Ahad 15 Jul 2018 15:07 WIB

Taruhan Nasionalisme Kroasia-Prancis di Final Piala Dunia

Dengan pertandingan final Piala Dunia kita berkaca praktik nasionalisme masa kini.

Piala Dunia
Piala Dunia

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Pada Rabu malam lalu, sebuah negara dengan penduduk sedikit  baru saja lolos ke final Piala Dunia. Pertanyaannya bagaimana mungkin negara semungil Kroasia yang penduduknya hanya empat juta, bisa membangun sebuah tim yang cukup baik sehingga bisa lolos ke final Piala Dunia?

Pertanyaan ini muncul di berbagai tulisan di media massa internasional. Mereka juga heran, mengapa negeri ala kurcaci itu yang bila di Indonesia wilayahnya hanya seluas Nanggroe Aceh Darussalam, atau penduduknya sepertiga Jabotabek, bisa seperti itu. Negara yang berpenduduk lebih besar tak bisa mengikuti langkahnya. Dan apa rahasianya?

Dalam sejarahnya pun keikut sertaan Kroasia dalam piala dunia belum lama, yakni pada pertengahan takhir tahun 1990-an atau seusainya perang saudara setelah bangkrutnya Yugoslavia. Namun begitu ikut piala dunia, yakni pada tahun 1998, negeri yang ada di kawasan Balkan ini mengalahkan negeri para raksasa sepakbola. Kala itu team Argentina dengan bintangnya Gabriel Batistuta mereka tekuk.

Pada tahun 2018 pun begitu. Meski jumlah penduduk Argentina 10 kali lipatnya (sekitar 43 juta) --meski ada Lionel Messi -- juga tak berarti. Team Inggris pun mereka sikat. Meski boleh bersemboyan layaknya negara imperium di mana punya jargon ’matahari tak pernah tenggelam di Britania’, ternyata tak berati apa-apa. Padahal Liga Inggris salah satu liga umata sepakbola. Penduduknya sampai 53 juta. Juga Rusia yang jadi tuan rumah prestasinya 'sami mawon',meski sampai kini tetap menjadi negara yang punya teknologi perang tinggi serta penduduknya yang setengah dari  Indonesia, yakni 144 juta.

Mengutip tulisan Karl Mc Doland, Kroasia jelas bukan anak bawang. Bahkan saat masih bersatu dalam Yugoslavia kebanyakan pemain nasional negara itu dulu di kuasai orang Kroasia. Semenjak dahulu pemain Kroasia tersebar. (Di Indonesia pun dahulu malah ada pemain dari semenanjung Balkan, meski bukan orang Kroasia, yaitu Dejan Gluseviv, yang sempat mengaku orang Montenegro padahal sejatinya orang Serbia). Dia sukses membawa  Persib Bandung sebagai jawara. Kini juga ada Marco Simic, pemain dari yang pula berasal dari  jazirah Balkan yang tengah menjadi pemain bintang Persija Jakarta.

 

Bahkan, di tengah kecamuknya perang di Semenjung Balkan, pada 1992 team sepakbola Kroasia sukses menundukan Australia. Kisah kemenangan mereka tercacat dalam memori para tentara penjaga perdamaian PBB yang kala itu berada di negera tersebut. Menurut mereka, pertandingan yang berlangsung  pada 29 Juli 1991 itu bernilai luar biasa bagi orang Kroasia. Mereka melihat langsung betapa kemenangan itu mampu menghibur seorang wanita tua yang rumahnya hancur akibat serangan udara malam hari oleh pasukan Serbia.

photo
Ibu asal Kroasia menangis karena serangan udara Serbia pada perang Balkan di tahun 1990-an. (Foto: inews.co.uk)

Dan sama dengan negara Balkan lainnya, Kroasia menjadi bagian Yugoslavia sejak tahun 1918. Negara ini menjadi negara baru bersama Serbia, Bosnia dan Herzegovina, Montenegro, Macedonia, Slovenia, dan Kosovo, yang baru merdeka menjadi negara mandiri setelah  tahun 1990. Secara historis Kroasia adalah bagian dari kekaisaran Austria-Hongaria. Warganya sebagaian besar beragama Katolik Ortodok Serbia. Mereka punya tetangga negara Bosnia yang berpenduduk Muslim.

                                               ****

Di Kroasia, kebanyakan tim sepakbola yang sukses secara domestik adalah Dinamo Zagreb dan Hajduk Split Mayor. Sepakbola adalah olah raga  favorit, diikuti oleh bola tangan, basket, dan polo air. Tim mereka sering terlihat dalam siaran chanel sport TV berbayar pada kompetisi internasional, baik di Eropa atau dunia.

Khusus untuk team sepakbola, Kroasia juga belum lama menjadi anggota FIFA seperti layaknya Indonesia yang sudah masuk menjadi anggota sejak zaman Hindia Belanda sekitar sebad silam.  Lawatan perdana tim mereka baru dimulai pada tahun 1990 dengan melakukan pertandingan persahabatan melawan Amerika Serikat. Uniknya, pertandingan ini sempat dianggap bermasalah sehingga tidak diakui oleh FIFA. Namun, keberadaan pertandingan tim sepakbola bernilai positif, yakni menjadi salah satu cara untuk memperkenalkan  Kroasia sebagai negara merdeka. Itulah salah hal yang  memicu kesadaran baru dunia internasional, bahwa Kroasia kini adalah sebuah negara.

Kroasia pastinya secara resmi baru menyatakan kemerdekaan pada tahun 1991.  Kebanyakan orang Kroasia berada dan hidup di tempat yang disebut wilayahnya sebagai negara yang identik dengan namanya, yakni Kroasia. Sebagian etnis Kroasia sampai hari ini tersebar di negara Balkan yang lain. Di Serbia misalnya menjadi kelompok minoritas besar yang ada di negara itu. Di  negara Bosnia pun begitu.

Sama dengan orang Muslim Bosnia, Kroasi juga mengalami apa yang disebut perang dengan tujuan melakukan  pembersihan etnis. Mereka dahulu ikut terlibat dalam konflik berdarah antara sebuah  bangsa yang berbicara bahasa hampir identik di Balkan itu. Bukan hanya itu, Kroasia bersama wilayah yang kini menjadi tujuh negara itu, sebenarnya telah menjadi bagian dari satu negara yang untuk hampir seabad lamanya bersatu dalam negara yang dikenal sebagai: Yugoslavia.

Jejak konflik berdarah pada final Pialada dunia 2018 ada pada sosok pemain bintang yang menjadi kaptem Tim Kroasia, Luka Modric. Dia salah satu orang yang mengalami langsung konflik dan pembantaian berdarah di Balkan itu. Modric  yang lahir pada tahun 1985 jelas pernah hidup serta melalui beberapa peristiwa tragis di masa kecilnya yang mengerikan itu.

Pemain Kroasia lainnya, Mario Mandzukic, juga begitu. Akibat perang bersama orang tuanya pilih pindah ke Jerman. Mandzukic  kemudian tumbuh dan besar di di Jerman yang sampai saat ini menjadi tujuan kerja para orang Balkan karena negera ini memang jauh lebih makmur. Ia mengawali karir di sana, bahkan sempat tinggal di Yunani pada usia 10 tahun. Sementara Ivan Rakitic lahir dan dibesarkan di Swiss, di mana ia memulai karirnya dengan klub sepaknola di Basel. Vedran Corluka pun sama pula. Dia malah lahir di Bosnia, namun karena perang dia melarikan diri ke Kroasia pada tahun 1992.

Memang sebagian pemain muda kurang terkena dampak perang itu secara langsung, tapi memori dan mitos perang Balkan masih besar menghiasai benak para punggawa tim. Dejan Lovren, misalnya, sempat menimbulkan kontroversi dengan postingnya video dirinya dengan menyanyikan sebuah lagu nasionalis yang berasal dari era itu. Lagu itu dianggap publik Kroasia bermasalah karena menampilkan slogan-slogan yang telah diadopsi oleh kaum fasis (sebutan kepada Serbia dan Yugoslavia).

Ingatan kolektif dari pergolakan perang itulah yang  tersebut memotivasi dan menyatukan tim nasional. Ini terjadi sejak era Zvonimir Boban, Goran Vlaović, Davor Suker yang ketika mereka datang untuk pertamakalinya pada tahun 1994 mampu sampai menjejakkan kaknya di babak kualifikasi untuk Euro 96. Hebatnya, meski sebagai laskar sepakbola yang lahir dari medan perang, mereka sukses menduduki puncak grup kualifikasi mereka di atas Inggris. Langkah mereka baru dipupuskan Jerman pada babak sistem gugur. Hebatnya lagi, kala itu mereka sampai perempat final.

Namun lima tahun setelah penciptaan rekor itu, kelompok team Kroasia ini mendulang  prestasi yang tak kalah cemerlang. Para pemain itu dikenal sebagai generasi emas Kroasia. Mereka punya langkah besar di Piala Dunia Prancis pada 1998. Mereka pun kembali tunjukan n capain prestasi yang juga luar biasa. Berkat mereka, Kala itu seragam tim Kroasia yang berwarna merah dan putih langsung menjadi ikonik. Mereka buat Batistuta menangis dengan gol tunggalnya.

Kini pada 20 tahun berselang tampaknya akan bisa lebih hebat lagi. Apalagi mereka telah menjejak final pada Ahad ini (waktu Rusia). Bila Kroasia menang, maka ini menjadi capaian yang meterorik yang kemudian akan mengatur harapan untuk generasi Kroasia mendatang.

                                               ******

Sebenarnya ada dua alasan mengapa Kroasia punya team sepakbola yang sangat baik.Semangat kerja keras dan bersatu untuk mengatasi kesukaran akibat perang berdarah, membuat  mereka mampu berpretasi maju sampai sejauh ini. Prestasi seperti ini tak mungkun bisa dicapai  dengan begitu cepat oleh orang Kroasia bila tidak memiliki blok mental kuat.

Namun juga ada benarnya bila masih ada alasan yang lain. Harap diketahui secara politis, sepakbola bagi negara Kroasia memiliki suatu arti yang sangat besar. Secara politik adanya sebuah tim sepakbola yang solid pada suatu tingat tertentu membuat bangsa Kroasia percaya diri bila punya kemampuan yang unggul di mata dunia. Dia jadi merasa lebih tinggi  derajatnya, misalnya ketika membandingkan dirinya dengan orang Slovakia atau Belarus, yang kurang mempersona di panggung dunia.

Faktor lainnya adalah sepakbola menjadi cara untuk memperkuat nasionalisme yang mungkin sedikit tidak menyenangkan karena diangap ‘chauvinis’ bagi mereka yang percaya bahwa demokrasi liberal ala barat sebagai pilihan terbaik. Partai HDZ yang berkuasa di Kroasia telah dituduh mencoba mengeksploitasi rasa nasionalisme ini melalui keberhasilan tim sepakbola. Mereka meningkatkan retorika nasionalisme yang mengakibatkan sejumlah masalah bagi iklim politik di negara itu guna mengatur otoritas sepakbola.

Akibatnya, pada saat sekarang pun telah ada larangan bagi pemain untuk tidak melakukan nyanyian ultra-nasionalis di stadion. Bila ada yang menyanyikannya, baik pemain maupun pelatih akan dipecat karena pesan nyanyian itu berisi pesan pro-Ukraina. Ada pula larangan menampilkan gambar Swastika atau gaya hormat ala Nazi di lapangan, meski pertandingan tertutup. Ada juga aturan melarang nyanyian rasis dan mengibarkan bendera fasis.

Di Kroasia bila semua ini sampai terjadi,  itu merupakan sebuah hal yang terburuk. Apalagi terindikasi ada sebuah kelompok sampai ketahuan memanfaatkan  tim sepakbola untuk menggalang dukungan dan ide politik dari partai sayap kanan.

                                                 *****

Namun, apa pun analisnya, secara fundamental,  Kroasia memang sebuah negara sepakbola, seperti Brasil, Argentina, Spanyol, Italia, atau Inggris. Di sana, sepakbola adalah olahraga yang dimainkan oleh semua orang. Dan sepakbola adalah olahraga yang paling dipedulikan oleh anak-anak. Sepakbola layaknya  magnet yang menarik semua orang untuk menjadi pendukung tim Kroasia ketika setiap putaran Piala Dunia bergulir.

Pemompa dan penyalur gairah itu jelas berasal dari spirit sepakbola mereka. Klub seperti Dinamo Zagreb dan Hajduk Split sebagai muaranya. Klub ini  adalah dua dari klub "empat besar" semenjak zaman Yugoslavia. Dari dahulu kedua klub ini bersaing dan memberikan pengaruh. Juga ada saingan Klub Kroasia lain, yakni klub sepakbola seperti Partizan dan Red Star Belgrade.

photo
Anak-anak Kroasia antusias bermain sepakbola. (foto:inews.co.uk)

Jadi tak aneh, bila hampir semua mantan pemain nasional Yugoslavia berpengaruh   dahulu berasal dari orang Kroasia. Bahkan hingga kini warisan investasi dalam keunggulan olahraga dari rezim komunis lama itu masih terasa, misalnya dalam bentuk stadion dan akademi olahraga. Sosok pemain seperti Modric adalah salah satu pewaris tradisi itu.

Para pemain Kroasia semua hasil produksi liga domestik. Dari sanalah  kualitas itu berasal dan kemudian semakin berkembang setelah pemain mereka mendapat transfer dengan menjadi pemain bintang yang kemudian diekspor ke berbagai liga papan atas dunia. Modric, Mandzukic, dan Kovacic datang dari klub Dinamo Zagreb. Sementara Subasic dan Srna datang melalui Spliz. Mereka mengikuti jejak pendahulunya, yakni mengikuti jejak Stimac, Boksic, dan Bilic.

Para pemain tim Kroasia di skuat Piala Dunia 2018 ini memiliki enam pemain yang berada berbagai liga utama Eropa. Seperti di liga Italia, empat pemain di Spanyol, tiga di Jerman, dua di Kroasia, dan masing-masing satu di Inggris, Prancis, Rusia, Ukraina, Turki, serta liga di berbagai negara lainnya. Kenyataan ini jelas memberikan mereka punya pengalaman hebat tentang situasi dan cara untuk memainkan permainan serta taktik bermain sepakbola. Dan ini menjadi juga bukti bahwa para Kroasia telah lama dapat beradaptasi dan dibutuhkan di setiap liga di dunia

                          

                                               *****

‘Kemurnian nasionalisme' Kroasia ini  pada final Piala Dunia ini jelas beda dengan Prancis. Team mereka semua berasal dri pribumi Kroasia, lain sekali dengan team Prancis yang diisi anak-anak keturunan imigran dari negara yang dahulu di jajah Prancis. Ini misalnya, Presnel Kimpembe yang keturunan Congo, Samuel Umtiti (Kamerun), Paul Pogba (Guinea), Kylian Mbappé  (Kamerin/Nigeria),Ousmane Dembélé  (Senegal/Mali), Corentin Tolisso (Togo), N'Golo Kanté (Mali), Blaise Matuidi (Kongo, Angola), Steven Nzonzi (Kongo), Steve Mandanda (Kongo), Adil Rami (Maroko), Nabil Fekir (Aljazair), Djibril Sidibé  (Senegal), dan Benjamin Mendy (Senegal). Yang pribumi Prancis malah minoritas.

Tapi walaupun berasal dari keturunan imigran apakah mereka tidak bisa sukses? Jawabnya, jelas bisa dan sudah terbukti pada tim Prancis di era Zidane di mana pemainnya banyak dari anak imigran. Ketika itu  mereka juara dunia. Namun akibat luapan emosi suka cita pada siaran penyerahan tropinya telah memancing kebencian kelompok ultransionalis pimpinan Jean Marie Le Pen. Mereka makin terkejut ketika malah terdengar teriakan takbir: Allahu Akbar!.

‘’Setiap kali akan bertanding lihat mulut mereka yang tak bergerak saat lagu kebangsaan Prancis berkumandang. Jadi apa mereka orang Prancis?,’’ sungut Le Pen.

Jadi manakah pertaruhan model spirit nasionalisme yang akan menang. Tapi meski begitu, siapapun yang menang para anggota team di kedua kubu itu telah berhasil melewati berbbagai derita dan kesengsaraan. Pemain Kroasia berhasil mengatasi derai air mata dan kemiskinan akibat perang, pemain Prancis yang berasal dari keturunan imigran berhasil melewati kesusahan hidup sebagai warga negara pendatang yang berasal dari keluarga yang tak banyak harta.

Lalu nasionalisme model apakah yang akan ditiru Indonesia? Apakah masih akan mencontoh sebuah nasionalisme ala Kroasia, ataukah akan mencontoh ala Prancis?

Au ah gelap!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement