Kamis 06 Dec 2018 05:38 WIB

Erick Thohir: Saya, Republika, dan 212

Pers Indonesia saat ini bukan lagi pers masa lalu.

Pembicara Enterpreuneur. Chairman Mahaka Group Erick Thohir menjadi pembicara saat Jakarta Halal Things 2018 di Jakarta, Sabtu (1/12).
Foto: Republika/ Wihdan
Pembicara Enterpreuneur. Chairman Mahaka Group Erick Thohir menjadi pembicara saat Jakarta Halal Things 2018 di Jakarta, Sabtu (1/12).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Erick Thohir

Reuni 212 yang telah berjalan tertib dan damai menyisakan diskusi panjang lebar dalam berbagai tingkatan. Ada yang mendiskusikannya penuh emosi, ada yang santai-santai saja, ada pula yang serius tapi santai.

Topik diskusi pada umumnya berkutat pada soal politisasi, jumlah peserta, dan pemberitaan di media massa. Ketiganya, saling terkait. Isu politisasi muncul karena salah satu calon presiden hadir dalam acara itu. Sedang isu jumlah peserta didiskusikan karena dianggap sebagai representasi dari elektabilitas.

Berikutnya soal pemberitaan di media massa menjadi topik hangat karena pemberitaan atas reuni 212 berbeda-beda porsi di tiap media. Terkait dengan ketiga isu itu, dalam kesempatan ini saya ingin mendudukkan perkaranya secara proporsional.

Setiap media punya kebijakan redaksinya masing-masing yang harus dihormati. Republika memilih menyajikan reuni 212 di halaman satu secara simpatik. Kebijakan editorial ini diambil karena bagaimanapun yang berkumpul dalam reuni tersebut adalah juga anak bangsa. Patut disyukuri, reuni yang melibatkan massa dalam jumlah besar itu berjalan damai dan tertib.

Dalam aksi 212 dua tahun sebelumnya, Republika juga menyajikan informasinya di halaman muka secara profesional dan sangat menonjol. Sehingga ada pertimbangan kuat bagi Republika untuk juga menyajikan reuni ini di halaman satu, tanpa harus dikaitkan dengan posisi politik saya sebagai pemegang saham mayoritas.

Kebetulan saat ini saya mendapatkan amanat sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional pasangan Jokowi-Ma'ruf Amien. Posisi ini adalah pilihan politik yang menjadi hak setiap warga negara.

Begitupun kemungkinan adanya pihak yang menyelipkan agenda politik dalam reuni 212, tentu itu juga menjadi hak setiap anak bangsa. Yang penting, setiap agenda politik itu dijalankan dengan santun, damai dan penuh semangat persatuan. Tidak selayaknya jika aksi yang tampil damai dan tertib itu diwarnai aktivitas politik yang jauh dari rasa simpatik.

Pers Indonesia saat ini bukan lagi pers masa lalu. Institusi pers saat ini memiliki tantangan, pilihan, inovasi, dan dinamika yang sangat berwarna. Masing-masing punya argumentasi untuk memilih dan tidak memilih isu untuk disajikan kepada masyarakat.

Sebaliknya, masyarakat juga sudah punya banyak pilihan untuk menikmati informasi yang dibutuhkan, atau disukainya. Bahkan saat ini juga ada media sosial yang bisa menjadi sumber informasi alternatif selain media massa. Saya meyakini, masyarakat Indonesia saat ini sudah cukup cerdas untuk mencari dan mendapatkan informasi yang disenangi, atau yang diperlukannya.

Karena reuni ini berjalan penuh khidmat, maka setelahnya juga harus memberi efek yang positif bagi bangsa ini. Janganlah kemudian seusai reuni malah muncul perselisihan yang jauh dari persoalan substansi. Bangsa ini memanggil putra-putri bangsa untuk berlomba-lomba dalam kebaikan demi kemajuan Indonesia.

Pemilihan Presiden 2019 mendatang, haruslah menjadi arena perlombaan kebaikan, dan bukan ajang untuk beradu kebencian. Pesta demokrasi ini mesti menguatkan kesetiakawanan bukan membesarkan permusuhan. Sejarah akan mencatat dengan tinta emas jika bangsa ini bisa melewati dinamika politik pemilihan presiden ini dengan taburan prestasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement