Jumat 22 Jun 2018 18:02 WIB

Soal Pelantikan Iriawan, Mendagri Diduga Langgar Konstitusi

Pangi sebut wajar ada kecurigaan karena banyak keganjilan dalam pengangkatan Iriawan

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Puluhan massa yang berasal dari Gerakan Masyarakat Peduli Konstitusi Jabar menggelar aksi unjuk rasa menolak Pengangkatan Komjen Pol Muhamad Iriawan menjadi Penjabat Gubernur Jabar di Halaman Gedung Sate, Jumat (22/6).
Foto: Republika/Arie Lukihardianti
Puluhan massa yang berasal dari Gerakan Masyarakat Peduli Konstitusi Jabar menggelar aksi unjuk rasa menolak Pengangkatan Komjen Pol Muhamad Iriawan menjadi Penjabat Gubernur Jabar di Halaman Gedung Sate, Jumat (22/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun politik ini dikejutkan dengan keputusan berani Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menunjuk perwira tinggi (Pati) Polri, Komjen Iriawan sebagai Penjabat Gubernur (plt) di provinsi Jawa Barat. Pengangkatan ini diduga melanggar konstitusi dan terutama UU Pilkada.

“Mendagri diduga melanggar konstitusi dan menciderai UU Pilkada. Ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang bisa menjadi Penjabat Gubernur. Bagaimana mungkin kemudian perwira tinggi Polri aktif bisa disetarakan  dengan pimpinan tinggi madya dan ini terkesan dipaksakan,” kata pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, Sabtu (27/1).

Mendagri diduga melanggar peraturan dan regulasi yang dibuat sendiri, keputusan menteri yang mengejutkan yaitu Penjabat Gubernur dijabat perwira tinggi (pati) Polri. Pertanyaannya apakah memang betul tidak ada lagi pejabat karir dan profesional di Kemendagri dan pejabat tingkat provinsi mengisi posisi pos Penjabat Gubernur.

Dalam Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, Pasal 4, Ayat 2, menyebutkan Penjabat Gubernur harus diisi pejabat pimpinan tinggi madya kementerian dalam negeri atau pemerintah provinsi. Selanjutnya jabatan pelaksana tugas atau penjabat Gubernur harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada.

Alasan Mendagri Tjahjo Kumolo sebelumnya menempatkan Pati Polri sebagai Penjabat Gubernur di Jawa Barat diperbolehkan. Pertama karena pilkada serentak di 17 provinsi sehingga menyebabkan persediaan pejabat tinggi pimpinan madya di Kemendagri habis.

Kedua, Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah pemilih terbesar di Jawa dan di pulau Sumatera yang rawan konflik (chaos) sehingga menempatkan pati Polri sebagai Penjabat Gubernur merupakan pilihan terbaik.

“Memang itu hak prerogatif dari Mendagri, namun jangan sampai terkesan pemerintah suka-suka dalam mengelola negara, dan dikelola secara amatiran. Mengelola negara harus berbasiskan koridor hukum dan sesuai aturan main konstitusi,” jelasnya.

Ia mempertanyakan mengapa harus Pati Polri menjadi Penjabat Gubernur di Jawa Barat? Apakah betul tidak ada lagi pejabat esolon di provinsi Jawa Barat, apakah betul tidak mencukupi? Mengapa harus pati Polri menjadi Penjabat Gubernur di Jawa Barat?

"Wajar banyak muncul pertanyaan yang mengandung unsur kecurigaan karena ada banyak keganjilan dalam pengangkatan Komjen Irawan tersebut," ujarnya.

Bagaimana masyarakat tidak menaruh kecurigaan, lanjutnya, ada yang tak lazim dan peristiwa langkah setelah reformasi bahwa Penjabat Gubernur dari pati Polri. Keanehan tersebut adalah Mendagri Tjahjo Kumolo merupakan kader PDIP dan PDIP mengusung calon kepala daerah di Jawa Barat dengan latar belakang TNI dan Polri.

“Jangan sampai menghalalkan segala cara untuk memenangkan sebuah kontestasi elektoral pilkada dan melanggar regulasi serta fatsun politik. Jangan coba-coba kembali menarik-narik, main mata, atau menjadikan jaringan TNI dan Polri sebagai komoditas politik demi mendulang elektoral kemenangan,” tegas Pangi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement