Kamis 23 Aug 2018 16:33 WIB

Ketua Dewan Masjid Indonesia Komentari Vonis Keluhan Azan

Meiliana divonis penjara 1,5 tahun karena mengeluhkan besarnya volume pengeras suara.

Jusuf Kalla
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Jusuf Kalla

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla menilai, warga yang menyampaikan kritik atas terlalu kerasnya pengeras suara masjid tidak seharusnya dijatuhi hukuman tindak pidana, seperti yang dialami Meiliana di Tanjungbalai, Sumatra Utara. Meiliana divonis penjara 1,5 tahun karena mengeluhkan besarnya volume pengeras suara masjid di depan rumahnya.

"Tentu apabila ada masyarakat yang meminta begitu, ya tidak seharusnya dipidana, itu kita akan melihat kejadian sebenarnya apa. Apakah hanya meminta agar jangan diperkeras, itu wajar saja (karena) DMI saja meminta jangan terlalu keras dan jangan terlalu lama," kata Wapres Jusuf Kalla kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Kamis (23/8).

Wapres mengingatkan kembali bahwa, DMI telah mengeluarkan imbauan kepada seluruh masjid untuk tidak terlalu keras membunyikan pengeras suara.

"Intinya adalah bahwa memang kita sudah meminta masjid itu jangan terlalu keras suara azannya, jangan melampaui masjid yang satu dan lainnya karena jarak antarmasjid itu rata-rata 500 meter. Oleh karena itu, jangan terlalu keras," tegasnya.

Dalam kasus Meiliana tersebut, Kalla mengatakan, belum mengetahui secara rinci awal mula kasus tersebut. Kalla mengatakan, perlu ada penjelasan dari pihak-pihak terkait.

"Azan itu cuma tiga menit, tidak lebih dari itu. Sudah berkali-kali Dewan Masjid menyerukan dan meminta kepada masjid-masjid untuk membatasi waktu pengajian, jangan lebih dari lima menit. Jadi semuanya delapan sampai 10 menitlah," jelas Wapres.

Kasus Meiliana bermula pada 29 Juli 2016 ketika dia menyampaikan keluhan kepada tetangganya, Uo, atas terlalu besarnya volume pengeras suara masjid di depan rumah. Uo kemudian menyampaikan keluhan Meiliana tersebut kepada adiknya, Hermayanti.

Namun, ungkapan yang disampaikan Uo ke Hermayanti menyinggung ras Meiliana yang merupakan warga keturunan Tionghoa beragama Buddha. Ucapan yang menyebut ras Meiliana itu juga disampaikan Hermayanti kepada Kasidi, ayah Uo dan Hermayanti, yang merupakan pengurus masjid setempat.

Kasidi pun menyampaikan keluhan tersebut kepada sejumlah pengurus masjid. Akibatnya, terjadi konflik antara para pengurus masjid dan Meiliana hingga berimbas pada perusakan rumah tinggal Meiliana dan vihara setempat. Meiliana pun dilaporkan ke polisi dan ditetapkan sebagai terpidana atas kasus penistaan agama dengan vonis 18 bulan penjara pada Selasa (21/8).

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir menghormati keputusan Pengadilan Negeri di Tanjung Balai, Sumatra Utara, atas putusannya terhadap Meiliana terkait keluhan suara azan. Meiliana divonis kurungan 1,5 tahun penjara dengan pasal penodaan agama setelah mengeluhkan suara azan yang dinilai terlalu keras.

"Kita menghormati setiap keputusan pengadilan," ujar Haedar di gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (23/8).

Kendati demikian, Haedar pun menekankan masyarakat untuk terus memupuk toleransi antarsesama. Haedar mencontohkan, penggunaan pengeras suara di setiap tempat ibadah, baik itu masjid maupun gereja, perlu dilakukan dengan menjaga perasaan umat lain.

Selain itu, ia juga mengingatkan masyarakat untuk bersikap dewasa dalam menyikapi segala masalah. Sebab, tak semua permasalahan dapat masuk ke ranah hukum. Sebagai warga, kata ia, jangan juga terlalu sensitif.

"Kadang masyarakat kurang proporsional juga. Kalau ada hiburan, kadang tanpa izin gede-gede suaranya sering ga terganggu, tapi ada suara azan dikit kencang terganggu. Ini kan saya pikir kalau dipupuk itu ada kedewasaan sehingga tidak semua hal masuk ke ranah hukum," kata Haedar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement