Selasa 31 Jul 2018 06:25 WIB

Enam Pakar Lawan JK Soal Jabatan Capres Cawapres

Tim kuasa hukum meminta MK memprioritaskan uji materi jabatan wapres.

Ilustrasi Mencari Pemimpin Umat
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ilustrasi Mencari Pemimpin Umat

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Dian Erika Nugraheny

Sebanyak enam pakar, baik pakar hukum tata negara atau pakar pemilu dan demokrasi, mengajukan diri sebagai pihak terkait ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi masa jabatan presiden dan wakil presiden. Keenamnya akan melawan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sudah mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi Pasal 169 huruf (n) dan Pasal 227 huruf (i) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Keenam pakar tersebut adalah Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Direktur Puskapsi Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono, Direktur Eksekutif Pusako FH Universitas Andalas Feri Amsari, Direktur Puskahad FH Universitas Sebelas Maret Agus Riwanto, dosen hukum tata negara FH UGM Oce Madril, dan pengajar hukum tata negara Universitas Udayana Jimmy Zeravianus Usfunan. Keenamnya diwakili oleh Denny Indrayana selaku kuasa hukum.

Menurut Denny, pengajuan sebagai pihak terkait ini tidak dilatarbelakangi unsur politik dan partisan. "Menurut kami, perlu ada penyelamatan masa depan demokrasi, khususnya terkait klausul pembatasan masa jabatan wakil presiden," tutur Denny di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (30/7).

Denny menambahkan, ada empat argumen yang akan disampaikan oleh keenam pakar sebagai pihak yang kontra dengan gugatan Partai Perindo terkait jabatan wakil presiden. Pertama, berdasarkan penafsiran gramatikal, norma pembatasan masa jabatan wakil presiden dalam Pasal 7 UUD 1945 sudah sangat jelas dan tegas.

Ia mengatakan, pasal itu sudah jelas mengatur pembatasan masa jabatan tidak hanya untuk presiden saja, tetapi juga wapres, yakni masa jabatan maksimal dua periode atau paling lama 10 tahun. Denny menambahkan, suatu ketentuan yang sudah jelas sebaiknya jangan ditafsirkan kembali.

Kedua, berdasarkan penafsiran historis, dalam sejarah perumusannya, baik dalam Ketetapan MPR XIII/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wapres atau perubahan pertama Pasal 7 UUD 1945, masa jabatan presiden dan wapres tidak dapat lebih dari dua kali masa jabatan alias paling lama 10 tahun. Hal itu berlaku untuk masa jabatan yang berturut-turut maupun masa jabatan yang tidak berturut-turut.

Ketiga, penafsiran original intent (latar belakang filosofi) dalam risalah pembahasan perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002 menegaskan masa jabatan wapres paling lama dua periode atau paling lama 10 tahun. Saat itu, semua fraksi di MPR mengusulkan pembatasan berlaku bagi masa jabatan presiden dan wapres karena semuanya menggunakan frasa “presiden dan wapres”.

Keempat, mengacu penafsiran secara konseptual, pihak terkait Jusuf Kalla mendalilkan bahwa wapres hanya membantu presiden yang tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Pihak Jusuf Kalla berpendapat bahwa yang memiliki kekuasaan pemerintahan adalah presiden sehingga untuk wapres tidak perlu dibatasi. Denny berpendapat jika konsep ini masih bisa diperdebatkan.

"Kekuasaan pemerintahan memang ada pada presiden, tetapi wapres, menteri, dan pejabat negara lain tentu tetap memiliki kewenangan masing-masing, termasuk kepala daerah juga. Berdasarkan putusan MK Nomor 8 Tahun 2008 dan putusan MK Nomor 22 Tahun 2009 tentang masa jabatan kepala daerah juga dibatasi hanya untuk maksimal dua periode atau paling lama 10 tahun," paparnya.

Titi Anggraini menyatakan, posisi keenam pemohon adalah pihak terkait yang kontra terhadap gugatan uji materi yang sebelumnya diajukan Partai Perindo itu. Dengan demkian, enam orang ini juga merupakan pihak terkait yang kontra dengan pihak terkait Jusuf Kalla.

“Kami merasa penting untuk mengajukan diri sebagai pihak terkait karena dua pasal itu sama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kedua pasal sama persis dengan Pasal 7 UUD 1945. Dari keempat sisi argumentasi juga sudah jelas bahwa pembatasan masa jabatan dua periode itu untuk berturut-turut maupun tidak berturut-turut," tegas Titi.

Dalam sidang lanjutan gugatan uji materi jabatan wapres, tim kuasa hukum Partai Perindo selaku pihak penggugat menyatakan ingin menghilangkan frasa tidak berturut-turut dalam undang-undang tersebut. Kuasa Hukum Perindo Ricky K Margono mengatakan, pokok persoalan pada UU Pemilu terletak pada frasa “tidak berturut-turut”. Hal itu membuat Jusuf Kalla tidak lagi dapat dicalonkan sebagai cawapres. Sebab, JK pernah menjadi wapres di era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) dan Joko Widodo (2014-2019).

“Berdasarkan original intent dari Pasal 7 UUD 1945 yang kami bahas, selama tidak berturut-turut bisa diajukan kembali (menjadi capres atau cawapres),” kata Ricky. Namun, jika yang bersangkutan sudah menjadi capres atau cawapres selama dua kali berturut-turut, maka tidak bisa lagi maju dalam ajang pilpres. “Jadi, kita minta frasa tidak berturut-turut dihapuskan,” tutur dia.

Tim kuasa hukum Perindo juga meminta MK memprioritaskan gugatan yang diajukan kuasa hukum Perindo. Sebab, tanggal 4 hingga 10 Agustus adalah masa pendaftaran capres dan cawapres. “Kita tidak memaksa, tapi kita meminta prioritas sehingga Pak Jokowi bisa legawa dalam mengajukan cawapres. Itu saja,” kata Ricky.

Ketua Hakim Panel MK Arief Hidayat mengatakan, perbaikan permohonan kuasa hukum akan dilaporkan pada rapat komisioner hakim pleno. Permohonan tersebut akan digunakan sebagai dasar untuk memeriksa, mengadili, dan memutus terkait uji materi yang diajukan kuasa hukum. Arief mengatakan, ada dua kemungkinan kelanjutan sidang. Pertama, akan diteruskan kepada sidang pleno jika masih ada materi yang perlu dibahas atau langsung diputus oleh majelis hakim.

“Juga perlu disampaikan pada kita sudah memprioritaskan persidangan ini. Tapi, harus dimengerti juga, kita menangani sidang pilkada,” kata Arief. (Ed: agus raharjo).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement