Kamis 05 Jul 2018 04:03 WIB

Rupiah 'Masuk Angin'

Kenaikan suku bunga tak akan efektif, tanpa diikuti kebijakan lebih mendasar.

Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika
Foto: Republika
Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*

Dalam sepekan terakhir rupiah tertekan cukup dalam. Jelang rapat dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia, Jumat lalu, rupiah justru letoi menembus Rp 14.400 per dolar AS. Mengacu kurs tengah Bank Indonesia (BI), Rupiah terdepresiasi hingga Rp 300 rupiah dibandingkan posisi awal pekan kemarin, Rp 14.105. Bahkan jika dibandingkan akhir Desember 2017 rupiah sudah melemah 5,72 persen (ytd).

Para pelaku pasar tak peduli dengan pernyataan-pernyataan pemerintah maupun Bank Indonesia. Justru mereka seolah memanfaatkan RDG itu untuk menekan atau mendapatkan gain.  Memang ada faktor eksternal yang cukup kuat untuk dijadikan alasan.

Salah satu isu yang menjadi sorotan yakni perang dagang AS-Cina. Kebijakan Presiden AS Donal Trump untuk meningkatkan tarif bea masuk terhadap barang-barang dari Cina telah memicu gonjang-ganjing pasar internasional. Apalagi Cina tak tinggal diam dan mengancam akan melakukan sama terhadap AS.

Selain itu, isu kenaikan suku bunga the Fed, juga membuat pasar limbung dan merugikan negara-negara berkembang. Para trader bahkan memprediksi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) hingga empat kali. Dan, itu bisa menyebabkan perpindahan aliran modal dari banyak negara ke AS, termasuk Indonesia. 

Namun, tekanan dari eksternal tersebut boleh dibilang ibarat virus yang menyerang tubuh manusia. Jika tubuh kita kuat maka serangan-serangan macam itu hanya berpengaruh sedikit. Namun bila daya tahan lemas, maka tinggal tunggu ambruk dan masuk rumah sakit.

Nah persoalannya bagaimana dengan daya tahan tubuh ekonomi Indonesia?

Daya tahan perekonomian nasional boleh dibilang masih lemah. Ibaratnya kalau Donald Trump bersin, Indonesia sudah bisa masuk angin. Rupiah terdepresiasi, risiko utang meningkat dan industri yang tergantung impor langsung pontang-panting. 

Pejabat di Kementerian Keuangan pada Maret lalu pernah mengatakan, dalam posisi utang pemerintah sekitar 4.136 triliun, maka setiap pelemahan Rp 100 per dolar AS maka stok utang naik Rp 10,9 triliun. Bayangkan jika penurunan terus konsisten setiap tahun misalkan Rp 500 hingga Rp 1.000 per dolar AS? Berapa jumlah tambahan utang yang harus dibayar.    

Secara total, utang luar negeri (ULN) Indonesia hingga akhir April 2018 naik 7,6 persen secara tahunan atau year on year (YOY). Posisi utang luar negeri Indonesia per akhir April mencapai 356,9 miliar dolar AS atau lebih dari lima ribu triliun.

Utang tersebut terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral sebesar 183,8 miliar dolar AS. Jumlah tersebut meningkat 9,5 persen (YOY). Sementara itu, utang swasta, termasuk BUMN, sebesar 173,1 miliar dolar AS atau naik 5,6 persen (YOY).

Beban utang tersebut, mau tak mau memberatkan APBN Indonesia. Bunga utang yang harus dibayar tidaklah sedikit. Sepanjang Januari-Mei 2018 pemerintah telah membayar bunga utang senilai Rp 112,4 triliun. Jumlah tersebut tumbuh 13,77 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.

Beberapa hari lalu, lembaga pemeringkat Moody , menyebut India, Indonesia masuk dalam negara dengan risiko utang terbesar di Asia. Hal itu lantaran pelemahan rupiah yang cukup dalam. Kendati pemerintah Indonesia berulangkali menegaskan, utang Indonesia masih dalam batas wajar di bawah ketentuan Undang-Undang yakni 30 persen di bawah produk domestik bruto (PDB).

Pemerintah juga telah meminta kepada perusahaan untuk melakukan hedging terhadap utang dalam bentuk dolar untuk mengantisipasi pelemahan rupiah yang lebih mendalam. Namun biaya hedging juga tak murah dan ini bisa membebankan perusahaan. 

 

Senada dengan utang, angka impor Indonesia juga terus meningkat. Nilai impor Indonesia Mei 2018 mencapai 17,64 miliar dolar AS atau naik 9,17 persen dibanding April 2018. Demikian pula jika dibandingkan Mei 2017 meningkat 28,12 persen.  Meningkatnya angka impor ini membuat, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit.  Berdasarkan catatan BPS, dari lima bulan berjalan pada 2018, Indonesia selalu defisit.

Hanya pada Maret, Indonesia surplus. Defisit neraca perdagangan akan menggerus transaksi berjalan. Bank Indonesia mencatat defisit neraca perdagangan pada Mei 2018 sebesar 1,52 miliar dolar AS, dan dapat menambah defisit transaksi berjalan yang diperkirakan di atas 2,5 persen.

Perdagangan yang terus menerus defisit menjadi respons negatif buat pasar yang berdampak pada pelemahan rupiah. Pasokan dolar juga semakin berkurang, jika impor bertambah, tanpa ada peningkatan signifikan dari sisi ekspor. 

Salah satu impor yang mengalami peningkatan cukup signifikan yakni dari sisi migas.  Impor migas pada Mei 2018 mencapai 2,82 miliar dolar AS atau naik 20,95 persen dibanding April 2018 dan naik 57,17 persen dibanding Mei 2017. Kenaikan nilai impor ini, disebabkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan meningkatnya harga minyak mentah dunia.

Harus diakui, sejak 2004 Indonesia sudah menjadi net impor minyak. Indonesia juga berpotensi menjadi net importir gas pada 2022 jika tak ditemukan cadangan gas baru.  Sebaliknya, konsumsi migas di dalam negeri terus naik dari tahun ke tahun. 

Di sektor nonmigas, pemerintah mengaku, peningkatan impor banyak untuk barang modal.  Dalam impor Januari-Mei 2018 itu, impor untuk pembangunan infrastruktur mencapai empat miliar dolar AS. Sementara  impor pertahanan 1,1 miliar dolar AS, dan beras 400 juta dolar AS.

Sayangnya pelonjakan angka impor ini baru direspons Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Selasa (3/7). Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut akan mulai menyeleksi impor, terutama impor barang modal yang terkait dengan proyek-proyek pemerintah. Pertanyaannya, mengapa tidak dari awal seleksi itu dilakukan? Mengapa tak mengatur perjanjian agar lebih banyak menggunakan bahan dalam negeri?  

Persoalan mendasar yang belum kita selesaikan hingga saat ini sebenarnya adalah soal 'kemandirian'. Kemandirian di sektor pangan, kemandirian di sektor teknologi, hingga kemandirian di bidang industri. Membangun industri dari sisi hulu hingga hilir harus dilakukan jika ingin pondasi ekonomi kita kuat.

Beragam upaya terobosan dalam memudahkan izin investasi dan usaha harus terus didorong, termasuk insentif pajak. Selain itu, kita juga perlu memastikan peralihan teknologi jika ada investor asing yang ingin menanamkan modalnya di dalam negeri. Harapannya, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lain.  

Menggarami lautan

Untuk jangka pendek dan menengah yang sebenarnya bisa dilakukan agar dolar masuk lagi ke Indonesia adalah menggarap sektor pariwisata. Sektor ini tak perlu memakai barang modal, hanya butuh promosi yang gencar dan peningkatan sumber daya manusia (SDM) di daerah. 

Dengan begitu, pemerintah tak sekadar mengandalkan Bank Indonesia (BI) lewat kebijakan suku bunganya. Pada Jumat pekan lalu, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 Bps menjadi 5,25 persen. Angka itu di atas ekspetasi pasar. 

Namun, hanya tiga hari setelah suku bunga naik, rupiah kembali ke level Rp 14.400 per dolar AS. Pasar seolah melupakan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Kebijakan antisipatif atau selangkah di depan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo belum bisa menahan laju pelemahan rupiah. Justru, para spekulan seperti memanfaatkan langkah tersebut. 

Menaikkan suku bunga secara terus menerus juga tak bagus untuk pertumbuhan ekonomi. Karenanya, jangan sampai pemerintah dan Bank Indonesia salah langkah dalam mengambil kebijakan dan merespons situasi. Dalam kondisi sekarang, jika hanya mengandalkan kebijakan kenaikan suku bunga, ini seperti hanya 'Menggarami Lautan'.

 

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement