Ahad 29 Jul 2018 08:01 WIB

Mom Shaming, Benarkah Ibu-Ibu tidak Juga Dewasa?

Mean girls di masa SMA seakan berubah wujud menjadi mean moms ketika dewasa.

Ibu dengan anaknya/ilustrasi.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Ibu dengan anaknya/ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Indira Rezkisari*

Mom shaming. Anda sudah pernah dengar kata itu? Mom shaming merupakan sebutan bagi upaya memalukan ibu lain. Membuatnya merasa bersalah. Membuatnya merasa apa yang dilakukannya terhadap anaknya tidak benar.

Umumnya mereka yang menjadi korban utama mom shaming adalah kaum ibu yang terkenal. Entah populer karena kerartisannya, atau karena ia merupakan sosok terkenal di media sosial.

Mom shaming bentuknya bermacam-macam. Mulai dari mengomentari cara seorang ibu menyuapi anaknya, cara ibu menyusui atau tidak, hingga yang sederhana sekalipun misalnya pilihan sepatu atau pakaian untuk anaknya.

Pelaku mom shaming, menurut saya, dibagi dua. Mereka yang dengan niat sengaja melakukan mom shaming dan satu lagi adalah mereka yang sebenarnya niatnya baik ingin memberi masukan, namun ternyata melukai perasaan ibu yang dikritik.

Mom shaming juga tidak hanya dilakukan oleh mereka yang mengenal sang ibu. Berkat media sosial, dan unggahan kedekatan ibu dan anak di internet siapapun bisa melakukan mom shaming.

Saya, misalnya, pernah merasa jadi korban mom shaming dari ibu yang saya tidak kenal sama sekali. Hanya karena melihat anak saya yang langsing, lalu bertanya makanannya apa dan seketika memberi beragam kritik terhadap pilihan saya ke anak. Kami bertemu di sebuah tempat les anak. Kami tidak mengenal satu sama lain sama sekali. Tapi saya ingat saya kesal, sampai curhat ke teman.

Mengapa dia sampai mengkritik saya yang dia tidak kenal sama sekali, saya tidak tahu. Yang saya tahu, rasanya tidak enak. Dihakimi, padahal tidak dikenal. Meski mungkin maksudnya baik, perduli pada tumbuh kembang anak saya.

Waktu saya duduk di bangku SMA, rasanya biasa melihat kakak kelas perempuan bersikap tidak ramah ke adik kelas. Bentuknya juga macam-macam, sebatas melotot, memasang muka galak ketika berpapasan di lorong sekolah, hingga aksi gencet-gencetan di lapangan sebelah sekolah. Zaman saya sekolah dulu, gencet-gencetan tidak bersikap fisik. Adik kelas perempuan yang secara subyektif dipandang layak digencet akan dibentak-bentak kakak kelas perempuannya.

Kalau dipikir lagi, tujuannya apa, saya tidak tahu. Agaknya mereka yang sudah kelas tiga SMA selalu merasa punya hak untuk bersikap judes ke adik kelasnya.

Tak heran kalau film Mean Girls yang tayang tahun 2004 sukses di pasaran. Setiap perempuan di belahan dunia mana pun merasakan betapa segelintir gadis populer di sekolah berasa superior hingga bisa menginjak-injak perasaan orang lain. Sama seperti isi film Mean Girls yang menceritakan perjuangan Cady Heron yang diperankan Lindsay Lohan berjuang supaya bisa bermain dengan kelompok gadis paling populer di sekolah, sampai suatu hari ia disukai mantan kekasih pemimpin gengnya.

Tapi itu kan di bangku SMA, ya. Mereka yang sudah jadi ibu, tentunya sudah lulus SMA bahkan universitas. Mengapa, ibu-ibu pelaku mom shaming seakan tidak beranjak dari kehidupannya di masa sekolah dulu? Padahal harusnya masa pencarian jati diri dan pendewasaan sudah terlewati ketika menjadi ibu, tidak seperti sekolah dulu.

Saya mengutip artikel di laman Marie Claire yang mengatakan, meremehkan pilihan yang dibuat orang sering kali merupakan cara seseorang merasa lebih baik terhadap pilihannya. Profesor bidang psikologi di University of Texas, Art Markman PhD, sekaligus penulis buku 'Brain Briefs' memaparkan adanya bukti secara ilmiah dan sejarah yang menunjukkan bahwa manusia dalam kelompok sosial, seperti ibu-ibu dengan anak di usia yang sama seakan meraih posisi yang lebih tinggi dengan mengganggu manusia lain dalam kelompoknya.

Perilaku tersebut, diantaranya mom shaming, disebutnya sebagai bagian dari interaksi sosial manusia. Pelaku mom shaming atau bullying terhadap ibu lain umumnya seorang yang narsis. Markman mengatakan seorang yang narsis mendapatkan kepercayaan dirinya melalui energi dari orang lain. Pelaku tersebut bisa dilihat dalam berbagai jenis interaksi sosial, seperti dalam bisnis, penggemar kelompok olahraga, dan diantara para ibu.

Studi yang dibuat oleh peneliti di Simon Fraser University mengungkap, pelaku perisakan biasanya memiliki status sosial yang tinggi. Mereka juga cenderung tidak dalam kondisi depresi atau cemas. Hal tersebut dikaitkan Markman dengan fakta bahwa seorang narsis yang sukses akan mengelilingi diri mereka dengan manusia yang bisa meningkatkan kepercayaan dirinya. Lalu ia akan menggunakan kekuatannya untuk menjaga diri dalam posisi teratas di kelompok.

Berdasarkan sebuah survei di rumah sakit anak di University of Michigan yang dikutip dari Livescience, tindakan mom shaming justru paling banyak dilakukan anggota keluarga. Dari 475 ibu dengan anak usia di bawah lima tahun yang disurvei, sebanyak 37 persen pernah menjadi korban mom shaming dari orang tuanya sendiri. Sebanyak 31 persen melaporkan kritik dari mertua, 36 persen menjadi korban mom shaming pasangan sendiri. Umumnya kritik terbesar terkait pola pendisiplinan anak. Secara keseluruhan survei menemukan 61 persen ibu dengan anak balita mengaku pernah dipermalukan dalam urusan mengasuh anak.

Sulit memang ya untuk tidak mencari kesalahan orang lain. Seperti studi yang tadi sudah saya ungkap, membuat orang lain merasa melakukan sesuatu yang salah memang mengangkat kepercayaan diri kita. Tapi, untuk apa merasa percaya diri kalau dilakukannya di atas sakit hati orang lain.

Yang pasti, budaya mom shaming harus dihentikan. Mari beranggapan positif kalau semua ibu tahu apa yang paling baik buat anaknya dan dirinya. Pasti, setiap ibu punya support system yang akan membenahinya kalau ada kesalahan yang dibuat. Entah itu keluarga, pasangan, atau sekelompok teman dekatnya.

Lain kali ingin mengkritik ibu lain, pikir seribu kali. Apa Anda sudah jadi ibu yang lebih baik dari dia? Atau jika harus mengkritik, lakukan selembut yang Anda bisa.

Daripada sibuk mengurusi kelakukan orang lain, bukankah Anda lebih baik tidur siang, menonton ke bioskop, pergi ke salon, memasak makanan kesukaan Anda, atau pergi ke kajian bersama sahabat-sahabat. Selalu ada hal lain yang lebih positif dilakukan ketimbang iseng melakukan aksi mom shaming, apalagi jika Anda melakukannya ke selebritas atau orang lain yang sama sekali Anda tidak kenal. Ingat, mengikuti feed Instagram seseorang sejak lima tahun lalu bukan berarti dia sahabat Anda, lho.

Menjadi ibu sungguh tidak mudah. Mari selalu menjadi ibu yang baik ke ibu lain.

*Penulis adalah Redaktur Gaya Hidup Republika.co.id dan ibu dari dua anak.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement