Senin 26 Nov 2018 14:07 WIB

Bijak Memilih Aplikasi untuk Ngutang

Saat ini meminjam uang semudah mengusap layar ponsel.

Friska Yolanda
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Friska Yolanda

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolanda*

Hari ini, pinjam uang tidak perlu mengetuk pintu rumah tetangga dan mengarang cerita butuh uang. Jika perlu dana pun tak perlu menggadaikan sertifikat tanah ke bank sambil berdoa bank menerima pengajuan kredit. Kini, yang penting punya kuota, nomor telepon dan rekening bank.

Di era keuangan digital, meminjam uang semudah mengusap layar ponsel. Kita tinggal mengunduh aplikasi lembaga keuangan digital (financial technology fintech), mengisi data, kemudian mengajukan pinjaman. Setelah diverifikasi oleh lembaga tersebut, jika cocok, pinjaman pun cair ke rekening.

Pinjaman melalui fintech memang menggoda. Nilai pinjamannya tidak besar dan jangka waktu pinjaman pun tidak terlalu lama sehingga tidak perlu pusing mikirin cicilan. Jika terdesak dana, tinggal ajukan pinjaman melalui aplikasi.

Namun, layaknya teknologi, berutang melalui lembaga keuangan digital bak pisau bermata dua, bisa untung bisa juga buntung. Mengajukan pinjaman melalui fintech harus dilakukan dengan hati-hati karena masih banyak fintech ilegal yang belum mengajukan izin kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Belum lagi, banyak nasabah yang mengaku merasa diteror untuk melakukan pembayaran.

Ini membuat fintech tidak ada bedanya dengan rentenir. Mereka hanya menang di teknologi, yaitu pengajuan dilakukan secara online. Tapi, OJK menolak hal tersebut karena tidak semua lembaga keuangan digital seperti rentenir.

Masyarakat diimbau untuk lebih bijak memilih lembaga keuangan digital. Sebelum mengajukan pinjaman, baiknya nasabah mencari tahu kredibilitas lembaga tersebut. Jangan sampai ingin mendapat solusi keuangan malah menambah masalah.

Berdasarkan data yang dikeluarkan OJK, per Oktober 2018, baru ada 73 penyelenggara fintech yang terdaftar dan berizin. Yang sudah terdaftar seperti Danacepat, Akseleran, Uang Teman, Amartha, Investree, Do-It, dan masih banyak lagi. Namun, yang tidak terdaftar dan berizin jumlahnya masih lebih banyak.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi dalam sebuah pertemuan mengatakan, masyarakat perlu mengetahui ciri-ciri fintech ilegal. Pertama, pengelola sengaja menyamarkan identitas diri dan alamat. Kedua, pinjaman diberikan dengan mudah. Saat peminjam mengajukan melalui aplikasi, dana bahkan dapat cair hari itu juga.

Lembaga keuangan digital yang berizin tidak akan semudah itu memberikan pinjaman. Meskipun tak sesulit mengajukan pinjaman ke perbankan, lembaga keuangan digital juga perlu melakukan sejumlah verifikasi terhadap data nasabahnya dan hal itu tentu saja tidak selesai pada hari yang sama.

Fintech ilegal memberikan bunga tinggi dan terakumulasi. Jika dalam jangka waktu tertentu tidak terbayar, maka bunga bertambah.

Bunga yang tinggi ini menjadi keluhan nasabah fintech. Kebanyakan, lembaga keuangan digital memang membebankan bunga di atas suku bunga acuan. Terkait hal ini, OJK menyerahkan pada mekanisme pasar. Namun, fintech wajib mematuhi aturan main yang telah dibuat otoritas keuangan.

Tak hanya itu, fintech ilegal juga meminta akses data kontak, foto, bahkan log telepon peminjam. Hal ini, kata Hendrikus, yang dimanfaatkan oleh fintech untuk meneror nasabah yang menunggak cicilan. "Apapun alasannya, fintech lending legal tidak boleh mengakses data konsumen," kata Hendrikus.

Karenanya, nasabah harus bijak dalam memilih tempat ngutang. Di luar semua itu, nasabah harus memikirkan baik-baik saat mengajukan pinjaman. Apakah pinjaman itu untuk keperluan mendesak atau hanya sekadar memenuhi keinginan sesaat. Kalau memang bisa menahan diri tidak meminjam, lebih baik kan tidak usah kas bon. Jangan sampai utang cuma sedikit tapi harus gali lubang tutup lubang untuk melunasinya.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement