Rabu 02 Jan 2019 00:07 WIB

Bencana Datang, Bagaimana CAD Kita?

Pemerintah mengandalkan pariwisata untuk menekan defisit transaksi berjalan (CAD)

Nidia Zuraya
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

Bencana alam beruntun yang melanda wilayah Indonesia pada 2018 lalu tak hanya membuat ribuan nyawa melayang, tetapi juga potensi penerimaan devisa negara. Salah satu sektor ekonomi yang paling terpukul dengan adanya bencana gempa di Lombok hingga tsunami di pesisir Selat Sunda adalah bisnis pariwisata.

Spot-spot wisata yang terdapat di wilayah Lombok serta di kawasan pesisir Selat Sunda menjadi produk jualan pemerintah hingga ke mancanegara. Beberapa di antaranya wisata alam Gunung Rinjani, wisata air Gili Trawangan, Teluk Kiluan, dan KEK Tanjung Lesung.   

Dua tahun terakhir, pemerintah mengandalkan sektor pariwisata untuk bisa menekan angka defisit transaksi berjalan berjalan atau Current Account Deficit (CAD). Hingga hari ini pemerintah memang masih punya pekerjaan rumah yang cukup berat terkait CAD yang terus membengkak.

Data Bank Indonesia (BI) menyebutkan, pada kuartal ketiga tahun ini posisi CAD tercatat sebesar 8,8 miliar dolar AS. Angka ini setara dengan 3,37 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Masih mengacu pada data BI, realisasi CAD pada kuartal ketiga ini lebih tinggi dibandingkan defisit pada kuartal sebelumnya sebesar 8,0 miliar dolar AS (3,02 persen dari PDB).

Wisata alam menjadi andalan pemerintah dalam menggenjot penerimaan devisa negara. Dalam hal ini Indonesia berkaca pada keberhasilan Thailand mengubah angka neraca transaksi berjalan dari defisit menjadi surplus melalui sektor pariwisata.

Pariwisata adalah industri yang paling mudah dan murah menghasilkan devisa. Data statistik menunjukkan, industri pariwisata nasional saat ini menduduki peringkat kedua penyumbang devisa terbesar setelah minyak kelapa sawit (CPO).

Sepanjang Januari-Juli 2018, Kementerian Pariwisata mengklaim total pundi-pundi devisa yang berhasil diraih mencapai 9 miliar dolar AS. Nilai tersebut didukung realisasi kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 9,06 juta atau tumbuh 13 persen dibanding pada tahun lalu.

Dengan tren pertumbuhan yang konsisten dua digit, tak heran pemerintah optimistis mampu membidik kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 17 juta pada 2018 dan 20 juta pada 2019. Terjadinya berbagai bencana alam dapat membebani target kunjungan turis asing ke Indonesia.

Dalam pengembangan pariwisata, pemerintah telah menetapkan 10 destinasi 'Bali baru'. Dua destinasi diantaranya berada di wilayah yang terdampak bencana baru-baru ini, yakni kawasan Mandalika di Nusa Tenggara Barat dan Tanjung Lesung di Banten.

Delapan destinasi 'Bali Baru' lainnya juga berada di wilayah yang rawan bencana. Kawasan Candi Boroudur, misalnya, untuk mengakses kawasan wisata ini para wisatawan mancanegara harus mengambil penerbangan ke Bandara Adi Sutjipto di Yogyakarta. Keberadaan Gunung Merapi yang masih aktif menjadikan Yogyakarta termasuk wilayah rawan bencana.

 

Mengacu kepada berbagai bencana gempa hingga tsunami yang terjadi akhir-akhir ini, pemerintah sebaiknya mulai memikirkan bagaimana meminimalisir dampak bencana di wilayah 10 destinasi 'Bali Baru' ini. Sistem Indonesia memang belum memiliki standar mitigasi bencana layaknya di Jepang, Australia atau Amerika Serikat.

Perbaikan sistem antisipasi dan mitigasi bencana nasional perlu segera dilakukan jika pemerintah tidak ingin potensi devisa dari sektor pariwisata ini terbang ke Thailand atau negara-negara tetangga yang saat ini juga gencar mendorong sektor pariwisata mereka.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan anggaran investasi untuk sistem antisipasi dini bencana alam. Memang investasi yang dibutuhkan untuk membangun sistem mitigasi bencana ini tidaklah sedikit.

Untuk mencegah agar potensi devisa pariwisata tak melayang ke negara tetangga, pemerintah perlu mengorbankan sejumlah pos-pos anggaran yang tidak sangat penting dalam postur APBN 2019. Karena kita tidak pernah tahu kapan bencana tersebut akan datang kembali.

Dan, tsunami Selat Sunda menjadi bukti lemahnya mitigasi bencana di Indonesia.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement