Selasa 16 Oct 2018 13:07 WIB

Tolong, Saksikan Pula Pesta Olahraga Mereka

Mereka hanya butuh dimengerti bukan dikasihani.

Endro Yuwanto
Foto: Republika/Daan Yahya
Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *)

Asian Para Games 2018 yang digelar 6 Oktober hingga 13 Oktober lalu telah usai. Kompleks Gelora Bung Karno (GBK) Senayan Jakarta, sebagai jantung Asian Para Games penuh penonton. Warga Indonesia pun kompak menepis kabar bangku kosong di media sosial.

Penonton yang memenuhi tribun di venue-venue itu hadir dengan gembira. Mereka menyaksikan langsung penampilan atlet-atlet difabel; tunadaksa, tunagrahita, dan tunanetra, tampil di berbagai arena. Keharuan menyergap penonton, tapi bukan iba. Bisa dibilang pelaksanaan Asian Para Games menuai sukses.

Perhatian warga Indonesia terhadap penyandang difabel pun kian besar, sebesar bonus miliaran rupiah yang digelontarkan pemerintah pada atlet para games yang berpretasi. Ini mirip perhelatan multievent akbar sebelumnya, Asian Games Jakarta-Palembang, pada 18 Agustus hingga 2 September 2018 yang juga sukses sedemikian besar.

Sekitar sepekan setelah gelaran Asian Para Games, sebenarnya masih ada event olahraga internasional the 4th Congress of ASEAN Autism Games (AAGs) 2018 pada 20 Oktober hingga 21 Oktober. Memang, event kali ini hanya selevel Asia Tenggara dan tak melibatkan atlet profesional seperti di Asian Games dan Asian Para Games.

photo
AAGs

Ajang AAGs 2018 diselenggarakan sebagai wadah untuk para anak dan remaja penyandang spektrum autisme agar bisa menyalurkan bakat mereka, khususnya di bidang olahraga lari dan renang. Namun demikian, betapa perhatian warga dan pemerintah Indonesia yang rendah terhadap penyandang autisme bisa dengan mudah teramati dari sepinya gaung pesta olahraga untuk anak-anak autisme se-Asia Tenggara itu.

Nyaris tak ada publikasi dan sorotan media. Padahal, Indonesia menjadi tuan rumah dalam ajang yang akan digelar di GOR Soemantri Brodjonegoro Kuningan, Jakarta, itu.

Ini mungkin bisa menjadi gambaran umum posisi para penyandang autisme di Indonesia yang masih terpinggirkan. Mencari tahu kondisi anak-anak penyandang autisme di Indonesia agaknya tak jauh berbeda dengan mencoba mengetahui apa sebenarnya yang ada dalam pikiran seorang anak penyandang autisme. Sangat sulit ditebak.

Di Indonesia belum pernah ada survei resmi sehingga tidak ada data jumlah pasti angka dan pertumbuhan autisme di Tanah Air. Meski di Indonesia belum ada data resmi yang menyatakan jumlah pasti anak dengan kondisi autisme, tapi riset di beberapa tempat di dunia sempat menyatakan telah terjadi peningkatan penyandang autisme. Dalam sebuah studi yang dilakukan pada 2013, diperkirakan penderita autisme di dunia sebanyak 21,7 juta.

Namun, data lama dari Badan Dunia untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) pada 2011 lalu saja memperkirakan ada 35 juta orang dengan autisme di dunia. Ini berarti rata-rata ada enam orang dengan autisme per 1.000 orang dari populasi dunia. Adapun data lama pada 2010 di Autism Spectrum Disorder (ASD): Incidence and Prevalence memperkirakan penyandang autisme di Indonesia mencapai 2,4 juta orang dengan pertambahan penyandang baru 500 orang per tahun.

Data penyandang autisme di Indonesia sampai saat ini memang belum valid karena pendataan sensus penduduk sebatas menanyakan jumlah anak tanpa menyebutkan status kesehatannya. Kalaupun ada, pendataan sebatas untuk anak berkebutuhan khusus umum. Namun bisa diprediksi penyandang autisme di Indonesia kian banyak sama dengan semakin banyaknya tempat terapi penyandang autisme di Tanah Air.

photo
Autisme (ilustrasi)

Kondisi 'gelap' yang tidak diketahui ini ternyata bukan hanya untuk jumlah anak autistik di Indonesia, namun merembet pada sektor kehidupan lainnya. Seperti pada penanganan autisme. Padahal, sudah menjadi rahasia umum, anak-anak seperti ini sangat rawan mengalami perundungan atau bullying dan bahan bercandaan karena dianggap berbeda.

Kurangnya perhatian pemerintah, misalnya dalam mengumpulkan data tentang anak berkebutuhan khusus tersebut, mengakibatkan sejumlah penyandang autisme kurang mendapat tempat di masyarakat dan kerap dimarginalkan. Padahal dari data tersebut baru akan bisa dilakukan pengambilan atau membuat kebijakan untuk anak berkebutuhan khusus tersebut.

Autisme dapat terjadi pada anak siapa saja, tidak ada perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan etnik. Autisme atau autism spectrum disorder, bukanlah sebuah penyakit melainkan gangguan perkembangan syaraf. Secara fisik, penyandang autisme terlihat normal.

Autisme tidak sama dengan keterbalakangan mental karena anak penyandang autisme bisa berkembang seperti anak lainnya, hanya saja terhambat pada masalah komunikasi. Autisme berasal dari kata 'auto' yang berarti sendiri. Penyandang autisme seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.

Istilah autisme baru diperkenalkan sejak tahun 1913 oleh bapak psikiatri anak, Leo Kanner, sekalipun kelainan itu sudah ada sejak berabad-abad lampau. Autisme bukan suatu gejala penyakit tetapi berupa sindrom (kumpulan gejala) yang kompleks di mana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa, dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak penyandang autisme seperti hidup dalam dunianya sendiri.

Autisme adalah suatu keadaan di mana seseorang anak berbuat semaunya sendiri, baik cara berfikir maupun berperilaku. Ditandai dengan ciri-ciri kurangnya kemampuan interaksi sosial dan emosional, sulit dalam komunikasi timbal-balik, minat terbatas, dan perilaku tak wajar disertai gerakan berulang tanpa tujuan (stereo­tipic).

Keadaan ini mulai terjadi sejak usia anak masih belia. Sekali lagi, autisme bisa mengenai siapa saja, baik sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak-anak atau pun dewasa, dan semua etnis.

photo
Anak Autis (Ilustrasi)

Kasih sayang lingkungan masyarakat tentu akan membuat anak penyandang autisme sanggup berkembang. Banyak dari mereka memiliki berbagai prestasi di berbagai bidang, seperti olahraga, seni, dan pendidikan. Karena itu, tak salah jika berharap masyarakat menyadari bahwa individu autistik sebenarnya merupakan sosok yang mampu mandiri, memiliki kemampuan, dan dapat bekerja sama.

Seyogianya masyarakat, pemerintah, dan siapa saja yang memiliki rasa kemanusian serta empati, turut membantu individu autistik dalam mengasah bakat yang mereka miliki. Ini untuk membantu penyandang autisme hidup mandiri, produktif, dan berguna bagi bangsa. Mengingatkan, masih banyak individu autistik di tengah kita.

Mereka butuh dukungan dari berbagai pihak. Termasuk dukungan dari kita untuk datang dan memeriahkan 'pesta' mereka di AAGs 2018. Mereka hanya butuh dimengerti bukan dikasihani. Mereka pun sebenarnya tak ingin sendiri.

*) jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement