Senin 07 Jan 2019 07:35 WIB

Pengakuan Yerusalem Ibu Kota Palestina

Dukungan Liga Arab tak cukup untuk jadikan Palestina negara berdaulat.

Warga Palestina bentrok dengan pasukan Israel setelah protes terhadap pembukaan kedutaan AS di Yerusalem, di kota Betlehem, Tepi Barat, Senin, 14 Mei 2018.
Foto: AP Photo/Majdi Mohammed
Warga Palestina bentrok dengan pasukan Israel setelah protes terhadap pembukaan kedutaan AS di Yerusalem, di kota Betlehem, Tepi Barat, Senin, 14 Mei 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nuraini*

Pengakuan sejumlah negara atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel menyisakan pertanyaan mengenai dukungan dunia, terutama Liga Arab pada Palestina. Dukungan Liga Arab selama ini sepertinya tidak cukup untuk mendukung Palestina merdeka sebagai negara berdaulat. Saat Palestina masih berjuang untuk menjadi negara berdaulat, negara-negara lain justru menjustifikasi klaim Israel atas pencaplokan wilayah Palestina.

Presiden AS Donald Trump pada Desember 2017 menginisiasi pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Pengakuan itu direalisasikan dengan memindahkan Kedubes AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Sejumlah negara kemudian mengekor langkah Presiden Donald Trump memindahkan kedutaan besar untuk Israel ke Yerusalem.

Kedutaan besar AS untuk Israel resmi dipindah ke Yerusalem pada 14 Mei 2018. Dua hari kemudian, Guatemala melakukan langkah serupa dengan memindahkan kedubesnya ke Yerusalem. Paraguay menyusul AS dan Guatemala dengan memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem. Namun, Presiden Paraguay yang baru, Mario Abdo Benitez memutuskan memindahkan kembali kedubes ke Tel Aviv dengan alasan untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah.

Pemindahan kedutaan tersebut merupakan langkah politis yakni mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Meski tidak memindahkan kedutaan besar, Australia turut mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel. Australia hanya berencana membuka kantor dagang dan pertahanan di Yerusalem.

Selain itu, presiden baru Brasil Jari Bolsonaro mengumumkan rencana pemindahan kedutaan besar negaranya untuk Israel ke Yerusalem. Rencana yang sama juga tengah dipertimbangkan oleh Presiden Honduras Juan Orlando Hernandez.

Pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel tentu mengganggu jalannya upaya damai antara Israel dan Palestina. Selama ini, Yerusalem menjadi isu paling sensitif dalam perundingan damai antara Israel dan Palestina. Status Yerusalem menjadi inti permasalahan konflik panjang kedua negara. Palestina ingin Yerusalem Timur menjadi ibu kota masa depan. Akan tetapi, Israel mencaplok Yerusalem Timur dan menginginkan seluruh Yerusalem menjadi ibu kota negaranya.

Israel menduduki Yerusalem Timur dalam perang Timur Tengah 1967. Klaim Israel atas Yerusalem tersebut tidak pernah diakui secara internasional. Sesuai kesepakatan antara Israel dan Palestina 1993, status Yerusalem Timur akan dibahas dalam perundingan damai.

Upaya membawa Israel dan Palestina ke meja perundingan akan lebih terkendala ke depan dengan semakin banyak negara yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Apalagi, pengakuan tersebut dipelopori oleh Amerika Serikat yang ingin menjadi mediator dalam perundingan damai Yerusalem. Oleh karena itu, dukungan dunia terutama Liga Arab perlu lebih kuat terhadap Palestina. Pengakuan terhadap kedaulatan Palestina barang kali tidak cukup, tetapi perlu sampai mengikuti langkah mengakui Yerusalem (Timur) sebagai ibu kota Palestina.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement