Selasa 04 Dec 2018 09:03 WIB

Sila Kedua Pancasila Sedang Mati Suri

Indonesia masih saja oleng dan labil secara moral.

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Pada Februari 2013, saya menulis begini: “Pernah terjadi perdebatan panjang pada kurun 1930-an tentang hubungan politik dan agama antara elite santri nasionalis dan elite nasionalis non-santri. Gaung perdebatan itu masih dirasakan sampai tahun 1950-an. Isu pokok yang diperdebatkan berpusat pada masalah, apakah politik itu kotor atau tidak.

Non-santri bersikukuh, politik itu selamanya kotor sehingga agama yang suci jangan dibawa-bawa ke dalamnya. Santri lalu membalik formulanya, justru karena politik itu kotor perlu dibersihkan dengan agama. Jadi, memang terdapat persamaan pandangan antara santri dan non-santri: politik itu kotor.” Itulah di antara wacana debat hubungan politik dan agama tempo doeloe.

Era tahun 1930-an belum mengenal Pancasila yang sila keduanya yang berbunyi: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Dalam pidato 1 Juni 1945 Bung Karno, sila kedua ini sebagai bagian dari filosofisch principle yang ditawarkannya punya rumusan berupa 'internasionalisme' yang berakar “dalam buminya nasionalisme”.

Maka rumusan sila kedua yang kemudian dibakukan secara konstitusional adalah hasil kesepakatan Panitia Sembilan yang diketuai Bung Karno pada 22 Juni 1945 yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Bagi saya, formula 22 Juni ini jauh lebih mantap, jelas, dan lebih puitis-filosofis: “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Alangkah dahsyatnya rumusan ini!

Sila kedua ini sejak hari kelahirannya pada 22 Juni 1945 sampai hari ini telah berusia 73 tahun lima bulan 12 hari, sebuah usia dalam ukuran manusia sudah cukup tua. Tetapi, sebagai hasil pemikiran reflektif-filosofis manusia Indonesia, usia sekian itu belum cukup lama.

Nilai praksisnya dalam bentuk ideologi masih saja diuji pada perilaku warga kita dalam berbangsa dan bernegara di tengah perjalanan sejarah modern Indonesia yang dinamis dan kreatif. Dalam perspektif inilah saya berani menggambarkan bahwa “Sila Kedua Pancasila Mati Suri,” sedang dipingsankan oleh ujaran kebencian, kebohongan, ucapan kumuh, brutal, kasar, dan tunaadab, terutama yang berkeliaran dalam media sosial (medsos): Youtube, Twitter, Instagram, dan Facebook.

Semuanya ini dilakukan oleh segelintir orang yang haus kekuasaan, rakus benda, termasuk mereka yang menyebut dirinya sebagai habib, sayid, dan gelar-gelar artifisial lainnya, sebuah kebanggaan semu yang ahistoris. Amat disayangkan Muslim non-Arab banyak yang percaya bahwa gelar-gelar artifisial itu punya pijakan teologis yang kokoh dan benar. Kapan mereka mau belajar cerdas dan kritikal, sehingga tidak mudah jadi korban Arabisme yang anti prinsip persamaan itu?

Kembali kepada masalah utama dalam Resonansi ini. Sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” bukan saja sebagai bagian dari dasar filsafat negara, melainkan pada waktu yang bersamaan juga harus dijadikan rujukan dan pedoman dalam menuntun perilaku harian semua warga negara dalam berurusan dengan segala situasi. Maka ujaran kebencian, bahkan kata-kata jorok yang sengaja diumbar, demi melumpuhkan lawan politik adalah pengkhianatan telanjang terhadap keluhuran sila ini.

Oleh sebab itu, aparat penegak hukum tidak boleh tiarap—karena dihantui HAM misalnya-- untuk bertindak secara adil dan beradab manakala ada warga negara dari faksi mana pun melakukan pengkhianatan ini. Tidak boleh atas nama demokrasi setiap orang berperilaku 'semau gue', dengan melanggar batas-batas moral, adab, sopan-santun, dan ketentuan undang-undang yang berhulu kepada nilai-nilai luhur Pancasila, di dalamnya sila kedua merupakan bagian yang menyatu secara organik dengannya.

Tragedi yang dialami Pancasila sebenarnya sudah berlangsung lama, terutama karena lemahnya proses penegakan hukum di negeri ini. Bahkan, tidak mustahil ada di antara aparat penegak hukum yang bermain mata dengan para pengkhianat dasar filsafat negara itu.

Akibatnya, Indonesia yang sudah ber-Pancasila selama lebih tujuh dasawarsa ini masih saja oleng dan labil secara moral, sehingga keadilan dan keadaban publik sering benar menghilang ditelan oleh ketidaksungguhan kita mengamalkan Pancasila, khususnya di sini dalam bentuk penegakan hukum yang adil.

Bagi saya, masalah ini sangat mendasar yang wajib segera dituntaskan, jika bangsa ini memang ingin punya hari depan yang lebih adil dan beradab. Membiarkan sila kedua mati suri sama saja dengan membiarkan negeri ini menjadi porak poranda dan terkapar seperti yang secara dramatis sedang menimpa Suria, Irak, dan negeri-negeri Muslim lainnya. Indonesia harus dibebaskan dari Arabisme yang tersesat jalan!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement