Jumat 28 Sep 2018 15:03 WIB

Mungkinkah Memoderasikan Hukuman Mati?

Hukuman mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun

Nasir Djamil
Foto: Antara
Nasir Djamil

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M. Nasir Djamil, anggota Panja RKUHP Komisi III DPR RI

Sepertinya diskursus dan polemik pidana  hukuman mati tidak pernah mati di kalangan pegiat HAM, akademisi, dan politisi. Kelompok yang ingin mempertahankan (retensionis) dan kelompok yang ingin menghapuskan (abolisionis) memiliki dasar dan cara pandang yang rasional meskipun  saling berkelindan. Kelompok retensionis menilai  orang yang telah melakukan perbuatan tertentu yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka orang tersebut pada hakikatnya telah melanggar hak tertinggi dari seseorang lainnya yang bersumber dari Tuhan yaitu hak hidup. Karenanya, sang pelaku  layak dan patut dihukum dengan hukuman mati. Sedangkan kelompok abolisionis memandang bahwa hak hidup adalah hak tertinggi dari Tuhan, sehingga tidak boleh ada orang yang diperbolehkan mencabut hak hidup orang lain selain Tuhan itu sendiri.

Jika kita cermati faktor yang berpengaruh, kelompok retensionis berdiri pada posisi melindungi korban, sementara kelompok  abolisionis berdiri pada sisi melindungi pelaku, selain juga pengaruh faktor lain misalnya agama, adat, masyarakat dan lain-lain. Di sinilah perdebatan yang kerap kali sulit ditemukan titik temunya. Pertanyaannya, apakah tidak mungkin hukuman mati dimoderasikan? Dalam arti mencari titik temu yang lebih berimbang antara kutub ekstrem yang  mempertahankan dan  menghapuskan.

Para politisi yang membidangi hukum dan hak asasi manusia di DPR RI bersama Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan HAM kini berupaya keras untuk  memoderasikan pidana mati. Isu moderatisasi tersebut kini  mengemuka dalam penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini dibahas di DPR. 

Dalam RKUHP yang disusun oleh Pemerintah dan diajukan ke DPR pada tahun 2015, terdapat beberapa poin penting dalam rumusan pidana mati. Pertama, penempatan pidana mati secara tersendiri di luar pidana pokok yang umum dan harus selalu diancamkan secara alternatif. Kedua, berkaitan dengan pelaksanaan pidana mati yang dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak oleh presiden. Ketiga, pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun. Keempat, perubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan menteri sebagai konsekuensi penundaan pelaksanaan pidana mati dengan masa percobaan selama sepuluh tahun. Dan kelima, perubahan pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri.

Apabila dicermati, konsep rumusan pidana mati tersebut sebenarnya telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang menolak uji materil UU Narkotika, dan menyatakan hukuman mati tetaplah konstitusional dalam sistem hukum Indonesia. Dalam Putusan tersebut Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut: a. pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun; c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa; dan d. eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Dalam pembahasan di DPR sampai dengan tahun 2018, beberapa rumusan berkaitan dengan hukuman mati tersebut telah disesuaikan, khususnya berkaitan dengan perubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau penjara 20 tahun dengan Keputusan Presiden, bukan melalui Keputusan Menteri. Hal tersebut didasarkan bahwa mengubah putusan kekuasaan kehakiman, harus oleh keputusan negara, bukan keputusan administratif. Adapun pertimbangan memberikan perubahan pidana mati tersebut dengan syarat terpidana menunjukkan rasa menyesal dan berkelakuan terpuji sehingga layak untuk diubah. Selain itu, yang masih diperdebatkan adalah soal perlu tidaknya pertimbangan masyarakat terhadap terpidana mati menjadi pertimbangan dalam memberikan status perubahan pidana mati tersebut.

 

Pertanyaannya apakah  model pemidanaan yang terdapat dalam RKUHP tersebut dimaksud untuk  memoderasikan  hukuman mati? Saya pribadi menilai  bahwa redaksi hukum yang sedang dalam pembahasan itu akan menjadi jembatan untuk menghubungkan dua titik yang selama ini sering diibaratkan seperti air dan minyak. Hal tersebut merupakan pilihan logis, mengingat dimensi sistem hukum Indonesia sangat memperhatikan titik keseimbangan antara HAM individual dengan masyarakat, faktor agama dan ideologi, termasuk juga faktor internasional.

Idealnya, pertimbangan memberikan perubahan hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup ataupun penjara 20 tahun, adalah pertimbangan reaksi keluarga korban, bukan reaksi masyarakat saja. Hal ini sejalan dengan model hukuman mati yang terdapat dalam ajaran agama Islam, tepatnya Al Quran Surat Al-Baqoroh 178-179 yang pada intinya mewajibkan qishas atau hukuman mati terhadap kejahatan pembunuhan, dengan syarat apabila ada pemaafan dari pihak korban, maka hukuman mati tidak dilaksanakan. Narasi Qur’ani itu secara tersurat dan tersirat meneguhkan suatu sikap mulia dimana pemberian maaf  akan menyelamatkan seseorang dari kematian. Kata “maaf” telah menjadi mantra suci dan berada di posisi yang mulia dibandingkan meminta hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan.

Semoga model tersebut  menjadi  jalan tengah alias moderasi hukuman mati yang ingin mendamaikan dua spektrum yang selama ini saling berhadapan. Spirit Ketuhanan dan kemanusian itu harus membingkai  hukuman mati agar tidak dipuji dan dibenci. Wallahu a’lam

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement