Ahad 17 Jun 2018 04:30 WIB

Capres Amien Rais dan Elektabilitas PAN

Amien Rais adalah striker pengalih perhatian demi menaikkan elektabilitas PAN.

Bayu Hermawan
Foto: dok. Pribadi
Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, Bayu Hermawan*

Setelah sempat beberapa kali melontarkan pernyataan yang membuat panas kuping koalisi pendukung pemerintah, politikus senior Amien Rais beberapa waktu lalu melemparkan pernyataan yang mengejutkan banyak pihak. Mantan calon presiden itu, menyatakan akan kembali menguji keberuntungannya di Pilpres 2019, dengan maju sebagai calon presiden.

Pernyataan Amien Rais itu disampaikan selepas berbuka puasa di rumah dinas Ketua Umum MPR Zulkifli Hasan di Widya Chandra, Jakarta Selatan, Sabtu (9/6) malam. Amien menyatakan dirinya masih layak untuk diusung menjadi capres dari partainya. Di satu sisi, Amien menyadari dia tidak lagi muda, tetapi kemenangan Mahathir Mohamad (92 tahun) di pemilu Malaysia menginspirasinya. Pernyataan ini langsung ditanggapi oleh berbagai pihak, karena yang disampaikan oleh Amien, juga diamini oleh PAN, yang mengatakan akan serius mengusung politikus seniornya sebagai capres.

Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan apa yang disampaikan oleh Amien Rais. Amien juga boleh terinspirasi oleh siapapun, bukan cuma Mahathir Mohamad, sebagai Indonesia adalah negara demokrasi. Namun jika dilihat kondisi saat ini, ada beberapa hal yang bisa menjegal niat Amien Rais. Pertama tentu saja adalah presidential threshold atau ambang batas pengajuan calon presiden.

Seperti diketahui, di luar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Golkar, yang menjadi pemenang dan runner up di Pemilu 2014, parpol lain wajib bekerja keras untuk mengusung kader internalnya menjadi capres. Apalagi dengan PAN, yang hanya menduduki peringkat enam di pemilu lalu. Dapat dipastikan partai berlambang matahari itu harus berkeringat bahkan berdarah-darah untuk bisa mendapat dukungan parpol lain untuk mengusung Amien Rais. Mungkin harapan yang bisa ditumbuhkan adalah dengan berharap jika gugatan presidential threshold yang kini diajukan kembali, bisa dikabulkan oleh mahkamah konstitusi.

Hal kedua, meski dalam beberapa survei nama Jokowi dan Prabowo masih menjadi dua orang yang diprediksi bakal kembali bertarung di pilpres, munculnya nama-nama tokoh alternatif yang lebih fresh dan dekat dengan generasi milenial, terus bermunculan. Sebut saja, Agus Harimurti Yudhoyono, Anies Baswedan dan Gatot Nurmanyto. Tiga nama yang banyak digandrungi oleh generasi muda. Selain itu ada TGB dan Aher, nama yang yang dekat dengan pemilih Islam.

Sementara nama Amien Rais, seolah sudah melewati masa kejayaannya yang tenar diawal era reformasi.  Jika dulu di tahun 2004, Amien pernah gagal bertarung dengan Megawati dan SBY, bukan tidak mungkin kini Amien juga sulit merebut hati pemilih muda.

Terakhir, tentu terkait pernyataan kontroversial yang disampaikan oleh Amien Rais dalam beberapa waktu terakhir terhadap pemerintah. Bagi kubu pro pemerintah pasti berpanas hati mendengar kritikan-kritikan dari Amien, dan bagi kubu diluar pemerintah tentu mendukung amien. Namun yang harus diperhatikan adalah kubu diluar pendukung dan oposisi pemerintah. Kubu ini, atau yang biasa disebut swing voter, tentu tengah menimbang-nimbang akan memberikan dukungan kesiapa di 2019. Jika dirasa apa yang disampaikan Amien hanya sekadar menimbulkan kegaduhan, mungkin mereka akan antipati. Terlebih yang dihadapi adalah Jokowi, yang selama ini menampilkan citra santun dalam berpolitik.

Tentu, sebagai politikus senior, Amien Rais telah mengerti apa kendala-kendala yang bisa menjegal langkahnya, selain umur. Lalu, mengapa Amien tetap menyatakan siap maju? satu hal yang bisa saya tangkap adalah terkait elektabilitas PAN. Seperti diketahui dalam beberapa survei terakhir, elektabilitas PAN berada di angka yang kurang baik. Bahkan hal itu diamini sendiri oleh Zulkifli Hasan, sebagai Ketua Umum.

Munculnya Amien Rais, bisa dikatakan untuk menolong elektabilitas PAN. Munculnya Amien, seolah untuk memanggil kader-kader PAN untuk bekerja keras disisa waktu yang ada untuk menaikan elektabilitas. Sebab bagaimanapun, sosok Amien masih mempunyai pengaruh sangat kuat di PAN. Selain itu, dengan mempunyai kader internal yang kuat untuk diusung menjadi capres, tentu hal ini bisa menimbulkan dampak elektoral yang positif bagi partai itu, atau dalam ilmu politik disebut coat tail effect (efek ekor jas). Hal ini sudah dirasakan oleh PDIP dan Gerindra, sejak Pilpres 2014 dan Pilkada Jakarta lalu.

Hal lain yang mungkin saja terjadi, Amien Rais tengah memainkan peran sebagai pemersatu suara-suara diluar pendukung Jokowi yang masih tercecer. Khususnya, suara dari kelompok-kelompok Islam, dimana Amien Rais memang dekat dengan kelompok-kelompok itu. Hingga nantinya, Amien akan memberikan mandat kepada satu capres yang muncul. Hal ini bukan barang baru bagi Amien Rais. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu pernah mendapatkan julukan king maker, merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam pemilu 1999.

Jika Amien Rais pernah menolak merebut kekuasaan di kala orde baru tumbang, maka saya yakin kali ini pun Amien tidak benar-benar bermaksud menjadi penguasa. Amien rasanya hanya akan tampil sebagai pelopor, seperti yang sudah-sudah, dan guru bagi generasi muda yang ingin belajar demokrasi.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement