Senin 23 Jul 2018 09:43 WIB

Pertamina, PLN, dan Fiskal Kita

Saya memiliki keyakinan bahwa kondisi keuangan Pertamina dan PLN tetap sehat

Sunarsip
Foto: dok. Pribadi
Sunarsip

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Sunarsip

Sepekan kemarin, media massa banyak memuat berita terkait dengan rencana Pertamina yang akan melakukan aksi korporasi berupa pelepasan kepemilikannya di sejumlah aset. Rencana ini diketahui setelah media massa memuat surat menteri BUMN yang memberikan persetujuan prinsip terkait dengan rencana aksi korporasi tersebut.

Terdapat empat hal yang ditekankan menteri BUMN dalam suratnya itu. Namun, klausul mengenai share down aset hulu dan spin-off aset hilir yang banyak mendapatkan perhatian publik. Kedua klausul ini dinilai beberapa pihak dapat mengurangi aset dan menurunkan kapasitas Pertamina.

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita pahami terlebih dahulu apa esensi dari aksi korporasi tersebut. Banyak istilah teknis korporasi yang bila tidak dipahami secara tepat dapat menimbulkan interpretasi berbeda.

Pertama, share down adalah kebijakan yang diambil perusahaan melalui pengurangan porsi kepemilikan saham di sejumlah aset investasi. Dalam industri minyak dan gas bumi (migas), aset investasi ini bisa berupa kepemilikan saham di sejumlah blok migas. Kepemilikan sahamnya pun beragam, ada yang mayoritas (pengendali) dan ada yang minoritas (bukan pengendali).

Secara normatif, salah satu pertimbangan melakukan share down adalah untuk mengoptimalkan nilai aset investasi, misalnya karena terdapat potensi investasi baru yang lebih menguntungkan. Karena membutuhkan dana besar untuk mengambil potensi pada investasi baru, maka perusahaan perlu menjual aset investasi yang potensi keuntungannya lebih rendah. Keputusan ini justru baik bagi perusahaan karena kapasitas perusahaan naik.

Kedua, terkait dengan rencana spin-off aset kilang (refinery unit/RU) milik Pertamina ke anak perusahaan dan potensi berpartner dengan mitra (farm in) di anak perusahaan tersebut. Aksi spin-off berbeda dengan share down.

Aksi share down berakibat berkurangnya kepemilikan saham pada suatu aset, sedangkan spin-off tidak berakibat pada berkurangnya kepemilikan saham pada aset tersebut. Posisi aset hanya pindah dari perusahaan induk ke perusahaan anak. Nantinya, laporan perusahaan anak akan terkonsolidasikan dalam laporan perusahaan induk.

Dari penjelasan di atas, saya ingin mengatakan bahwa kedua langkah di atas sebenarnya merupakan aksi korporasi biasa, terjadi pula di perusahaan lain. Kedudukan surat menteri BUMN juga mekanisme biasa karena setiap aksi korporasi yang berdampak strategis memerlukan persetujuan pemegang saham. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa kedua aksi korporasi tersebut akan menyebabkan penurunan aset dan kapasitas Pertamina kurang relevan.

Lalu, mengapa respons atas rencana aksi korporasi ini kemudian begitu heboh? Dalam pandangan saya, yang menyebabkan “kehebohan” bukan terletak pada aksi korporasinya, tetapi pada pertimbangan (konsideran) yang digunakan dalam aksi korporasi tersebut. Konsideran yang digunakan untuk melakukan aksi korporasi tersebut adalah “untuk mempertahankan kondisi kesehatan keuangan Pertamina”. Konsideran inilah yang menimbulkan sejumlah dugaan terkait dengan kondisi Pertamina: apakah masih dalam kondisi sehat?

Kinerja BUMN sektor energi kita—tidak hanya Pertamina, tetapi juga PLN—memang dalam situasi yang penuh tantangan saat ini. Namun, saya memiliki keyakinan bahwa kondisi keuangan Pertamina dan PLN tetap sehat. Keyakinan ini didasari pada kinerja kedua BUMN yang masih membukukan laba meskipun menurun.

Pada 2017 lalu, Pertamina memperoleh laba 2,54 miliar dolar AS, lebih rendah dibandingkan dengan laba 2016 sebesar 3,15 miliar dolar AS. Sementara, PLN memperoleh laba sebesar Rp 6,03 triliun pada 2017, turun dibandingkan dengan 2016 yang memiliki laba sebesar Rp 8,15 triliun. Kalau kita telusuri, penurunan laba ini terutama disebabkan oleh hal-hal yang di luar kendali Pertamina dan PLN.

Sejak tahun lalu, Pertamina dan PLN dihadapkan pada kondisi di mana harga energi primer meningkat. Pertamina dihadapkan pada kenaikan harga minyak, sedangkan PLN pada kenaikan harga batu bara. Kenaikan harga minyak dan batu bara ini tentu mendorong kenaikan biaya produksi.

Sayangnya, kenaikan harga minyak dan batu bara tidak dapat serta-merta diimbangi oleh kenaikan harga produk. Pertamina dan PLN tidak memiliki keleluasaan untuk menaikan harga BBM dan listrik. Kebijakan harga BBM dan listrik, sekalipun dalam tataran normatif, seharusnya menyesuaikan perkembangan harga energi primer. Namun, dalam praktiknya tetap harus melalui persetujuan pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung.

Kenaikan biaya produksi terpaksa harus ditanggung Pertamina dan PLN. Pertamina masih lebih beruntung daripada PLN meski tetap sama-sama tidak diuntungkan. Pertamina memiliki bisnis hulu yang diuntungkan dengan kenaikan harga minyak sehingga, secara konsolidasi, kinerja keuangan Pertamina masih laba meskipun bisnis hilirnya cenderung merugi. Sementara itu, bisnis utama PLN hanya berjualan listrik dengan tarif yang relatif sama. Mayoritas biaya produksi listrik, terutama energi primernya yaitu batu bara, dibeli dengan dolar AS. Ketika harga batu bara naik, biaya produksi listrik juga naik.

Saat ini, harga batu bara untuk listrik PLN telah dipatok sebesar 70 dolar AS per ton. Kebijakan itu sangat membantu meringankan biaya produksi listrik PLN. Sayangnya, kini PLN menghadapi situasi lain berupa pelemahan nilai tukar rupiah yang tentunya dapat mendorong kenaikan biaya bagi PLN. Di sisi lain, pendapatan PLN hampir seluruhnya diterima dalam rupiah. Kondisi inilah yang menimbulkan mismatch. PLN tidak memiliki sumber pendapatan lain seperti Pertamina untuk mengurangi kerugian akibat mismatch tersebut.

Pemerintah telah menetapkan bahwa sampai dengan 2019 tidak akan ada kenaikan harga BBM bersubsidi dan tarif dasar listrik (TDL). Itu artinya ruang bagi PLN dan Pertamina untuk mengurangi tekanan biaya menjadi semakin sempit. Dengan demikian, harus ada solusi agar Pertamina dan PLN mampu keluar akibat tekanan kenaikan biaya ini.

Subsidi energi (BBM dan listrik) ditetapkan oleh APBN dengan menggunakan asumsi makroekonomi yang telah disepakati. Dalam perkembangannya, realisasi indikator makroekonomi jauh berbeda dengan asumsinya. Harga minyak dalam APBN 2018 diasumsikan 48 dolar AS per barel, kini realisasinya di atas 60 dolar AS per barel. Nilai tukar rupiah diasumsikan Rp 13.400 per dolar AS, kini realisasinya di atas Rp 14 ribu per dolar AS. Kenaikan realisasi indikator makroekonomi tentu turut menyebabkan biaya yang ditanggung Pertamina dan PLN menjadi lebih tinggi.

Sayangnya, dampak kenaikan biaya ini tidak bisa langsung diminta penggantiannya karena pemerintah terbentur ketentuan dalam APBN yang menyatakan bahwa besaran subsidi energi yang dibayarkan adalah yang sesuai ditetapkan APBN. Itu artinya, selama APBN tidak direvisi, seluruh kenaikan biaya ditanggung sendiri oleh BUMN terkait.

Dengan kata lain, angka defisit APBN kita yang saat ini terjaga relatif baik belum sepenuhnya menggambarkan kondisi secara menyeluruh. Terdapat beberapa bagian dari beban subsidi yang seharusnya ditanggung APBN digeser menjadi beban yang ditanggung Pertamina dan PLN.

Kondisi cash flow kedua BUMN energi tersebut, terutama PLN, sedang mengalami tekanan meski masih dalam kondisi cukup sehat. Namun, dengan menyikapi perkembangan terkini, perlu dipikirkan kembali untuk memperkuat kemampuan cash flow-nya, terutama bagi PLN. Strateginya adalah dengan menambah subsidi atau penambahan modal. Tujuannya agar kontinuitas percepatan pembangunan proyek sektor energi kita tetap terjaga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement