Ahad 08 Jul 2018 04:00 WIB

Sepak Bola Pilkada

Pilkada dan sepak bola, banyak persamaannya, banyak pula perbedaannya.

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dokpri
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harri Ash Shiddiqie, Penyuka sastra dan teknologi, di Jember.

 

Samakah sepak bola dengan pilkada?  Ada kesebelasan yang berlaga, dan di pilkada ada cagub atau cabup. Ada wasit, ada KPU. Ada suporter, ada partai pengusung. 

Perbedaannya  terletak pada perjuangan meraih gol. Bagaimana gol dicetak  ditentukan oleh gaya tim kesebelasan. Tim Inggris sangat kokoh, Prancis tim yang kreatif dan cepat, tetapi gaya-gaya spesifik sedemikian belum tentu menghasilkan gol. Meski Jerman adalah mesin yang efisien, solid dan disiplin, mereka harus pulang kandang.

Kemenangan juga tidak ditentukan oleh cantiknya mengolah bola, meski didukung individu pemain yang terampil seperti tim-tim Amerika latin. Terbukti, Argentina akhirnya harus angkat kaki. 

Bagaimana agar dapat memetik kemenangan pilkada? Maka tim pemenangan akan bicara tentang gagasan dan program cagub atau cabupnya, mesin partai, topik sosial politik yang digulirkan sampai dukungan dana. 

Program dan gagasan? Ya, itu terdiri rencana-rencana di depan. Dan semua tahu,  setiap rencana bisa berubah, tergantung situasi dan kondisi. Artinya, program itu bisa hanya  pemaparan janji. Bahkan harus dimaklumi bahwa janji itu juga sekedar harapan. Nah, di sini titik kuncinya: Bila pemaparan harapan itu menarik hati, digoreng dengan rayuan, dibungkus bagus, suporter dan penonton jatuh hati, simpati sekaligus memberikan empati, dan semua siap berkorban membela pemain bernama cagub atau cabup, maka sorak suara di stadion bisa membahana langit. Itu menang. 

 ***

Suporter sepak bola  memiliki lorong sejarah tersendiri dengan tim yang diusungnya,  ada ikatan emosional yang menuntun dirinya merasa bagian dari tim, kagum kepada bintang lapangannya, ada gairah kebanggaan, sekaligus menaikkan harga diri kolektif bersama tim.  Artinya ada poin-poin di perjalanan sejarah yang mengantarkan suporter membela bahkan sanggup berkorban untuk timnya. 

Di pilkada, keterkaitan sejarah antara pemilih dengan cagup atau cabup juga ada,  tetapi tidak banyak. Terpilihnya Donald Trump membuktikan porak-porandanya fanatisme pemilih berdasarkan sejarah. Semua kenal,  Trump itu egois, kasar, merendahkan orang lain, merendahkan wanita, merendahkan orang kulit hitam, ucapan dan tindakannya kontroversial. Trump tidak dalam sejarah sebagai orang yang mendapat simpati, dikagumi apalagi  dihormati. 

Ia berkeras kepala naik, mencalonkan diri,  dan ... menang. 

Mengapa menang? Semua analis tahu, ia mengobral janji, melambungkan harapan  bahwa kelak Amerika akan kuat. Hebat. Kulit putih lapisan menengah dan bawah tergiur, mereka memilih Trump. 

Trump melaksanakan janjinya, perdagangan dunia diacak-acak, urusan nuklir Iran dicampakkan, imigran dilempar-lemparkan sampai anak terpisah dari orang tuanya, tapi apakah Amerika memang semakin kuat, hebat? Belum terbukti. 

Lorong sejarah itu tadi, di pilkada tak perlu melihat poin-poin di lorongnya. Justru poin bisa bergantung pada sehari atau dua hari sebelum pencoblosan, adakah uang atau sembako yang diberikan oleh pemain?

Adakalanya, berkat lorong sejarah yang panjang hasil pilkada bisa membuat  geleng-geleng  kepala. Ikatan emosional yang sudah terjalin lama dan tinggi, kekaguman yang sudah terlanjur tumpah, meski seseorang calon pejabat itu jelas-jelas  tersandung kasus korupsi, masyarakat tetap berbondong-bondong memilihnya.

***

Pilkada dan sepak bola, banyak persamaannya, banyak pula perbedaannya.  Tergantung bagaimana seseorang memandang, dan bermain di dalamnya. Tak heran bila ada yang  “me-sepakbola-kan” pilkada. Kalah dan habis uang banyak, itu semacam taruhan biasa. Bila berhasil mengalahkan lawan lalu mendapatkan jabatan, kini tiba waktunya mengeruk uang kemenangan.  

Sikap demikian bukan hanya milik cagub atau cabup yang diusung, tetapi diresapi oleh suporter di bawahnya. Kalau pengusaha, ada kontrak jembatan atau bangunan sekolahan.  Bila tokoh politik, ia akan mendesak anggaran, bila ia tokoh masyarakat ia akan meminta fasilitas. 

Apakah kita akan sedemikian?  Tidak. Islam menuntun, setiap tindakan selalu berorientasi pada tanggung jawab. Saat memilih, saat berada di bilik pencoblosan, entah sebagai pemain atau suporter, ada tanggung jawab yang harus dipikul.  Ada amanah  yang harus dijunjung dengan kebenaran. Seorang muslim tidak akan memilih pemimpin karena penampilan dan janjinya, atau pemimpin yang menganggap pilkada hanya permainan taruhan,  permainan untuk memuaskan diri sebagai petarung belaka. 

Seorang Muslim sejati akan akan memilih pemimpin yang memiliki lorong sejarah penuh keimanan dan keislaman. Semoga itu kita. Amin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement