Ahad 18 Nov 2018 16:49 WIB

Prof (Emeritus) Mochtar Kusumaatmadja Sedang Sakit

Walau mengritisi Sukarno, dia telah mewakil Indonesia pada Konperensi Hukum Laut.

Selamat Ginting
Foto: dok. pribadi
Selamat Ginting

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Selamat Ginting*

Persis 56 tahun lalu. Pada 16 November 1962. Presiden Sukarno murka. Ia memecat seseorang sebagai dekan. Intervensi dalam bidang pendidikan yang tidak lazim.

Dr Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, BA. Dia dipecat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. Mochtar dipecat, karena sering mengritik pemerintah, antara lain mengenai Manifesto Politik Sukarno.

Gaya mengritik Mochtar seperti dosennya ketika pertama kali kuliah. Ia murid dari Prof Dr Sutan Takdir Alisyahbana (STA), SH. Mochtar menyelesaikan sarjana muda (BA) di Fakultas Sosial Ekonomi Politik, Universitas Nasional (Unas) Jakarta, pada 1953. Cikal bakal FISIP Unas.

Sarjana hukum diperolehnya saat melanjutkan S1 di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (UI), pada 1955. Kemudian melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Yale (Universitas Yale) AS.

Kembali ke Indonesia, menekuni program doktor ilmu hukum internasional di Unpad, lulus 1962. Jadi, hingga 1962, Mochtar punya empat almamater perguruan tinggi: Unas, UI, Yale University, dan Unpad.

Gurunya, STA sempat ditahan oleh pemerintah Sukarno. STA tidak jera dan berniat terus mengritik pemerintah. Belakangan STA berniat kabur ke Malaysia. Kuala Lumpur menjadi tempatnya mengritik rezim yang dianggapnya otoriter.

Belum sempat kabur ke Malaysia, justru muridnya yang dipecat terlebih dahulu. Dalam sebuah perkuliahan, Mochtar menyatakan, “Nehru lebih berpengalaman dari Sukarno dalam soal politik luar negeri.”

Bahkan Mochtar menyebut Bung Karno sebagai, 'Sosialis musiman'. Sukarno saat itu sedang di Jepang. Ia mendapatkan laporan yang membuat telinganya merah. Saat itu juga sikap otoriternya keluar. Ia mengirim telegram kepada Menteri Pendidikan Prof Dr Tojib Hadiwidjaja pada 16 November 1962 untuk memberhentikan Mochtar sebagai dekan.

Tak lama setelah pemecatan Mochtar, STA kabur terlebih dahulu. Ia menjadi guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu, Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

Usai dipecat, Mochtar ditampung di Seskoad, Bandung. Lembaga pendidikan tertinggi Angkatan Darat. Kampus perwira untuk menjadi calon kolonel. Ia mengajar ilmu hukum bagi mayor senior dan letnan kolonel junior. Para calon pemimpin Angkatan Darat.

Mochtar kemudian ke Amerika Serikat. Menimba ilmu di Harvard Law School (Universitas Harvard), dan Universitas Chicago, Trade of Development Research Fellowship pada 1964-1966. Sehingga ia memiliki enam almamater perguruan tinggi.

Definisinya tentang hukum berbunyi "Hukum adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan",

Guru besar ilmu hukum itu lahir di Jakarta pada 17 Februari 1929. Ia bukan cuma seorang akademisi dan diplomat Indonesia. Saat menjadi Rektor Unpad pada 1973-1974, ia kemudian diminta Presiden Soeharto sebagai menteri.

Tercatat pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman pada 1974 sampai 1978 dan Menteri Luar Negeri pada 1978 sampai 1988.

Dari perkawinannya dengan Siti Hadidjah, mereka dikaruniai dua anak, yakni: Armida Salsiah Kusumaatmadja Alisjahbana dan Emir Kusumaatmadja.

Putri sulungnya, Prof Dr Armida Kusumaatmadja Alisjahbana, SE, MA, menikah dengan cucu dari STA, yakni Dr Andi Alisjahbana. Andi adalah anak dari mantan Rektor ITB, Prof Dr Ir Iskandar Alisjahbana. Iskandar adalah putra dari STA.

Armida Alisjahbana sempat menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada Kabinet Indonesia Bersatu II.

Ayahnya, Mochtar Kusumaatmadja dikenal piawai dalam mencairkan suasana dalam suatu perundingan yang amat serius. Dapat berpikir cepat dan melontarkan kelakar untuk mencairkan suasana.

Wakil Indonesia pada Sidang PBB mengenai Hukum Laut, Jenewa dan New York, ini berperan banyak dalam konsep Wawasan Nusantara. Terutama dalam menetapkan batas laut teritorial, batas darat, dan batas landas kontinen Indonesia. Ia berperan banyak dalam perundingan internasional. Terutama dengan negara-negara tetangga mengenai batas darat dan batas laut teritorial itu.

Walau mengritisi Presiden Sukarno, namun pada 1958-1961, dia telah mewakil Indonesia pada Konperensi Hukum Laut, Jenewa, Colombo, dan Tokyo.

Beberapa karya tulisnya telah mengilhami lahirnya Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia, 1970. Dia memang seorang ahli di bidang hukum internasional.

Setelah pergantian rezim dari pemerintahan Sukarno ke pemerintahan Soeharto, Mochtar menunjukkan kepiawaiannya sebagai diplomat ulung. Ia pun beberapa kali mengunjungi almamaternya di Unas, UI, dan Unpad. Kuliah umumnya dinanti-nantikan mahasiswa FISIP, dan FH dari tiga perguruan tersebut.

Kini, di usianya menjelang 90 tahun, Mochtar terbaring lemah di kediamannya. Diplomat ulung itu sakit. Beberapa waktu lalu, saya menghubungi Rektor Unas, Dr Amri Bermawi Putra.

"Pak rektor, Profesor emeritus Mochtar Kusumaatmadja sakit keras. Mohon petinggi Unas segera mengunjungi beliau. Rektor Unpad sudah mengunjungi lebih dahulu. Segeralah...,"

Rektor Unas menjawab, "Kami akan segera menjenguk Pak Mochtar. Beliau keluarga besar Unas," kata Amri, lukusan S1 di Unas, S2 di Amerika, dan S3 di Unpad. Amri pernah 10 tahun menjadi sekretaris STA.

*) Penulis adalah jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement