Selasa 20 Nov 2018 07:50 WIB
Maulid Nabi Muhammad

Kami Hanya Punya Cinta dan Kerinduan Itu, Muhammad SAW

Umat kian tercerabut dari akar dan esensi ajaran Muhammad SAW

Nashih Nasrullah
Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah*

 

Sang penunjuk dilahirkan

Alam semestapun bersinar

Bibir zaman tersenyum

Alam ruh dan para malaikat di sekitarnya

Saling berbagi kabar gembira untuk agama dan dunia

Cinta dan kerinduan itu menggerakkan sastrawan tersohor Mesir, Ahmad Syauqi, secara khusus menulis kalimat-kalimat indah menggambarkan kecintaannya terhadap sosok Rasulullah. Gubahan-gubahan puisinya itu terkodifikasikan dalam al-Hamaziyah an-Nabawiyyah.  Bait syair di atas adalah bagian dari penggalan puisi itu.

Dalam terminologi tasawuf, cinta merupakan asas yang mendekatkan seseorang ke obyek yang dicinta. Seorang kekasih, akan kehilangan ruh, inti dari sebuah hubungan, tatkala rasa cinta itu sirna. Cinta merekatkan kembali ikatan yang putus. Sebab cinta pula, Adam menempuh perjalanan puluhan tahun menemui pujaan hati, Hawa. Kekuatan cinta pula, yang menghilangkan sekat seorang hamba dengan Tuhannya.

Atas nama cinta, seorang Abu Thalib, dengan bangga mempersembahkan dua kambing jantannya, sebagai ucapan syukur atas kelahiran Muhammad SAW. Cinta yang membuat air mata Rasulullah, menetes untuk pertama kalinya atas kepergian sang istri Khadijah.

Demi cinta pula, lebih dari 14 abad, kita, umat Islam, masih bertahan sebagai pengikut Muhammad SAW. Risalah Islam adalah pesan cinta, harmoni, dan kerinduan itu sendiri. Cinta itulah yang tersisa dari kami, umatmu, wahai Muhammad SAW. “Aku beragama dengan agama cinta, dan aku selami relungnya, cinta adalah agama dan keyakinanku,” senandung Ibnu ‘Arabi dalam puisinya. 

Persoalan yang dihadapi umat saat ini, tak sebatas pada punya atau tidakkah rasa cinta itu. Saya yakin, tiap umat akan menjawab cinta Rasul, ketika ditanya soalan ada atau tidakkah rasa cinta itu. Pertanyaan besar itu adalah, sejauh manakah cinta itu dimanivestasikan dalam tindakan nyata. Dalam ungkapan Imam as-Syafi’i, hakikat cinta akan mengantarkan siapapun melakukan apapun yang diminta kekasihnya. Konsepsi cinta dalam agama juga demikian.

Cinta bukan sekadar klaim. Cinta adalah aksi. Cinta ialah bukti. Kekuatan cinta yang menggerakkan hati dan fisik para generasi awal Islam, memegang teguh agama dan menyebarkan risalah ini. Mereka rela mempersembahkan yang terbaik untuk Tuhan, agama, dan Nabi, yang mereka cintai.

Atas nama cinta, peradaban Islam memuncaki masa kegemilangan selama berabad-abad. Dan sebab cinta, umat saat ini, kian tercerabut dari akar dan esensi dari ajaran Muhammad SAW. Cinta tak lagi dianggap sebagai subtansi dan pesan agung agama.

Hilangnya cinta, bermakna hilangya kerinduan. Sirnanya kerinduan, menandakan betapa, keberagamaan kita sesungguhnya, disadari atau tidak, berada dalam titik nadir itu. Betapa seorang Umar bin Khatab, pernah berlinang air mata, tatkala mendengar sayup-sayup perempuan renta bersenandung, meluapkan kerinduannya pada Rasulullah.

Atas Muhammad SAW shwlawat terbaik manusia-manusia pilihan

Engkau senatiasa bangun dan menangis di waktu sahur

Wahai dekatkanlah aku dengan asa dan masa, apakah Engkau akan mengumpulkan dengan kekasihku, Muhammad?

Di manakah posisi kita dibandingkan dengan Umar? Momentum Maulid Nabi  Muhammad SAW pada hakikatnya adalah mengembalikan rasa cinta dan kerinduan itu. Peringatan ini mengajak kita kembali mengingat, sirah agung Baginda Rasul. Segala yang berkenaan dengan kehidupan Muhammad SAW sejatinya adalah teladan abadi.

Maulid yang tak sebatas ritual, tetapi adalah momentum merevolusi mentalitas kita, membangkitkan semangat perubahan dari tubir keterpurukan, menghadirkan kembali rasa cinta di tengah-tengah menguatnya kebencian di tengah-tengah kita.  

Peringatan yang mendorong motivasi juang para pasukan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (567- 622 H), penguasa Dinasti Ayyubiyah, gagah berani dalam Perang Salib. Maulid yang sama, menjadi harapan besar kita semua. Bagaimanapun, kecintaan kita kepada Rasulullah adalah modal kita mengentaskan bangsa Indonesia dari beragam persoalan.

Teologi pembebasan yang merupakan inti dari kelahiran Sang Purnama, adalah ruh utama, bagaimana masyarakat terbebas dari kemiskinan, kebodohan, dan kesewenang-wenangan. Dan pada akhirnya, maulid kali ini, kembali melunakkan hati kita yang perlahan (atau jangan-jangan begitu cepat) semakin mengeras di tengah zaman yang oleh Ralph Keyes, disebut sebagai era post truth, tatkala kebenaran kian disamarkan, dan orang berlomba-lomba menyajikan argumentasi yang sekilas tampak kokoh, tetapi hakikatnya, bangunan epistemologi yang dibangun sangatlah rapuh ( Keyes, 2004). Yang tersisa dari kami, saat ini, dan entah sampai kapan, wahai Muhammad SAW, hanyalah cinta dan kerinduan itu. Berkat cinta dan kerinduan itu jua, kami berharap termasuk yang engkau sebut dalam sabdamu :”Sesunguhnya seseorang itu akan bersama yang dia cintai.” Hanya itu, keinginan kami, wahai Baginda Rasul.  

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement