Selasa 19 Jun 2018 06:07 WIB

Perang Dagang AS-Cina dan Runtuhnya Masa Depan WTO?

Donald Trump sangat potensial untuk tidak menghormati apalagi mentaati putusan WTO.

Presiden AS Donald Trump bersama Melania Trump dan Presiden Cina Xi Jinping dan Ibu Negara Peng Liyuan di Beijing, Cina. (ilustrasi)
Foto: AP Photo/Andrew Harnik
Presiden AS Donald Trump bersama Melania Trump dan Presiden Cina Xi Jinping dan Ibu Negara Peng Liyuan di Beijing, Cina. (ilustrasi)

Oleh: Nandang Sutrisno, Dosen Hukum Perdagangan Internasional Universitas Islam Indonesia

Genderang Perang Dagang telah ditabuh olehDonald Trump menandai perang dagang global antara Amerika Serikat (AS)dengan mitra-mitra dagang utamanya sepertiCina, Uni Eropa (UE)dan Kanada.Pecahnya perang dagang tersebut diawali dengan tindakan Donald Trump menaikkan tarif (bea masuk)secara ilegal untuk berbagai produk, terutama baja dan alumunium, dari Cina, Uni Eropa (UE) dan Kanada.

Tidak cukup dengan itu, Donald Trump juga melakukan tindakan unilateral berupa ancaman terhadap para mitra dagangnya tersebut jika mereka melakukan tindakan balasan. Alih-alih tunduk atas tindakan Donald Trump,para mitra dagangnya mengancam balik untuk menaikkan tarif berbagai produk AS bahkan untuk jumlah produk yang lebih banyak.

Jika pihak-pihak yang saling berhadapan ini benar-benar melaksanakan niatnya untuk melakukan perang dagang global, anomali dan anarkisme dalam tatanan perdagangan global akan merajalela, aturan main tidak lagi dihormati, dan pada gilirannya masa depan World Trade Organization (WTO) dipertaruhkan. Minimal dua tiang penopang berdirinya WTO yang terancam runtuh: TujuandanPrinsip-prinsip Dasar WTO.

Apa yang dilakukan Donald Trump bertentangan dengan tujuan didirikannya WTO yang salah satunya untuk menjamin keamanan dan kepastian bagi para pedagangdan para pebisnis internasional pada umumnya serta para investor asing dalam menjalankan kegiatannya.Demikian juga tindakan Donald Trump secara vulgarbertolak belakang dengan tujuan utama lainnya dari WTO, yaitu untuk mengurangi,bahkan menghilangkan hambatan perdagangan daninvestasi internasional baik tarif maupun non-tarif, serta memperluas lapangan kerja.

Selain bertolak belakang dengan tujuan utama didirikannya WTO, secara spesifik tindakan Donald Trump menaikkan tarif secara sepihak melanggar dua prinsiputama WTO: prinsip proteksi melalui tarif dan prinsip pengikatan tarif.
Dengan alasan untuk melindungi kepentingan industri dan perdagangan sertake pentingan dalam negerinya,suatu negara diperbolehkan untuk menerapkan tarif, tetapi penetapan tarif tidak bisa sepihak, harus melalui pencantuman dalam daftar tarif atau Schedule of Commitment (SOC) yang disepakati bersama anggota-anggota WTO lainnya. Sedangkan AS, melalui Donald Trump, menetapkan sendiri tarifnya secara sepihak.

Prinsip kedua, yakni pengikatan tarif(Tariff Binding) bermakna bahwasekali dicantumkan dalam SOC maka tarif tersebut mengikat, berarti bahwa tarif tidak boleh dinaikkan. Dengan dalih menutup defisit, Donald Trump jelas-jelas menaikkan tarif senilai US$ 150 juta,khususnya untuk baja dan alumunium, yang jauh lebih tinggi dari yang tercantum dalam SOC.

AS melalui tangan Donald Trump, dengans emboyan America First telah membuka preseden buruk yang akan meruntuhkan sendi-sendi penopang WTO. Jika semua anggota WTO mengikuti langkah yang ditempuh AS, runtuhnya sistem WTO hanya tinggal menunggu waktu.

Untuk itu mestinya semua negara anggota mentaati aturan main WTO, karena dalam WTOsendiri sudah tersedia mekanisme-mekanisme perlindungan kepentingan dalam negeritanpa melanggar aturan.Jika suatu negara anggota WTO kebanjiran barang dumping dan barang bersubsidi, serta mengalami lonjakan impor, yang mungkin menyebabkan defisit, negara yang bersangkutan dapat menggunakan instrumen remedi  perdagangan internasional.Melalui mekanisme investigasi prosedural, negara tersebut dapat mengenakan bea masuk anti dumping (antidumping duties), bea masuk imbalan (countervailing duties) dan tindakan pengamanan (safeguard action), bisa dalam bentuk pengenaan tarif tambahan dan/atau kuota.Tidak ada alasan untuk melanggar aturan.

Langkah lain yang seharusnya diambil adalah negosiasi atau penyelesaian melalui meja perundingan. Langkah ini pula yang saat ini ditempuh oleh ASdengan mengutus Menteri Perdagangannya untuk bertemu dan berunding dengan Menteri Perdagangan Cina. Namun sayang, perundingan yang dilakukan oleh AS dilakukan setelah terjadinya reaksi dari Cina yang mengancam akan menaikkan tarifuntuk kurang lebih 145 produk AS. Mestinya AS melakukan perundingan sebelum menaikkan tarifproduk China secara sepihak.

Tidak berlebihan jika perundingan tersebut lebih merupakan upaya penekanan agar Cina menerima kenaikan tarif yang dilakukan oleh AS, dan menekan China untuk tidak melakukan tindakan balasan.

Upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh suatu negara ketika mitra dagangnya dianggap merugikannya adalah melalui jalur hukum, yaitu dengan melakukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO atau WTO Dispute Settlement Body (DSB). Hal ini tentu dapat dilakukan jika negara yang dianggap merugikannya tersebut melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan WTO yang tercakup dalam Covered Agreement, yakni seluruh perjanjian di bawah payung Perjanjian WTO (WTO Agreement).

Bagi AS tentu cara terakhir ini sulit untuk dilakukan mengingat para mitra dagangnya tersebut sedang tidak melakukan pelanggaran ketentuan WTO apa pun ketika AS menaikkan tarif terhadap produk-produk mitra dagangnya. Mereka melakukan business as usual, tidak melakukan dumping, tidak memberikan subsidi,dan tidak juga mengekspor secara berlebihan.

Justru sekarang sebaliknya, Uni Eropa dan Kanada sedang siap-siap untuk melakukan gugatan terhadap AS ke WTO karena AS dianggap telah melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan WTO.Diharapkan China juga akan menyusul melakukan hal yang sama dengan Uni Eropa dan Kanada jika perundingan dengan AS mengalami jalan buntu.

Masyarakat internasional di satu sisi masih menaruh kepercayaan kepada DSB yang para hakimnya cukup obyektif dalam menyelesaikan sengketa dagang internasional, tanpa memandang status para pihak, apakah para pihak berasaldari negara maju ataukah dari negara berkembang. Sistem yang dilakukan dalam DSB berorientasi hukum, siapa yang benar akan menang, siapa yang salah akan kalah, sehingga semua negara terlindungi. Praktik menunjukkan bahwa AS beberapa kali dikalahkan oleh negara-negara berkembang, dan negara adidaya tersebut secara umum mentaati putusan DSB.

Di sisi lain, saatini AS dipimpin oleh seorang Donald Trump yang karakternya berbeda denganpresiden-presiden sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa iaseorang “Ultra Nasionalis” sejati yang sangat potensial untuk tidak menghormati apalagi mentaati putusan DSB. Wajar juga jika masyarakat internasional mempertanyakan masa depan WTO.

Mau dibawa ke mana WTO?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement