Senin 23 Jul 2018 08:57 WIB

Di Balik OTT Kalapas Sukamiskin

Tindakan jual-beli fasilitas mewah bagi napi kelas kakap ini ibarat bom waktu.

Lapas Sukamiskin, Arcamanik, Bandung pada Ahad (22/7) terpantau sepi.
Foto: Republika/Hartifiany Praisra
Lapas Sukamiskin, Arcamanik, Bandung pada Ahad (22/7) terpantau sepi.

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Bagong Suyanto, Guru Besar dan Dosen Prodi Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kali ini agak berbeda. Jika sebelumnya yang terkena OTT kebanyakan adalah para pejabat negara, menteri, anggota dewan, politikus, kepala dinas, dan pengusaha, kini yang ketiban apes OTT adalah kepala lapas (lembaga pemasyarakatan).

Seperti diberitakan media massa, KPK dilaporkan telah mengamankan enam orang terkait OTT di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Enam orang yang diamankan KPK terdiri atas beberapa unsur, mulai dari unsur penyelenggara negara di lapas, narapidana korupsi, dan keluarga napi serta PNS (pegawai negeri sipil) di Lapas.

OTT sejumlah orang dilakukan KPK karena diduga terjadi transaksi suap antara narapidana kasus korupsi dengan pejabat di Lapas Sukamiskin. Suap tersebut diduga agar narapidana mendapatkan sejumlah fasilitas selama berada di dalam penjara. Di lapas yang dihuni sejumlah napi koruptor kelas kakap, seperti Setya Novanto, Akil Mochtar, M Nazaruddin, Fuad Amin, Tubagus Chaeri Wardana, Patrialis Akbar, dan Anas Urbaningrum itu disinyalir sering terjadi praktik jual-beli fasilitas dan kemudahan bagi para napi.

Transaksional

Di Indonesia, pencopotan kepala lapas karena dinilai menyalahgunakan kekuasaan dan melakukan transaksi jual-beli fasilitas penjara sebetulnya bukan hal baru. Sebelum kasus OTT di Lapas Sukamiskin, sejumlah kepala lapas, seperti kepala Lapas Batu Nusabambangan, kepala Lapas Cipinang, dan lain-lain tahun 2017 lalu juga dicopot dari jabatannya karena kasus pemberian fasilitas kamar mewah untuk napi.

Lapas yang seharusnya menegakkan aturan dengan tegas dan tidak pandang bulu, ternyata melakukan hal yang sebaliknya. Kisah tentang napi koruptor yang bebas keluar-masuk Lapas untuk pelesiran, pemberian izin berobat yang sangat longgar, dan penyediaan fasilitas tambahan untuk kamar napi, seperti AC, fasilitas air hangat, laptop, ponsel, dan lain sebagainya. Bahkan, kamar bercinta untuk napi adalah hal yang ditengarai sudah lama terjadi di berbagai lapas.

Sudah barang tentu penyediaan semua fasilitas mewah untuk para napi itu tidak gratis. Di Lapas Sukamiskin, harga izin pembiaran dan pemberian fasilitas mewah bagi kamar napi dibanderol seharga Rp 200 juta-Rp 500 juta. Itu pun masih ditambah kompensasi lain, seperti pemberian mobil mewah yang harganya ratusan juta untuk kepala lapas. Di lapas-lapas yang lain, diduga praktik jual-beli fasilitas mewah untuk para napi ini juga terjadi dengan tarif yang berbeda atau mungkin sama.

Intinya, penjara yang seharusnya menjadi terminal akhir bagi para pelanggar hukum, termasuk orang-orang yang terbukti melakukan korupsi untuk menjalani hukuman atas perbuatan mereka yang merugikan masyarakat dan negara, ternyata tidak hanya menjadi hotel prodeo yang serbaterbatas. Kisah napi yang tinggal berjejal puluhan orang hanya dalam ruang sel sempit seukuran 4 x 5 meter, itu hanya berlaku untuk penjahat kelas teri. Sedangkan untuk napi koruptor yang menggarong uang negara hingga ratusan miliar rupiah, mereka menjalani hukuman tak ubahnya seperti orang yang tengah piknik.

Kasus Gayus Tambunan, napi koruptor bekas pegawai departemen perpajakan yang sempat jalan-jalan menonton pertandingan tenis, makan di restoran dengan dua perempuan, dan lain sebagainya, tentu masih membekas di benak kita. Bisa dibayangkan, kalau seorang Gayus yang notabene hanya pegawai negeri kelas rendahan, bisa saja membeli fasilitas mewah dari lapas, lantas bagaimana jika napi yang masuk adalah orang-orang top, pengusaha, mantan pejabat, tokoh partai atau orang-orang yang bergelimang harta?

Kepala dan para petugas lapas yang setiap bulan hidup dari gaji yang tidak besar, tentu sulit menahan godaan untuk tidak melakukan transaksi ekonomi dengan para napi yang bergelimang harta. Katakanlah kalau harga izin pembiaran satu kamar napi harganya Rp 200 juta-Rp 500 juta, total kompensasi yang diterima kepala lapas dari hasil jual-beli fasilitas mewah kepada sejumlah napi, bukan tidak mungkin mencapai puluhan milyar rupiah.

Mencoreng

Memperlakukan napi secara manusiawi, termasuk menyediakan kamar yang layak sebetulnya bukan hal yang keliru. Di sejumlah negara maju, kita bisa melihat fasilitas yang disediakan di berbagai penjara bagi para napi umumnya sangat layak, bahkan seperti kamar indekos mahasiswa kelas menengah ke atas. Yang menjadi masalah dalam berbagai kasus penyalahgunaan fasilitas lapas dan kekuasaan yang dimiliki kepala lapas di Indonesia adalah:

Pertama, tindakan pembiaran dan perlakuan diskriminatif. Kepala lapas hanya menyediakan fasilitas mewah bagi napi-napi koruptor yang mampu membayar mereka, sementara membiarkan napi-napi lain yang tidak bisa mampu membayar tinggal dalam sel yang serbaterbatas. Tindakan diskriminatif seperti ini jelas akan berpotensi memicu kecemburuan sosial, bahkan bukan tidak mungkin pemberontakan para napi yang merasa diperlakukan tidak adil.

Kedua, relasi kuasa dalam lapas yang seharusnya menempatkan petugas Lapas dalam posisi superordinat, dan para napi dalam posisi yang subordinat, justru yang terjadi adalah relasi transaksional yang merendahkan posisi bargaining sipir. Panopticon yang seharusnya bekerja dalam total institution seperti di lingkungan penjara sebagaimana dikatakan Michel Foucault, justru tidak muncul karena posisi napi kelas kakap yang lebih memegang kendali.

Pascakasus penyalahgunaan kekuasaan di Lapas Sukamiskin terkuak ke permukaan, pemerintah untuk kesekian kali telah berjanji akan segera melakukan pembenahan yang diperlukan. Sejauh mana Kementerian Hukum dan HAM benar-benar akan merealisasi janjinya membenahi sistem lapas di tanah air, tentu waktulah yang akan membuktikannya.

Tindakan jual-beli fasilitas mewah bagi napi kelas kakap dan memperlakukan secara diskriminatif napi-napi kelas teri dalam lapas, ibaratnya adalah bom waktu yang berbahaya. Keterlambatan dan kegagalan Kementerian Hukum dan HAM merespons isu tersebut secara tuntas, jangan kaget jika ujung-ujungnya akan mencoreng reputasi penegakan di Indonesia secara keseluruhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement