Senin 23 Jul 2018 21:05 WIB

Survei: 10 Parpol Berpotensi tak Lolos ke Parlemen

PDIP dan Gerindra terus meningkat karena memiliki tokoh sentral sebagai capres.

Rep: Ali Mansur/ Red: Muhammad Hafil
Petugas merapihkan bendera peserta partai politik 2019 ruangan untuk pendaftaran caleg di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (3/7).
Foto: Antara/Reno Esnir
Petugas merapihkan bendera peserta partai politik 2019 ruangan untuk pendaftaran caleg di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (3/7).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Menjelang Pemilu 2019, sebanyak 10 dari 15 parpol berpotensi tidak lolos parlementary thereshold atau ambang batas parlemen, jika pemilu diselenggarakan hari ini. Itu diketahui dari jajak pendapat Media Survei Nasional (Median) yang diselenggarakan pada pada 6 Juli sampai 15 Juli 2018. Hasil ini menjadi peringatan bagi parpol-parpol jika tidak ingin hanya menjadi penonton pada periode berikutnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, ambang batas parlemen ditentukan sebesar empat persen dari total suara nasional. Namun Sudarto menegaskan, hasil ini tidak bisa langsung disimpulkan, karena sampai saat ini mesin parpol masih belum bekerja. "Sebab mesin masing-masing partai belum bergerak, dan masih dilarang oleh KPU. Bisa saja masih banyak partai yang lolos. Apalagi kalau undecided voters nanti sudah menentukan pilihan," jelas Sudarto di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (23/7).

Lima partai yang memiliki tingkat pemilih di atas empat persen adalah PDI Perjuangan sebesar 26 persen, Partai Gerindra dengan 16,5 persen, Golkar 8,8 persen, PKB 8,7 persen, dan Demokrat 8,6 persen. Sementara 10 partai berpotensi tidak bisa menembus ambang batas parlemen adalah, Perindo hanya 3,5 persen, PAN, 3,4 persen, PKS 3 persen, PPP 2,8 persen, NasDem, 2,7 persen, Hanura, 0,7 persen, PSI 0,3 persen, PKPI 0,2 persen, PBB 0,2 persen, Berkarya 0,2 persen dan responden yang belum menentukan pilihan atau undecided voters sebesar 14,4 persen.

Sudarto menjelaskan, penyebab tingkat keterpilihan PDI Perjuangan dan Gerindra terus meningkat karena kedua partai mengusung tokoh sentral untuk maju di Pilpres 2019. Tokoh itu adalah Joko Widodo yang kini identik dengan PDI Perjuangan, dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Apalagi keduanya terus mendapatkan sorotan dari media mainstream dan juga media sosial sehingga semakin kuatnya pemberitaan tentang pencalonan keduanya sebagai capres, maka PDI Perjuangan dan Partai Gerindra mendapatkan efek positifnya.

"Sedangkan partai-partai lain yang menjadi bagian dari Pak Jokowi tampaknya tidak menuai keuntungan, ketika orang suka dengan Jokowi, maka larinya ke PDIP, bukan Golkar atau partai lain-lain. Begitu pula sebaliknya dengan Pak Prabowo berefek kepada partainya dan partai lainya tidak," terang Sudarto.

Lanjut Sudarto, fakta ini harus benar-benar menjadi perhatian untuk partai-partai lainnya. Maka, kata Sudarto, sangat perlu bagi partai-partai lain untuk membentuk poros baru demi mendulang tingkat elektabilitas yang tinggi. Sebab, poros ketiga tidak hanya penting untuk memperbanyak pilihan publik terhadap capres dan cawapres pada Pilpres 2019, Tapi juga dapat menyelamatkan partai dari ambang batas parlemen.

"Jadi kalau hanya dua orang ini (Joko Widodo dan Prabowo Subianto) yang bertarung, cenderung akan menaikkan suara PDI Perjuangan dan Gerindra saja," urai Sudarto. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement