Kamis 05 Jul 2018 01:00 WIB

Kaum Ibu dan Politik Minyak

Kaum ibu juga wajib melek politik minyak. Harus mengikuti konstelasi minyak dunia.

Nindira Aryudhani
Foto: dok. Pribadi
Nindira Aryudhani

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nindira Aryudhani, Relawan Opini dan Media, Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur. E-mail : [email protected]

 

Harga gas LPG 3 kg (gas melon) dan BBM naik lagi. Syahdan, masih di bulan Syawal seperti saat ini, tampaknya THR dari tempat kerja suami dan uang angpao anak-anak, harus segera ludes demi mencukupi kepulan asap dapur ibunda. Maklumlah, pemerintah sedang digeruduk utang luar negeri. 

Tak hanya itu, mereka pun harus mengais dana besar demi mengibarkan bendera partainya di tahun politik. Kini, tampaknya bukan hanya sumberdaya mineral tambang yang strategis menjadi sumber dana pemilihan pemimpin. Tapi meluas ke ranah sumberdaya migas.

Kenaikan harga BBM sebelumnya yang hanya Rp 200 saja, sudah mengakibatkan ekonomi rakyat kalang kabut. Bagaimana jika kenaikannya mencapai nominal Rp 600 hingga Rp 900? Tak usah diperdebatkan jenis BBM-nya, mau pertalite atau pertamax. Tak usah pula diperdebatkan penggunanya, kalangan berada atau tak berpunya. Yang jelas, cepat atau lambat, semua akan terkena imbasnya. 

Ini belum lagi dengan kenaikan harga gas LPG 3 kg. Dan biaya ini juga masih belum ditambah tarif listrik yang sudah lebih dulu melangit. Benarlah, menaikkan harga LPG, BBM, dan listrik, sama saja dengan meningkatkan tekanan darah alias bikin hipertensi. Namun demikian, masyarakat harus tetap mengetahui politik minyak negeri ini yang kian hari pengelolaannya tampak ugal-ugalan dalam sistem ekonomi yang tak ubahnya preman. 

Bagaimana pun, posisi minyak bumi sebagai sumber energi takkan dapat digantikan oleh sumber energi lain. Kendati beragam inovasi tentang sumber energi terbarukan juga makin mutakhir. Pasalnya, dalam bingkai politik minyak, langkah untuk mensubstitusi sumber energi tak terbarukan dengan yang terbarukan, jelas bukan langkah tepat. 

Energi terbarukan lebih tepat menjadi sumber energi komplementer, bukan substituen. Karena itu, energi terbarukan bukan solusi yang proporsional untuk mengatasi kenaikan harga BBM dan LPG.

Baru akhir Mei lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa kenaikan harga BBM dan gas LPG akan terjadi pada 2019. Ini pun sudah dengan alasan bahwa kenaikan harga tersebut mengikuti harga minyak mentah dunia. Kata Sri Mulyani pula saat itu, kenaikan harga minyak mentah dunia ini mendorong kenaikan harga ICP (harga minyak mentah Indonesia) yang secara langsung akan meningkatkan komponen biaya produksi BBM, yang dalam hal ini termasuk LPG.

Memang Sri Mulyani juga sempat menyinggung bahwa kenaikan harga ini akan meningkatkan inflasi dan sekaligus menurunkan daya beli masyarakat. Namun, masih menurut Sri Mulyani, jika tidak dilakukan penyesuaian harga BBM dan listrik, maka akan memberikan tekanan terhadap fiskal maupun keuangan BUMN dan menciptakan distorsi ekonomi yang berdampak negatif bagi perekonomian jangka panjang.

Namun, pengumuman tinggal kenangan. Kenaikan harga BBM dan LPG, berikut jerit akibat kenaikan tarif listrik yang telah mendahului, kini sudah terjadi secara pasti. Adalah suatu kebutuhan, kaum ibu sang pengambil dan pelaksana kebijakan asap dapur, harus paham urusan kemasyarakatan. Karena toh kenaikan harga BBM dan LPG, pada akhirnya menjajah dapur mereka. 

Kaum ibu juga wajib melek politik minyak. Harus mengikuti konstelasi minyak dunia. Mereka tak boleh mudah terjebak pada kekalutan dan pendek akal. Pun tak cukup sekedar mengatur keuangan keluarga agar lebih irit dan tidak pailit. Lebih dari itu, harus mengerti solusi kenaikan harga minyak, baik yang parsial maupun yang fundamental. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement