Ahad 22 Jul 2018 01:00 WIB

Mengapa Formalisasi Syariah Belum Bisa Menghilangkan Korupsi

Syari’at Islam justru ingin membuat Aceh menjadi lebih baik.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf saat akan menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta (Ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf saat akan menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Teuku Zulkhairi, Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

 

Sulit dipaham kenapa setiap kali ada berita buruk dari Aceh langsung Syari’at Islamnya yang menjadi sasaran. Komentar-komentar yang menyudutkan Aceh misalnya terbaca dari kolom komentar berita-berita media online nasional pasca-penangkapan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan sejumlah nama lainnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak netizen Indonesia langsung “membombardir” Aceh dan Syari’at Islamnya dengan stigma buruk. Bahkan, salah satu artikel di media online nasional langsung menyimpulkan, bahwa penerapan syariah tidak bisa menjadi solusi dalam mengatasi persoalan korupsi.

Dan ironisnya, bukan hanya saat ada satu dua sosok yang berbuat salah lalu Syari’at Islamnya diserang, namun juga saat Aceh melakukan kegiatan-kegiatan yang sangat positif. Amatan saya, ini telah menjadi cara pandang umum yang salah dari banyak orang luar terhadap Aceh dengan hukum syari’ahnya. Kesalahan yang fatal dalam cara netizen Indonesia memandang Aceh yang seharunya lebih saling menghormati. Kami yang lahir dan besar di Aceh cukup prihatin melihat cara pandang semacam itu.

Sebab, sejatinya Syari’at Islam justru ingin membuat Aceh menjadi lebih baik, menjadi rahmat bagi seluruh manusia yang hidup di sini. Kita prihatin mengapa publik sosial media belum mampu melihat Aceh dan Syari’at Islamnya secara jernih. Tidak selayaknya Syari’at Islam ikutan diberi stigma buruk akibat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh satu dua sosok, baik masyarakatnya ataupun elitnya.

Sekali lagi, pada faktanya, Syari’at Islam justru ingin membuat Aceh menjadi lebih baik. Syari’at Islam ingin menghilangkan kerusakan-kerusakan dalam apapun bentuknya. Syari’at Islam di Aceh bukanlah barang yang sudah jadi, melainkan cita-cita mulia yang ingin diwujudkan dan terus berproses pengimplementasiannya secara kaffah.

Syari’at Islam diterapkan di Aceh ingin membangun peradaban yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Aceh dalam sejarahnya di masa kerajaan pernah tercatat sebagai sebuah kerajaan Islam nomor lima terbesar di dunia, setelah Imperium Ottoman (Turki Usmani), Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Islam Isfahan Timur Tengah, dan Kerajaan Islam Agra di India, (A.K. Jacobi: 1998).

Berkah dari penarapan Syari’at Islam ini, Aceh dalam sejarah kegemilangannya pernah menjadi sebuah kekuatan yang sangat disegani para penjajah Eropa. Aceh juga tidak pernah berhasil dijajah oleh Belanda maupun Jepang. Masyarakatnya yang mencintai Syari’at Islam senantiasa menggelorakan semangat perlawanan melawan penjajah.

Aceh juga memberi modal awal untuk pendirian Republik Indonesia. Warganya berbondong-bondong menyumbang hartanya untuk membeli pesawat pertama bagi modal republik. Intinya, Syari’at Islam dalam sejarahnya telah memberikan kekuatan bagi rakyat Aceh untuk memberikan berbagai sumbangsih bagi peradaban dan kemanusiaan. Syari’at Islam terbukti mampu mengantarkan Aceh ke pintu kejayaannya.

Maka jangan heran jika masyarakat Aceh sangat mendukung penerapan Syari’at Islam di Aceh. Islam di kawasan Asia Tenggara juga tersebar melalui Aceh. Ini sangat dipahami masyarakat Aceh sehingga setelah periode panjang Aceh ‘berjalan’ tanpa bimbingan Syari’at Islam, masyarakat Aceh terus menuntut pemerintah pusat Republik Indonesia di Jakarta untuk mengizinkan Aceh berlakukan Syari’at Islam. Kenapa? Karena Syari’at Islam telah terbukti pernah mengantarkan Aceh dalam era kegemilangannya.

Syari`at Islam adalah solusi fundamental atas potensi jatuhnya umatnya ke dalam jurang hedonisme dan materialism duniawi yang memperdayakan dari mengingat kehidupan akhirat. (Teuku Zulkhairi: 2017). Daud Rasyid (2010) menyebut, hukum Syari`at sesungguhnya dibangun atas sebuah prinsip “Demi mewujudkan keuntungan dan menolak kerugian (Jalbu al-Mashalih wa Dar’ul al-Mafasid). Ketentuan hukum Syari`at di bidang apa saja, semuanya mengacu pada kemaslahatan umat manusia. Tak akan ditemukan hukum Syari`at menimbulkan kerugian atau bencana bagi manusia (bukan hanya umat Islam).

Melalui tulisan ini saya ingin sampaikan, sudah saatnya publik dunia maya Indonesia agar melihat Aceh secara positif. Bahwa jika ada kerusakan-kerusakan di Aceh akibat ulah tangan satu dua manusia di Aceh, maka sama sekali itu bukan tuntunan Syari’at Islam. Syari’at Islam justru ingin mencegah kerusakan-kerusakan tersebut. Seperti kasus korupsi. Dalam perspektif Syari’at Islam, pelaku korupsi justru harus dihukum potong tangannya jika terbukti secara meyakinkan dan dengan jumlah barang curian yang ditentukan hukum Syari’ah.

Di Aceh, bahkan sudah ada fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 02 Tahun 2013 tentang Tindak Pidana Korupsi. Fatwa ini keluar dengan menimbang bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini telah menghancurkan sistem pemerintahan, melanggar nilai-nilai syariat islam, adat istiadat dan budaya. Bahwa tindak pidana korupsi telah merampas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dan sistemik, oleh karena itu pemberantasannya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan konprehensif; bahwa pelaku korupsi cenderung tidak memiliki nilai-nilai keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada masyarakat, bangsa dan negara.

Dan sebagai hukuman, dalam fatwa ini, tindak pidana korupsi dikenai sanksi sebagai berikut: a. Harta dan segala sesuatu yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi disita oleh negara dan dikembalikan kepada yang berhak. b. Dipenjara, diberhentikan dari jabatan dan dari Pegawai Negeri Sipil. c. Pengucilan pada kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.

Mungkin pembaca akan bertanya, lalu kenapa masih ada yang korupsi di Aceh padahal Aceh telah berlakukan Syari’at Islam? Jawabannya adalah karena regulasi untuk memberlakukan hukum seperti disebutkan dalam fatwa di atas belum dibuat. Jadi, hukum potong tangan bagi pencuri belum dibuat di Aceh. Kenapa belum dibuat? Karena Syari’at Islam yang diterapkan di Aceh sifatnya adalah bertahap (tadarruj). Tidak bisa sekaligus. Namun bukan berarti Syari’at Islam mentolerir pelanggaran. Sementara sebelum hukum Syari’ah dalam perkara ini belum diatur, maka hukum positif tetap berlaku.

Jika ada yang bertanya, lalu kapan akan dibuat? Sebelum menjawab ini, perlu diketahui bahwa tidak mudah bagi Aceh dalam membelakukan satu persatu hukum Syari’ah. Jika ditanya kepada masyarakat Aceh, mungkin mayoritas akan menyetujui hukum potong tangan bagi koruptor (pencuri). Pertanyaan saya, apakah yang tadinya bertanya kapan koruptor dipotong tangan akan setuju dengan hukum potong tangan? Saya yakin nanti justru akan ditolak oleh banyak orang luar Aceh, kecuali orang-orang yang sudah memahami persoalan Aceh secara baik.

Kita masih ingat ketika muncul wacana membelakukan hukum Qisas di Aceh beberapa waktu lalu, dimana dengan hukum ini seorang pembunuh akan dihukum mati. Saya perhatikan, banyak sekali yang protes dan menuduh hukum Qisas tersebut ekstrim, radikal, dan tidak sesuai dengan dunia modern. Jadi intinya wacana hukum Qisas langsung ditolak oleh banyak pihak di pusat. Intinya, tidak mudah memberlakukan kembali Syari’at Islam secara kaffah di Aceh.

Begitu juga saat Aceh beberapa tahun silam ingin berlakukan Qanun Jinayat yang mengatur 10 jenis pelanggaran, seperti minuman keras, zina, judi, gay, lesbian, pelecehan seksual dan sebagainya. Butuh waktu bertahun-tahun baru Qanun ini bisa diberlakukan setelah melalui berbagai upaya revisi dan penolakan-penolakan dari berbagai pihak, dari dalam dan luar negeri. Bahkan penolakan-penolaka itu berlangsung sampai ini. Padahal, Qanun ini ingin menghukum peminum minuman keras, pemain judi, pelaku gaya, pelecehan seksual dan seterusnya. Kenapa bisa ditolak? Inilah yang saya katakan tidak mudah memberlakukan Syari’at Islam di Aceh.

Dengan fakta seperti ini, bagaimana mungkin dalam kasus korupsi misalnya lalu Aceh dan Syari’at Islamnya kembali menjadi yang tersalah? Padahal, penerapan Syari’at Islam sendiri jika diterapkan maka akan bisa menghilangkan praktek korupsi. Kendati pun demikian, hingga sejauh ini, dengan penerapan yang minimum, Syari’at Islam telah memberikan berbagai efek positif yang menakjubkan bagi masyarakat Aceh.

Memang, perbuatan-perbuat kriminal seperti pembunuhan kadangkala masih terjadi di Aceh. Begitu juga narkoba, korupsi dan sebagainya. Itulah sebab Syari’at Islam di Aceh terus didukung masyarakat Aceh agar diterapkan secara kaffah agar kejahatan-kejahatan semacam itu dapat semakin diminimalisir. Ayo masyarakat maya Indonesia, beri dukungan tulus untuk Syari’at Islam di Aceh! Kalau Aceh semakin baik dengan penerapan Syari’at Islam, Indonesia juga akan memberikan kebaikan bagi republik ini. Insya Allah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement