Senin 21 Jan 2019 00:07 WIB

Katanya Mau Merebut Suara Milenial, Tapi Kok…

Jangan biarkan generasi muda apatis dengan rentetan debat pilpres yang terkesan receh

Reiny Dwinanda, wartawan Republika
Foto: Dokumen pribadi
Reiny Dwinanda, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*

Debat pilpres 2019 putaran pertama masih terus diperbincangkan meski telah berlalu beberapa hari. Nada kecewa juga terdengar dari kalangan milenial. Padahal, merekalah yang suaranya paling menentukan.

Saat bicara tentang penegakan hukum, korupsi, terorisme, dan hak asasi manusia, kedua pasang calon presiden dan calon wakil presiden luput memerhatikan tema itu dari sudut kepentingan milenial. Hal-hal yang menjadi materi debat penting bagi seluruh lapisan masyarakat, tetapi pernyataan-pernyataan yang muncul belum secara spesifik mengangkat persoalan yang bersentuhan langsung dengan milenial dan demi milenial.

Seorang pemuda Jakarta yang baru dua tahun resmi ber-KTP mengeluhkan tak disinggungnya program pemberantasan narkoba. Satu poin ini saja, menurutnya, berkaitan erat dengan perlindungan hak asasinya, sebagai bagian dari penegakan hukum sekaligus pemberantasan korupsi. Di matanya, bandar narkoba ialah teroris sejati. Dia telah menyaksikan sendiri betapa narkoba telah merenggut kebebasan, masa depan, dan bahkan nyawa sejumlah kawannya.

Dia gusar melihat temannya yang terbelit masalah hukum akibat narkoba. Begitu ditangkap sebagai tersangka bandar, disidang, hingga mendekam di bui, ia dengar keluarga kawannya terpontang-panting mencari uang yang harus disetorkan ke oknum penegak hukum. Ketika saya tanya untuk apa itu, dengan cepat dia bilang, "Itu rahasia umum!”

Pikiran saya lalu terbawa ke pilpres di Amerika Serikat tahun 1996. Kala itu, remaja dan mereka yang berumur 20-an menjadi penentu. Bob Dole dalam kunjungannya ke Chaminade College Preparatory High School disebut gagal menarik atensi generasi MTV.

Di hadapan pelajar Chaminade, penantang Bill Clinton itu berbicara tentang narkoba yang sedang menjadi isu terpanas di Amerika. Akan tetapi, Dole malah mengulasnya dari sisi pengasuhan, bukan pesan antinarkoba untuk anak muda.

Dole hanya berpesan, "Pokoknya jangan pakai narkoba". Siswa-siswa yang sudah bergaya hidup menjauhi miras dan narkoba pun mengernyit. Mereka gagal mendapatkan lebih dari sekadar retorika dangkal.

Sekadar catatan, Clinton menang dalam kontestasi merebut suara generasi MTV itu.

Kembali ke debat pilpres Indonesia, saya tergelitik ketika berbincang dengan salah seorang milenial yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat. Dia kecewa menyaksikan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ketika mereka menawarkan gagasannya dalam debat Kamis (17/1) malam itu. Bagi pemuda yang baru setahun lulus kuliah dan kini bekerja di salah satu Unicorn milik anak bangsa ini, solusi yang ditawarkan masih sebatas retorika.

Enggak konkret," ujarnya meminjam bahasa yang biasa dipakai angkatannya semasa mahasiswa.

Dia ingin isi kepala para kandidat terbaca jelas. Dia juga sebal dengan cara berdebat yang kaku.

Yang ingin dia dengar ialah langkah-langkah menuju apa yang dicita-citakan. Itu yang tidak dia dapatkan. Dia pun belum memutuskan kepada siapa suaranya akan diberikan pada 17 April nanti.

Ketika milenial bertanya, "Apa untungnya  buat kami, untuk masa depan kami?", seharusnya itu bisa terjawab oleh kedua kubu yang bersaing dalam pilpres 2019. Penggunaan busana dan istilah-istilah anak muda zaman now saja tidak cukup untuk membuat milenial terkesan. Demikian pula dengan gimmick lainnya. Mereka butuh substansi, butuh sesuatu yang nyata untuk dikritisi.

Semoga debat kedua hingga sesi pamungkas mampu menguliti gagasan calon pemimpin bangsa ini dan membantu milenial menetapkan pilihannya dengan semangat dan kesadaran penuh akan pilihannya. Mereka tentu tak mau memilih pemimpin yang meminggirkan aspirasi generasinya.

Milenial sesungguhnya bukanlah semata objek politik. Kalau mereka tak menjadi subjek, alangkah celakanya negeri ini.

Jangan biarkan generasi muda Indonesia apatis dan apolitis dengan rentetan debat pilpres yang terkesan receh karena pemberian kisi-kisi, aturan debat yang kaku, dan dialektika yang membosankan.

* penulis adalah wartawan republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement