Senin 07 Jan 2019 17:07 WIB

Batavia dan Sarekat Islam: Mimpi Buruk Lokalisasi Prostitusi

Sepenggal sejarah prostitusi di Nusantara dari abad 17 sampai era Kramat Tunggak.

Sebuah komplek prostitusi di Jakarta tahun 1948
Foto: gahetna.nl
Sebuah komplek prostitusi di Jakarta tahun 1948

Oleh:  Beggy Rizkiansyah, Penulis Sejarah dan pegiat jejak Islam

Dalam kazanah sejarah, di tanah air prostitusi hidup sejak lama. Berbagai catatan masa Hindia Belanda pun memuat informasi menarik. Sejarah pun mencatat sepenggal episode. Ini misanya soal membanjirnya prostitusi di Hindia Belanda (Indonesia) di abad ke 18 hingga abad 19 sebagai buah dari masuknya gelombang pegawai pemerintahan penjajah, baik militer maupun pegawai administratif ke Hindia Belanda.

Memang pada masa yang lebih awal, di abad ke 17, para pegawai VOC mulai berdatangan ke Nusantara. kebutuhan untuk berhubungan dengan perempuan memaksa mereka untuk mendatangkan perempuan Eropa ke Hindia Belanda untuk dijadikan istri. Namun kebijakan ini tak berjalan mulus, selain berbiaya besar, kehadiran perempuan ‘impor’ ini tak sebanding dengan jumlah pria yang ada.

Para pegawai VOC yang tanpa pasangan ini, sebagian memilih gundik pribumi, sebagian lain memilih untuk menyalurkan hawa nafsu mereka ke prostitusi ketimbang menikahi perempuan lokal. Memang ada sebagian yang memilih untuk menikahi perempuan pribumi. Namun kala itu memiliki pasangan perempuan orang pribumi dianggap tidak pantas bagi orang Belanda. Maka para prostitusi menjadi lahan yang subur

Merebaknya pelacuran bukan tak dapat kecaman dan penolakan dari masyarakat. Tahun 1912, Dr Tjipto Mangunkusumo, yang dikenal sebagai seorang dokter dan tokoh Nasionalis terlibat kampanye anti prostitusi. Kampanye-kampanye anti prostitusi juga digerakkan oleh berbagai elemen nasionalis lainnya. Namun tak ada yang menolak prostitusi segencar Sarekat Islam.

Sarekat Islam turun langsung ke masyarakat, lewat pembentukan masyarakat anti prostitusi yang bernama Madjoe-Kemoeliaan, yang didirikan di Bandung. Dalam sebuah pertemuan tanggal 30 April 1914,yang dihadiri 600 orang, sebagian besar diantaranya perempuan, Madjoe-Kemoeliaan dibentuk. Dalam pertemuan tersebut, seorang ibu rumah tangga bernama Djarijah mengatakan, wanita seperti bunga; ketika dia cantik, semua orang menginginkannya, tetapi setelahnya dia harus datang ke jalan-jalan.

Menghadapi persoalan ini dia mengusulkan wanita harus diajarkan untuk memiliki penghasilan. Melalui berbagai surat kabarnya, Sarekat Islam menggelorakan penolakan praktek prostitusi. Sarekat Islam mendesak adanya pendidikan yang lebih baik untuk para pemuda sehingga mereka akan melihat keburukan menggunakan pelacur. Bagi para wanita muda didorong untuk memiliki beberapa alternatif untuk mencari nafkah. Bahkan mewakilili organisasi-organisasi di Indonesia, promosi kerajinan tangan bagi perempuan diusulkan sebagai alternatif mata pencaharian.

Di masa orde baru, Ali Sadikin memilih lokalisasi setelah melakukan perbandingan dengan industri seks yang dilokalisasi di Bangkok. Semangat awalnya memang masalah penertiban, meski diiringi oleh alasan persoalan pengendalian penyakit menular akibat prostitusi. Maka sejak saat tahun 1970, Jakarta mulai melokalisasi prostitusi di kawasan Kramat Tunggak, dan melarang praktek prostitusi di wilayah lain di Jakarta.

Kenyataannya Kramat Tunggak gagal menjadi contoh praktek lokalisasi yang diidamkan. Tokoh Masyumi, Moh. Roem mengatakan, Prostitusi adalah AGRESI, bukan PROFESI.

“Maka prostitusi adalah tantangan keadaan yang menimpa seorang perempuan. Tantangan yang mengancam kepribadiannya, moralitasnya, kesehatannya, hari tuanya dan sebagainya. Tantangan yang begitu hebat, yang sifatnya sudah merupakan agresi terhadap diri seorang perempuan.”

Lantas mengapa masih saja ada yang menyuarakan untuk melokalisasi prostitusi? Tidakkah kita belajar dari kegagalan negara yang melokalisasi prostitusi seperti Jerman?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement