Ahad 05 Aug 2018 00:10 WIB

Haji Ilegal, Sebuah Ironi

Ulama di dunia menegaskan berhaji melalui cara tidak benar maka hajinya tidak sah.

Ani Nursalikah
Foto: dok. Pribadi
Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ani Nursalikah*

Saya bisa merasakan bagaimana kerinduan mendalam yang dialami seratusan warga Indonesia itu untuk menggenapkan rukun Islam Menunaikan ibadah haji adalah impian setiap Muslim.

Cita-cita sekali seumur hidup itu begitu menggebu. Mengingat daftar tunggu puluhan tahun di Tanah Air, rasanya seperti pungguk merindukan bulan, meskipun itu semua Allahlah yang mengizinkan

Kementerian Agama menyebut daftar tunggu calon jamaah haji Indonesia mencapai 3,7 juta per April 2018. Bukan rahasia umum apabila animo masyarakat itu terkendala keterbatasan kuota.

Pemerintah Arab Saudi merujuk pada hasil Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam menentukan kuota, yakni satu per mil penduduk Muslim.

Apa artinya? Hal itu berarti calon jamaah haji Indonesia mengalami masa tunggu antara 11 sampai 30 tahun.

Padahal jamaah haji dari Indonesia selalu menempati porsi terbesar dari seluruh jamaah di dunia. Layaknya bedol desa, 221 ribu orang Indonesia  beramai-ramai memadati Tanah Suci.

Daerah yang paling lama masa tunggu calon jamaah haji adalah Sulawesi Selatan. Mereka harus menunggu hingga 29 tahun. Sedangkan masa tunggu jamaah haji paling cepat adalah Sulawesi Utara selama 11 tahun.

Kita menjadi mafhum kemudian ketika mendengar cerita 116 warga Indonesia terjaring razia haji ilegal di Makkah, Arab Saudi, 27 Juli lalu. Petugas keamanan Saudi menggerebek mereka saat tengah malam di sebuah penampungan di kawasan Misfalah.

KJRI Jeddah menyebutkan sebagian besar dari mereka memegang visa kerja. Sisanya masuk ke Saudi dengan visa umrah, visa ziarah, dan visa kunjungan pribadi (ziarah syakhshiah). WNI yang masuk dengan visa umrah bahkan sudah berada di Saudi sejak Ramadhan. Mereka tinggal di Arab Saudi sampai musim haji.

Sebagian besar berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Masa tunggu haji di daerah ini mencapai 23 tahun.

Masyarakat yang memilih berhaji secara ilegal sesungguhnya sedang membahayakan nyawa mereka sendiri. Hal ini hanya akan menimbulkan kesulitan hukum bagi mereka. Bahkan, bisa mengancam jiwa jamaah karena tidak ada mekanisme perlindungan.

Warga Saudi sekali pun jika ingin berhaji harus mendapatkan izin khusus. Pemerintah Saudi harus pintar-pintar membagi kuota yang ada dengan jamaah dari seluruh dunia. Karena itulah pemerintah Saudi sangat ketat memberlakukan siapa saja yang boleh berhaji.

Pihak berwenang di Makkah telah menolak lebih dari 72 ribu orang dan 30.449 kendaraan tak berizin karena pembatasan masuk terkait musim haji. Makkah memberlakukan aturan masuk yang ketat untuk mencegah kepadatan selama musim haji.

Hanya tiga kategori ekspatriat yang dapat memasuki kota suci. Di antaranya adalah pemegang izin haji, penduduk dengan izin tinggal di Makkah, dan mereka yang memiliki izin bekerja selama musim haji.

Ulama di dunia sudah menegaskan berhaji melalui cara yang tidak benar,  apalagi ilegal, menyebabkan haji seseorang tidak sah. Sejatinya, berhaji adalah untuk mereka yang istitha'ah (mampu), baik secara fisik, mental maupun finansial.

Seperti pepatah yang kerap kita dengar. Bahwa haji adalah panggilan dari Sang Pemilik Semesta. Alangkah ironisnya jika hasrat ingin menggenapkan separuh iman justru diraih dengan melanggar aturan.

 

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement