
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi investasi dari sektor minyak dan gas bumi (migas) pada 2018 sebesar 12,3 miliar dolar AS. Nilai itu lebih rendah dari target yang dipatok 17,04 miliar dolar AS.

Bukan kali ini saja target investasi di sektor migas meleset. Pada tahun 2017, target pencapaian investasi migas dipatok sebesar 15,28 miliar dolar AS, namun realisasinya hingga akhir tahun hanya mencapai 10,175 miliar dolar AS.

Data statistik menunjukkan sejak tahun 2014 rapor investasi migas di Indonesia merah. Tahun 2014, investasinya mencapai 21,7 miliar dolar AS, kemudian turun menjadi 17,9 miliar dolar AS pada tahun 2015 dan turun lagi menjadi 12,7 miliar dolar AS pada 2016 silam.

Penurunan investasi ini justru terjadi di saat harga minyak mengalami tren kenaikan. Jika mengacu data Kementerian ESDM, harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir.

Tahun 2016, rata-rata harga minyak Indonesia sebesar 35,46 dolar AS per barel. Tahun 2017, rata-rata harganya meningkat menjadi 51,15 dolar AS per barel.

Rapor merah investasi di sektor migas Indonesia juga disorot oleh lembaga penelitian dunia, Fraser Institute, baru-baru ini. Lembaga penelitian independen yang berpusat di Kanada ini merilis hasil penelitiannya yang berjudul Global Petroleum Survey 2018.

Penelitian tersebut memaparkan hasil survei yang mereka lakukan terhadap perusahaan-perusahaan migas di dunia. Perusahaan yang dipilih dalam penelitian ini sekitar 57 persen di antaranya terlibat aktif dalam kegiatan eksplorasi dan pengembangan minyak. Sementara 41 persen aktif melakukan kegiatan eksporasi dan pengembangan gas.

Survei dilakukan untuk mendapatkan nilai Policy Perception Indeks (PPI) yang menyatakan tingkat ketertarikan untuk berinvestasi pada sektor eksplorasi dan produksi migas di suatu daerah yang memiliki cadangan minyak dan gas bumi.

Nilai PPI bervariasi dari 0 hingga 100. Semakin besar nilai PPI, menunjukkan ketertarikan yang tinggi responden untuk berinvestasi.

 

Dalam penelitian tersebut Indonesia termasuk dalam golongan wilayah yang memiliki cadangan migas terbesar, yaitu sebesar 21,92 milar barel setara minyak (bboe). Namun, sayangnya, Indonesia berada di ranking 10 dari bawah atau urutan ke-71 dengan nilai PPI 47,16.

Ranking Indonesia ini masih kalah dari Malaysia yang bertengger di posisi 49. Dari hasil survei Fraser Institute, Malaysia mendapatkan nilai 64,52.

Mengapa Indonesia dipandang kurang menarik untuk menanamkan investasi di sektor eksplorasi dan produksi migas? Menurut penelitian ini, beberapa penyebab paling dominan adalah peraturan migas di Indonesia yang cenderung berubah-ubah.

Hasil survei ini menyoroti soal sistem kontrak gross split yang dirancang dengan buruk membuat investor kecewa, selain proses regulasi yang tidak pasti dan bias. Sejak 2017, Kementerian ESDM mulai mencanangkan perubahan sistem kontrak, dari sebelumnya menggunakan sistem cost recovery berubah menjadi gross split.

Skema gross split merupakan perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor migas yang diperhitungkan di muka dengan biaya operasi sepenuhnya ditanggung kontraktor. Skema ini berbeda dengan skema cost recovery yang biaya operasinya ditanggung oleh negara.

Perubahan sistem kontrak ini tentunya akan membuat investor berhitung ulang. Perubahan peraturan artinya perusahaan harus mengatur ulang skema operasi hingga aliran dana.

Selain itu kalangan investor juga banyak yang memilih mengambil sikap wait and see di tahun politik ini. Apalagi hingga kini Rancangan Undang Undang (RUU) Migas sejak dibahas tahun 2016 lalu, hingga saat ini belum juga ketok palu. Padahal UU Migas ini sangat penting untuk kepastian berinvestasi.

Tak hanya itu, berdasarkan aturan main yang berlaku di Indonesia selama ini, regulasi mengenai kontrak investasi sektor migas diatur oleh peraturan Menteri ESDM. Artinya, bila menterinya berubah, peraturan juga bisa cepat berubah.

Padahal, bila ingin iklim investasi diminati, kepastian soal regulasi pemerintah adalah prioritas utama yang harus dibenahi. Salah satu terobosan yang bisa dilakukan pemerintah, misalnya, dengan menjadikan sistem perizinan di industri hulu migas menjadi satu pintu. 

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement