Rabu 21 Nov 2018 07:23 WIB

Menyikapi Ulah Partai dalam Koalisi

Ada saja ulah partai di internal koalisi yang mengganggu soliditas koalisi.

Muhammad Hafil
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*

Belakangan ini, Partai Demokrat resah lantaran merasa tak mendapat  keuntungan atau efek ekor jas dari capres-cawapres yang diusung yaitu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Karena itu, DPP Partai Demokrat tak membebani caleg di daerah untuk mengkampanyekan Prabowo-Sandi.

Berdasarkan catatan penulis, sejak Demokrat bergabung dengan Koalisi Indonesia Adil Makmur (KIAM) yang terdiri dari partai-partai pengusung Prabowo-Sandi yaitu Gerindra, PAN, PKS, Partai Berkarya, dan Demokrat sendiri, sudah dua kali partai yang didirikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini mengutarakan kepada publik soal ketidaktegasannya mendukung capres-cawapres nomor urut 02 ini.

Pertama, pada awal September lalu di mana DPP Demokrat memberikan dispensasi bagi para kader di daerah untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf. Dan yang kedua terjadi pada pekan lalu, di mana DPP Partai Demokrat menyatakan mengutamakan raihan suara partainya ketimbang mengkampanyekan Prabowo-Sandi.

Sebenarnya, partai-partai yang merasa tak mendapatkan keuntungan dari capres-cawapres yang diusung bukan Demokrat saja. Tetapi, ada beberapa partai lainnya. Misalnya,  sejumlah caleg PAN di daerah pada Oktober lalu, yang berdasarkan keterangan Sekjen PAN Eddy Soeparno, yang menolak mengkampanyekan Prabowo-Sandi karena tak sesuai dengan keinginan konstituen mereka.  Ini artinya, para caleg tersebut khawatir jika mengkampanyekan Prabowo-Sandi mereka tidak akan dipilih menjadi anggota legislatif oleh konstituennya. Selain itu, ada juga kepala daerah asal PAN yang menyatakan terang-terangan mendukung Jokowi-Ma’ruf.

Tidak hanya dari kalangan partai pendukung Prabowo-Sandi, tetapi ada juga ulah yang dibuat oleh sejumlah caleg Partai Golkar yang merupakan pendukung Jokowi-Ma’ruf pada awal Oktober lalu yang menyatakan mendukung Prabowo-Sandi.  Alasannya sama, caleg yang membelot itu merasa suara Golkar tak akan naik jika mendukung Jokowi-Ma’ruf. Mereka beralasan, Prabowo-Sandi lebih memiliki kedekatan dengan karakter Golkar.

Lalu, apa bedanya Demokrat dengan kedua partai itu? Bedanya adalah sikap di tingkat pimpinan pusatnya. Untuk Partai Golkar, dengan tegas DPP-nya memecat caleg-calegnya yang membelot, karena tak sesuai dengan arah kebijakan partai. Sementara DPP PAN, buru-buru membuat kebijakan mewajibkan seluruh calegnya untuk mendukung Prabowo-Sandi.

Sedangkan Demokrat, pimpinan pusatnya cenderung tak tegas dan mengikuti keinginan calegnya di daerah. Alasan DPP Demokrat jelas, suara Demokrat melalui caleg-calegnya di daerah harus diutamakan dari pada memenangkan Prabowo-Sandi. Selain itu, DPP Demokrat mengatakan bahwa urusan pemenangan Prabowo-Sandi hanya ada di tingkat pusat, bukan di tingkat daerah.

Dari ketiga partai ini, Demokrat cenderung lebih memilih cari aman dan main dua kaki. Namun, bagi kesolidan koalisi di tingkat Pilpres bisa menjadi ancaman. Karena, publik akan melihat bahwa kubu Prabowo-Sandi tidak kompak karena ‘direcoki’ oleh kepentingan pribadi Demokrat. Dan, bukan soal merasa tidak mendapat efek ekor jas saja ulah Demokrat. Berdasarkan catatan penulis, sejak koalisi Prabowo-Sandi dibentuk, Demokrat sudah beberapa kali merecoki kesolidan koalisi Prabowo-Sandi.

Pertama, soal tudingan Wasekjen DPP Partai Demokrat yang menuding Prabowo sebagai ‘jenderal kardus’ dan tudingan mahar Rp 1 triliun untuk PAN-PKS agar mendukung Sandiaga Uno sebagai cawapresnya Prabowo. Selain itu, Andi Arief juga melontarkan tudingan bahwa Prabowo tak serius sebagai capres karena malas berkampanye. Dan yang berikutnya adalah soal dispensasi DPP Demokrat yang membolehkan caleg-calegnya tak memenangkan Prabowo-Sandi.

Ini bisa menjadi peringatan bagi kesolidan kubu Prabowo-Sandi. Karena, sejauh ini Partai Gerindra selaku ‘pemimpin’ koalisi tak pernah memberikan sanksi bagi Demokrat. Jangankan sanksi, teguran pun rasanya belum pernah dilontarkan oleh partai berlambang kepala burung Garuda ini. Keadaan ini seolah membuat koalisi Prabowo-Sandi terlihat rapuh.

Berbeda dengan kubu Jokowi-Ma’ruf yang lebih tegas terhadap kesolidan partai-partai pendukungnya. Beberapa hari lalu, Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Hasto Kristiyanto bahkan mengancam akan memberikan sanksi bagi caleg-caleg dari partai politik pengusung Jokowi-Ma’ruf yang tidak mengkampanyekan Jokowi-Ma’ruf. Bahkan, TKN mewajibkan partai pengusung untuk mengkampanyekan Jokowi-Ma’ruf.

Hemat penulis, sebaiknya kubu Koalisi Indonesia Adil dan Makmur kembali bertemu untuk bernegosiasi ulang tentang apa-apa yang perlu disepakati. Terutama, terkait dengan kesolidan untuk memenangkan Prabowo-Sandi. Dengan begitu, kerapuhan-kerapuhan yang terlihat selama ini bisa berkurang dan publik melihat bahwa koalisi ini adalah koalisi yang serius untuk bisa menyeimbangkan bahkan mengungguli koalisi Jokowi-Ma’ruf.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement