Ahad 08 Jul 2018 01:00 WIB

TGB dan Ijtihad Politiknya: Apa yang Salah?

Pilihannya itu, meski dengan alasan-alasan subyektif adalah bentuk ijtihad politiknya

Ady Amar
Foto: dok. Pribadi
Ady Amar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar, Pemerhati Sosial Keagamaan

 

Jika kita mencermati politik nasional di negara ini, setahunan belakangan ini, maka muncul tokoh-tokoh yang memang sudah menasional, tapi ada juga tokoh daerah yang “dikerek” bagai bendera ke tiang tinggi, ke atas menjadi tokoh nasional. Satu diantaranya, yang terlihat adalah Tuan Guru Bajang (TGB) Dr. Zainul Majdi, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) dua periode, yang sebentar lagi akan purna tugas.

Bersyukur saya bisa bertatap muka dan mendengarkan dakwahnya saat bersafari dakwah di Surabaya, tepatnya di Masjid Mujahiddin di kawasan Perak Barat Surabaya. Dakwahnya datar-datar saja, santun dalam berbicara, tidak sedikit pun berperangai sebagai da’i alumni Aksi 411 dan 212, yang kerap mengkritik kondisi negeri ini yang tengah sulit di berbagai bidang...

Dakwahnya menghindar bicara hal-hal yang bersifat politis. Saat dibuka tanya-jawab, ada hadirin yang bertanya, apakah beliau bersedia menduduki jabatan yang lebih tinggi lagi, misal Wakil Presiden atau bahkan Presiden? TGB tidak mau terjebak oleh pertanyaan itu, dan dia tetap menjawab yang “datar-datar” saja, “Jabatan yang Allah berikan saat ini sudah cukup bagi saya,” ucapnya. Dan kita dibuat “terkagum-kagum” dengan jawaban merendah itu.

Maka tafsir atas jawaban itu bisa bermacam-macam. Bagi yang memakai pendekatan “husnudhan” jawaban itu memang seharusnya demikian. Itu ciri seseorang yang tidak tamak dengan jabatan yang lebih tinggi... Dakwah beliau ke sana-kemari hanya sekadar menyapa umat yang haus akan dakwahnya. Itu pandangan umat yang berprasangka baik pada ulamanya. Dan seharusnya memang demikian.

Namun, tidak sedikit yang berpandangan dengan pendekatan “su’udhan” yang menganggap jawabannya itu adalah bentuk “penghalusan” dari pribadi yang sebenarnya berharap pada jabatan yang lebih tinggi lagi. Itu bahasa komunikasi yang berbalik, dimana kata tidak mau selalu dimaknai sebaliknya. Lalu diteruskan dengan pernyataan lanjutan, lalu untuk apa beliau ke sana-kemari berdakwah dengan meninggalkan tugas selaku gubernur aktif pada jam-jam kerja.

Pandangan umat berbeda-beda dalam menafsirkannya. Tapi saya tidak ingin terjebak pada polemik yang tidak produktif ini. Membebaskan diri dari prasangka-prasangka, khususnya prasangka negatif, itu yang menjadi pijakan. Sedikit banyak akan membebaskan diri dari jerat kesalahpahaman yang berdampak mendulang dosa. Berlepas diri dari yang demikian itu nikmat, tidak menyesakkan dada.

Setelah selesai berceramah, saya pun diajak pengurus masjid menemaninya makan malam bersama, sambil kami berbincang tentang banyak hal. Kesan saya, beliau memiliki kepribadian rendah hati, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kami dengan sewajarnya. Tidak banyak yang mengenalnya sebagai politisi sebelum menduduki jabatan selaku Gubernur di NTB.

TGB dan ijtihad politiknya

TGB “mendeklarasikan” pilihan politiknya, berharap Presiden Jokowi dua periode, itu haknya. Itulah pilihan politiknya, itulah ijtihad politiknya, yang menurutnya tentu tepat adanya... Tidak ada yang boleh berkeberatan dengan pilihannya. Pilihannya itu, meski dengan alasan-alasan subyektif, adalah bentuk ijtihad politiknya.

photo
Presiden Joko widodo bersama Gubernur NTB TGB Zainul Majdi.

Sekali lagi tidak ada yang salah dengan pilihan pandangan politiknya. Namun jika ada kelompok tertentu, kelompok yang mengharapkan 2019 Ganti Presiden, yang merasa jengah dengan pernyataannya itu, ya itu pun boleh-boleh saja. Bisa jadi itu bentuk ngeman, yang tentu tidak berpengaruh dengan pilihan TGB yang telah menentukan sikap.

Saya pribadi menghormati pilihan dan sikap politiknya, dan berharap semua pihak bisa legawa melihat itu semua. Menghormati pilihan seseorang itu bagian dari sikap tidak memaksakan kehendak agar semuanya menjadi sama, menjadi sebagaimana yang kita inginkan. Berbeda pilihan itu sunnatullah yang mesti kita pahami dengan apa adanya.

Pilihan politik TGB adalah pilihan yang tentu sudah dipikirkannya dengan masak-masak. Semua punya hitungannya sendiri. Kita boleh menganalisa apa sebab pilihan politiknya demikian, analisa dari sudut apa pun; pertimbangan jabatan, upaya menghindar dari jeratan hukum, dan lainnya. Tapi satu hal, yang banyak kita tidak tahu bahwa TGB itu adalah politisi... 

Menjadi anggota DPR-RI dari Partai Bulan Bintang (PBB), dan karenanya mengantarkannya menjadi Gubernur NTB pada periode pertamanya, lalu melompat ke Partai Demokrat, dan karenanya menjadi Gubernur untuk periode kedua. Lompat melompat dari satu partai ke partai lain, itu khas politisi di negeri ini, termasuk dimainkan TGB dalam perjalanan politiknya.

Melihat pandangan politik TGB, harusnya terlebih dulu kita memandangnya sebagai pejabat atau politisi, baru kemudian nilai plus-plus lainnya, Ulama yang Hafizh Alquran,  yang menyertai pejabat atau politisi dimaksud. Dengan demikian kita melihat TGB tanpa privilege bahwa “daging ulama itu beracun”, sehingga kita merasa risih bahkan takut dosa saat mengkritisinya. Itulah konsekuensi dari pilihan TGB sebagai politisi dan lalu pejabat pemerintah.

Arah politik memang susah ditebak ke mana tujuan akan ditautkan. Politisi yang sekaligus ulama, semacam TGB itu, dituntut mampu memegang pendirian (istiqamah) dalam pilihan politiknya. Dan itu tidak mudah... Kita lihat apakah ijtihad politik yang “dimainkan” TGB benar adanya, atau justru akan menjadikan jarak tempuhnya dengan umat makin menjauh. Waktu ke depan yang akan menentukan jalan takdirnya.

Wallahu A’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement