Jumat 16 Nov 2018 08:12 WIB

Tergoda Menggunakan Gas Melon Milik Si Miskin

Lebih mudah mendapatkan gas ukuran 5,5 kg dibanding 12 kg.

Ichsan Emrald Alamsyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emerald Alamsyah*

Ketika kita baru saja mengisi rumah, salah satu barang wajib yang kita butuhkan adalah tabung gas. Tabung gas amat kita butuhkan khususnya bila ingin memasak atau sekadar memanaskan makanan.

Bersyukurlah bila kediaman anda dilalui oleh jalur gas alam. Tentu saja selain tak butuh bolak-balik memesan tabung gas, proses mencari si biru atau si pink ini jelas tak mudah.

Hal tersebut penulis alami ketika baru saja pindah dari Perumnas Klender, Jakarta Timur ke Perumahan Violet Garden, Bekasi Barat. Istri penulis menginginkan tabung Bright Gas ukuran 5,5 kg dibandingkan si biru 12 kg. Alasannya selain karena menyukai segala hal berbau pink, kami juga termasuk pasangan yang minim berada di rumah.

Akan tetapi proses pencarian si pink ini ternyata membutuhkan waktu karena ternyata persediaannya di wilayah Bekasi tak terlalu banyak dibandingkan si biru dan si melon 3 kg bersubsidi. Belum lagi bujuk rayu agen dan orang sekitar untuk membeli si hijau yang sebenarnya milik 'mereka' yang berhak.

Ketika penulis mencari ke salah satu agen, ia mengaku tak memiliki tabung pink. Alasannya si pink minim peminat dan ternyata menurut pengakuannya orang-orang yang 'mampu' lebih memilih si hijau. "Ya masak kita musti cek KTP dulu pak, kan nggak mungkin ketahuan yang kaya sama miskin. Tapi biasanya mereka punya dua, tabung biru dan ijo," tutur salah satu agen di sepanjang Jalan I Gusti Ngurah Rai, Bekasi.

Penulis pun mencoba bertanya ke salah satu tempat pengisian BBM yang juga distributor tabung gas. Salah satu petugas yang berjaga menyatakan mereka bukan penjual tabung kosong akan tetapi hanya mendistribusikan saja.

Cuma bila penulis berminat ia menyatakan salah satu tetangganya ada yang ingin menjual tabung melon. Ketika penulis memberi pernyataan bahwa tabung itu sepatutnya milik masyarakat tidak mampu, ia malah bercerita banyak.

"Pak kadang yang nuker ke sini pada bawa mobil. Mereka keluar eh nenteng tabung ijo. Ya kita nggak punya hak melarang, kan dia udah punya tabungnya," ucap dia.

Penulis pun menjadi gamang dengan berbagai cerita mereka dan orang sekitar mengenai si hijau. Apalagi dengan begitu mudah mencarinya dan tak sesulit bright gas 5,5 kg. Hanya saja pada akhirnya penulis memilih si pink.

Namun berkaca pada narasi di atas, dalam benak penulis mungkin ini asal muasal kenapa petinggi Pertamina kadang sewot soal subsidi gas.

Tahun lalu saja BUMN energi ini harus nombok Rp 1 triliun untuk subsidi gas. Begitu juga tahun ini yang sudah pasti, buka lagi kemungkinan menambah untuk gas subsidi.

Angka Rp.1 triliun mungkin terbilang kecil bagi pendapatan Pertamina. Hanya saja bayangkan bila kebocoran tersebut dialokasikan bagi hal lain, semisal pinjaman produktif bagi UMKM di Indonesia atau pengembangan usaha rintisan di Indonesia.

Selain itu soal pengawasan dan pengetatan bagi yang ingi memiliki tabung gas 3 kg yang sering diucapkan berbagai pihak tampaknya harus dipikirkan kembali. Ucapan ini tampak hanya berkumur-kumur di mulut bila melihat kondisi di lapangan. Namun bukan berarti tidak ada pengawasan, karena mungkin saja atau kebetulan ketika Republika rasakan tampak tidak ada yang mempertanyakannya.

Tampaknya Pertamina dan pemerintah khususnya Pemda perlu merumuskan kembali pengawasan tepat bagi distribusi gas 3 Kg bersubsidi. Selain itu dibutuhkan ketulusan hati dari masyarakat yang mampu untuk tak mencicipi 'hadiah' negara bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement