Sabtu 22 Dec 2018 01:59 WIB

Menanti MRT Melaju Hingga Pinggiran Jakarta

Pembangunan transportasi publik harus dirumuskan dengan pendekatan manusiawi.

Sejumlah petugas saat beraktivitas di Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (29/11).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah petugas saat beraktivitas di Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (29/11).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Indira Rezkisari*

Bekerja di Republika dan bertempat tinggal di Tangsel membuat saya melalui rute pembangunan MRT hampir setiap hari. Kemacetan yang dulu di awal membuat frustasi kini menimbulkan harapan baru. Harapan akan transportasi dalam kota yang lebih efektif, efisien, dan terpenting tidak menghabiskan waktu lama.

Janjinya sungguh manis soalnya. Hanya butuh 30 menit perjalanan MRT dari Lebak Bulus ke Bundaran HI.

Beberapa bulan terakhir juga saya banyak berbincang soal MRT. Obrolan saya yang pertama adalah dengan anak saya. Anak saya yang kelas dua sekolah dasar itu bertanya apakah MRT di Lebak Bulus itu sama dengan MRT yang kami pernah naik di Singapura. Obrolan pun bergulir, saya bercerita ketika saya kecil dan diajak ke Singapura oleh orang tua kami pun naik MRT.

Dari situ anak saya takjub. Karena setelah kami mencari data lewat Google, MRT di Singapura sudah berusia 30 tahun. Katanya, dengan polos lontaran anak kecil, “Hah, kenapa kok kita lama banget!”

Saya tidak punya jawabannya. Sebagai catatan, MRT di Singapura sudah direncanakan sejak tahun 1960-an dan akhirnya beroperasi pada tahun 1987.

Obrolan kedua saya terjadi di kafe sebuah hotel bintang lima di Senayan. Ketika itu saat makan malam bersama humas hotel tersebut kami berbincang tentang MRT. Kegembiraan itu agaknya dirasakan betul oleh warga Ibu Kota dan penduduk pinggiran Jakarta.

Sang humas bercerita tentang sebuah pertemuan di hotel tempatnya bekerja dulu di tahun 90-an. Pertemuan itu membahas rencana Jakarta memiliki MRT. Dia mengingat mengobrol dengan seorang perencana asal Jepang yang memaparkan titik mana saja di Jakarta yang dilalui MRT termasuk stasiunnya.

Kami lalu tertawa bersama. Bayangkan saja, sudah dibahas sejak 90-an. Dan baru terwujud 20 tahun kemudian. Hampir 30 tahun malah. Ya, sebenarnya hampir mirip ya dengan Singapura yang butuh 20 tahun untuk membuat perencanaan matang sebelum akhirnya MRT tersebut berjalan.

Tapi, tentunya dunia sudah berbeda. Teknologi di era tahun 2000 jauh lebih canggih dibanding ketika Singapura membangun MRT 30 tahun lalu.

Sementara publik bersiap menyambut kedatangan MRT, saya langsung teringat akan gagasan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Dulu, Bang Yos kukuh pada pendirian kalau Jakarta tidak bisa menyokong dirinya seorang diri. Sebagai kawasan yang diserbu warga pinggiran Jakarta di pagi hingga malam, Bang Yos dulu menggagas Megabodetabek.

Melalui konsep Megabodetabek, Sutiyoso merencanakan pembangunan di Jakarta akan selaras dengan pembangunan di kota-kota yang berbatasan dengan Jakarta. Tujuannya tentu agar masyarakat hidup lebih nyaman.

Contoh dari Megabodetabek adalah penanganan banjir yang terintegrasi atau pelayanan transportasi publik yang selaras. Hingga misalnya, Pemprov DKI membangun jalur Transjakarta hingga Lebak Bulus. Maka, Pemkot Tangsel bisa melanjutkan transportasi publik dari Lebak Bulus hingga ke berbagai area di Tangsel. Publik pun terdorong meninggalkan kendaraan pribadinya karena disediakan alternatif yang efisien dan nyaman bukan hanya di Jakarta.

Memang rencana untuk meluaskan MRT disebut-sebut akan terjadi. Dari Bundaran HI akan dibuat jalur II yaitu menuju Kampung Bandan di Ancol, Jakut. MRT pun dikabarkan akan diperpanjang jalurnya hingga Tangsel dan Bogor. Saya hanya bisa berharap, kabar tersebut terwujud.

Tak hanya menyentuh publik secara lebih luas. Transportasi publik penting dibangun secara manusiawi memberi akses ke semua warga. Ciri kota yang ramah bagi warganya, salah satunya adalah akses ke transportasi publik yang memadai. Disebut memadai adalah bila transportasi publik memberi kemudahan bagi disabiltas, lansia, dan anak-anak.

Gubernur Anies Baswedan sudah menjamin kalau MRT akan membuat lift untuk memudahkan disabilitas, lansia, dan orang tua dengan anak-anak kecil. Semoga saja setiap stasiunnya benar-benar dirancang seperti di Singapura yang memiliki lift. Ibu muda dengan stroller jadi gampang mendorong anaknya tanpa harus naik turun tangga.

Lebih dari 10 tahun lalu, saya pernah mewawancarai mantan Wali Kota Bogota, Enrique Penalosa. Penalosa merupakan sosok di balik busway di kotanya yang modelnya diadopsi oleh Jakarta.

Ketika itu wartawan bertanya kesan dia terhadap transportasi publik di Jakarta. Saat itu baru ada satu koridor busway. Akses bagi pejalan kaki juga tidak senikmat sekarang, setelah Asean Games yang memberi ruang besar bagi warga berjalan dengan didukung trotoar lebar.

Saya ingat Penalosa menjawab Jakarta ketinggalan 25 tahun dari kota-kota tetangganya seperti Singapura dan Kuala Lumpur. Penalosa sendiri dikenal dengan pencapaiannya mengurangi kemacetan di Bogota. Bagi Penalosa, kota yang maju adalah ketika orang kaya lebih memilih naik transportasi publik ketimbang menggunakan mobil pribadi.

Artinya, pembangunan transportasi publik harus dibangun dengan mengedepankan aspek kemanusiaan. Karena logikanya, mereka yang memiliki uang tentu mau menggunakan transportasi publik bila nyaman bagi mereka. Bukan berarti mewah tapinya.

Seperti di Hong Kong misalnya. Luas wilayahnya yang sangat kecil memaksa pemerintah menerapkan pajak kendaraan pribadi yang sangat tinggi. Sehingga hanya mereka yang superkaya bisa punya kendaraan. Bahkan, ongkos taksi pun ditetapkan cukup tinggi agar mendorong publik menggunakan bus umum, subway, hingga kapal feri.

Jangan kaget kalau bertemu gadis-gadis cantik bersepatu hak tinggi dan menenteng tas mahal dalam subway. Atau bertemu ekspatriat asing pulang kantor menggunakan bus. Mungkin itu salah satu contoh nyaman yang disediakan oleh pemerintah Hong Kong.

Pasti ada kekurangan ketika nanti MRT berjalan. Tapi masyarakat boleh berharap lebih pada transportasi publik Jakarta. Dulu ketika Transjakarta hanya beroperasi di satu koridor rasanya seperti tidak ada efeknya secara keseluruhan. Ketika sudah merambah banyak sudut Ibu Kota hingga luar Jakarta, tentu publik  merasakan betul efeknya.

Kebijakan pembangunan transportasi publik memang lebih berat komposisinya pada persetujuan politik daripada unsur teknisnya. Rumusannya, 60 persen bergantung pada political will dan sisanya dari aspek teknis. Mari berharap, pemangku kebijakan mendukung upaya pembangunan transportasi publik yang efisien, efektif, dan manusiawi.

*Penulis adalah Redaktur di Republika.co.id

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement