Jumat 30 Nov 2018 16:06 WIB

KPU Sebut Keputusan Soal OSO Ditetapkan Pekan Depan

Komisioner KPU baru bisa menggelar rapat pleno pada pekan depan.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Andri Saubani
Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang.
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, mengatakan, pihaknya akan kembali menggelar rapat pleno untuk memastikan keputusan terkait tindak lanjut putusan Mahkamah Agung (MA) dan PTUN. Menurut Arief, kepastian keputusan KPU baru akan diambil pada Selasa (4/12) pekan depan.

"Kami akan menggelar pleno lanjutan pekan depan," ujar Arief kepada wartawan di kantor KPU, Menteng, Jakarta  Pusat, Jumat (30/11).

Pleno tersebut akan membahas soal putusan MA dan PTUN mengenai pencalonan anggota DPD. Agenda pleno rencananya digelar pada Senin (3/12). Namun, kata Arief, kemungkinan belum semua komisioner bisa hadir di KPU pada Senin pagi.

Pasalnya, mayoritas komisioner masih melaksanakan tugas di luar daerah dan luar negeri. Arief menuturkan, para komisioner KPU kemungkinan baru bisa berkumpul pada Senin sore.

"Karenanya, bisa juga pleno nanti dilanjutkan pada Selasa. Kemudian, keputusan pleno juga akan diambil pada Selasa," tegasnya.

Hingga Jumat sore KPU belum menegaskan seperti apa sikap yang diambil terkait putusan MA dan PTUN terkait pencalonan anggota DPD oleh Oesman Sapta Odang (OSO). Arief belum mau mengkonfirmasi tentang kabar hasil pleno KPU pada Jumat (29/10) dinihari.

Menurut informasi yang dihimpun Republika, pleno pada Jumat memutuskan KPU akan menindaklanjuti putusan MA dan PTUN dengan memasukkan OSO ke dalam daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2019. Hanya saja, jika OSO nantinya terpilih sebagai anggota DPD, dia harus menyerahkan surat pengunduran diri kepada KPU.

Surat pengunduran diri itu dijadikan syarat pelantikan anggota DPD Periode 2019-2024. Aturan ini nantinya juga akan ditetapkan dalam PKPU penetapan hasil Pemilu 2019.

Arief tetap menegaskan belum ada sikap akhir yang diambil oleh KPU. "Kami belum mengambil keputusan. Kalau soal itu kan termasuk dalam opsi-opsi yang sudah disiapkan oleh KPU untuk menindaklanjuti putusan dari lembaga peradilan," tambah Arief.

Sebagaimana diketahui, MA menyatakan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD tidak bisa diberlakukan. Alasannya, syarat pencalonan yang tertuang dalam pasal 60 A PKPU tersebut bertentangan dengan pasal 5 huruf dan dan pasal 6 ayat (1) huruf I UU Pembentukan Peraturan Perundangan Nomor 12 Tahun 2011.

Putusan atas gugatan yang diajukan oleh OSO  ini juga menyebut bahwa pasal 60 A memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Namun, MA menegaskan pasal ini berlaku umum sepanjang tidak diberlakukan surut kepada peserta pemilu calon anggota DPD yang sudah mengikuti rangkaian Pemilu 2019.

Setelahnya, pada 14 November 2018 PTUN memutuskan mengabulkan gugatan OSO terkait pencalonan anggota DPD. PTUN juga menyatakan Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018 dibatalkan.

Selain itu, PTUN meminta KPU mencabut mencabut surat keputusan  Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tanggal 20 September 2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019. Selanjutnya, PTUN meminta KPU menerbitkan keputusan Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang baru yang mencantumkan nama OSO sebagai Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019.

Kedua putusan itulah yang sampai saat ini menjadi polemik dan belum ada tindak lanjut dari KPU. Sebab, di sisi lain ada putusan MK yang berbeda dengan putusan MA. Putusan MK juga tidak sejalan dengan putusan PTUN.

Adapun, putusan MK menyatakan mengabulkan permohonan uji materi atas pasal 128 huruf I UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.  Menurut MK, pasal 182 huruf I tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonstitusional. Pasal itu menyebutkan bahwa calon anggota DPD tidak boleh memiliki 'pekerjaan lain'.

Pekerjaan lain yang dimaksud yakni tidak melakukan praktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang atau hak sebagai anggota DPD.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement