Jumat 13 Jul 2018 07:04 WIB

Ketika Jakarta Raih Penghargaan Kota yang Dicintai Warganya

Jakarta mengalahkan lebih dari 50 kota besar lainnya di dunia.

Esthi Maharani
Foto: doc pribadi
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*

Kota Jakarta dinyatakan sebagai pemenang global ajang We Love Cities 2018 yang diselenggarakan World Wide Fund for Nature (WWF). Jakarta juga kembali terpilih menjadi pemenang nasional One Planet City Challenge (OPCC).

Dengan penghargaan tersebut, Jakarta berhak menyandang gelar sebagai kota paling dicintai warganya. Jakarta mengalahkan lebih dari 50 kota besar lainnya di dunia. Sebut saja Tokyo (Jepang), Vancouver (Kanada), dan Kuala Lumpur (Malaysia). Jakarta juga mengungguli kota tetangga yakni Bogor, Jawa Barat yang menempati posisi ketiga. Kemenangan ini didapatkan setelah kampanye masif dengan voting dan masukan selama 7 Mei hingga 30 Juni 2018.

Nantinya, pemenang kampanye We Love Cities 2018 dan pemenang nasional OPCC, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan menerima sertifikat serta pengakuan global pada acara OPCC Global Awards Ceremony. Acara tersebut dalam rangkaian Global Climate Action Summit yang berlangsung di San Francisco, Amerika Serikat pada 12-14 September 2018.

Berdasarkan ranking yang di-upload Global Communicator Sustainable Cities WWF Victoria Olausson lewat status Facebooknya, @VictoriaOlausson, Rabu (4/7) lalu, Jakarta memimpin jauh di atas Pasig (Filipina) dan Bogor (Jawa Barat).

Dalam kategori Vote, DKI Jakarta mendapatkan voting sebanyak 2.470 suara, Pasig sebanyak 1.112 suara, dan Bogor sebanyak 877 suara. Sedangkan dalam kategori saran, Jakarta mendapatkan sebanyak 4.752 saran, Pasig sebanyak 2.546 saran, dan Bogor 6.264 saran.

Selain itu, besarnya suara didapatkan dari like dalam halaman Facebook We Love City. Jakarta mendapatkan sebanyak 26.892 like atau dibawah Pasig sebanyak 114.077 like, sedangkan Bogor hanya mendapatkan 552 like. Begitu juga saat merujuk pada tagar. Jakarta terlihat dominan, yakni mencapai 119.502. Sedangkan Pasig mendapat tagar hanya sebanyak 192, dan Bogor sebanyak 57.820.

Sehingga, total nilai yang diperoleh ketiganya antara lain, Jakarta sebesar 164.954 disusul Pasig sebesar 112.958, dan Bogor dengan jumlah 73.876. Dengan banyaknya interaksi tersebut, Jakarta dianggap berhasil menggaet warganya untuk berpartisipasi demi pembangunan kota yang lebih baik.

Capaian ini sedikit membuat saya terkejut. Saya mengira, dengan hingar bingar Jakarta beberapa tahun belakangan membuat masyarakatnya bisa saling membenci. Tak hanya pada sesama warga Jakarta, tetapi juga pada birokrasinya.

Nyatanya saya salah. Ketika mengetahui capaian itu, saya tersenyum. Jakarta tidak seburuk yang orang kira. Bahkan di dunia maya. Kampanye We Love Cities 2018 memang bertujuan untuk meningkatkan umpan balik dan melibatkan warga dalam pembangunan kota berkelanjutan untuk mendukung aksi menghadapi tantangan perubahan iklim. Umpan balik yang diterima bisa jadi bervariasi, bahkan mungkin isinya mencaci maki.

Saya teringat buku Nate Silver berjudul ‘The Signal and The Noise’. Walau belum selesai membacanya, tetapi ada kutipan yang saya ingat yakni: The signal is the truth. The noise is what distracts us from the truth.

Selama ini, sinyal itu tersembunyi dalam noise yang terlalu banyak variannya. Misalnya saja pujian, cacian, sarkasm, lelucon, atau apapun sebutannya. Celakanya, noise itu direproduksi terus menerus. Sinyal menjadi noise lagi. Bahkan tak jarang noise-noise baru diciptakan untuk meredam noise sebelumnya. Lalu dibalas lagi dengan noise baru, dan seterusnya. Terjadi ping-pong noise yang menjauhkan dari kebenaran dan makna sesungguhnya yang ingin disampaikan.

Bisa jadi, bukan hanya saya saja yang terjebak dalam hingar bingar noise tak berguna. Saya dan mungkin sebagian dari kita lupa bahwa noise itu telah mengalihkan pada hal-hal yang sebenarnya bisa lebih besar yakni pembangunan kota yang lebih baik agar bisa menjadi tempat yang layak untuk hidup dan dihidupi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta punya tugas untuk menguliti noise-noise tersebut. Untungnya, meski noise-noise itu berseliweran ke sana ke mari, tetapi Pemprov DKI Jakarta tidak terlalu terjebak untuk ikut mengayun dan menciptakan ping-pong noise yang berkelanjutan. Bagi saya, ini kemajuan karena sudah terlalu banyak orang bicara, maka yang dibutuhkan adalah pihak yang mendengarkan. Muaranya, mereka diharapkan bisa menangkap, meramu, dan mengakomodasi kebisingan itu dalam bentuk kebijakan.

Toh, WWF sudah memperlihatkan bahwa warga mencintai Jakarta meski dengan cara-cara yang tak terduga.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement