Ahad 17 Jun 2018 01:00 WIB

Pendidikan yang tidak Biasa (Kawan yang Menginspirasi)

Menghafal Alquran dan mempelajari ilmu agama adalah hal prinsip.

Ady Amar
Foto: dok. Pribadi
Ady Amar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar, Pemerhati Sosial Keagamaan

 

Suatu hari, beliau bercerita yang tampak sebagai pikiran orang sederhana, tapi justru menghunjam dan mengaduk-aduk perasaan saya.

Auguste Comte (1798-1857), filsuf Prancis, bisa dikatakan berpikir cemerlang dalam menguak fenomena sosiologi agama, tapi dia bukanlah seorang pakar agama. Namun Comte melihat fenomena umat beragama itu dengan refleksi filosofis, tidak pada substansi umat (ajaran) agama.

Skema yang diajukannya tampak lebih cocok untuk agama-agama tingkat suku (primitif). Jika ditarik pada agama samawi, maka pandangannya, refleksi filosofisnya, tampak terlalu sederhana dan tidak menjawab persoalan yang ada.

Jika menilik fenomena masyarakat modern, yang tumbuh dengan semangat kembali pada inti ajaran agama, maka agama masih mempunyai daya pikat yang (justru) makin menggelora. Perlawanan agama terhadap sekularisme menemukan bentuknya untuk berhadap-hadapan, dan itu tampak menggejala.

Tidak salahlah jika John Naisbitt dan Patricia Aburdance, dalam Megatrend 2000, berani menyimpulkan bahwa abad ini adalah abad kebangkitan agama-agama. Menurut pendapatnya, agama akan muncul sebagai kekuatan sosial yang dahsyat.

Maka tulisan saya ini akan menilik fenomena pada sebagian masyarakat dimana agama (Islam) ditempatkan dalam posisi terhormat, dan itu mengacu pada kitab sucinya, Alquran...

Kitab suci Alquran yang begitu tebal itu menjadi tren dihafal dengan begitu baiknya. Menghafal Alquran (tahfidz), menjadi corak masyarakat modern, yang dalam skala tertentu bisa jadi mencoba melawan hegemoni yang cenderung memilih hidup dengan asumsi-asumsi duniawi semata, terutama dalam bidang pendidikan.

Bertebaranlah pendidikan penghafal Alquran (Rumah-rumah Tahfidz) bak jamur di musim hujan. Fenomena itu muncul justru di kota-kota besar, yang secara sosiologis sulit diurai benang merahnya, tapi bisa jadi itu bagian dari upaya membentengi diri dari keruntuhan bangunan moral.

Tulisan ini menilik satu keluarga muslim harmonis, yang karena pilihan-pilihannya pada pendidikan anak-anaknya memilih jalur khusus, jalur yang tidak biasa, yaitu pendidikan menghafal Alquran menjadi prioritas utama bagi pendidikan anak-anaknya.

Kisah seorang kawan

Namanya Hamid Baraja, seorang kawan yang memiliki enam anak (tiga perempuan dan tiga lelaki). Pak Hamid asal kota Solo, menikah dan menetap di Surabaya, meski bisnisnya juga ada di Solo. Dia bagi waktunya antara Surabaya dan Solo.

Apa hebatnya kawan yang satu ini sehingga saya perlu repot-repot menuliskan khusus tentangnya? Namanya tidak pernah tersemat dan dibicarakan di media mana pun. Namun justru karena itulah, saya perlu menuliskannya. Bukan apa-apa, kisah Pak Hamid dan keluarganya begitu menarik, karena berpikirnya out of the box, meski dia tidak menyadarinya.

Hidupnya berkecukupan, bahkan kaya tidak dalam sekadar hitungan materi, tapi lebih dari itu, yaitu dia pandai berkongsi dengan Tuhan dalam memenej keluarganya...

Pak Hamid punya prinsip yang sederhana, bahkan simpel untuk ukuran masa kini tapi justru dahsyat. Prinsipnya dalam mengelola rumah tangga dengan ukuran-ukuran yang tidak biasa, khususnya bagi pendidikan anak-anaknya...

Memiliki enam orang anak bukan perkara mudah dalam memenejnya. Pak Hamid memilih konsep pendidikan dengan penekanan khusus dan utama, yaitu anak-anaknya “diharapkan” bisa menghafal Alquran dengan baik. Maka semua anaknya diarahkan pada jalur itu, pendidikan menghafal Alquran. Pilihannya tampak “aneh”, dimana keluarga besarnya dan lingkungan sekitar lebih memilih pendidikan formal pada anak-anaknya, tapi Hamid memilih jalannya sendiri.

photo
Membaca Alquran (Ilustrasi)

Anaknya tiga perempuan, dan tiga lelaki... Yang pertama, Nisma namanya, perempuan, Sarjana Arsitektur (sudah menikah). Hanya mampu menghafal Alquran sekitar lima belas juz. Suatu ketika Hamid berkisah, bisa jadi hafalan Alquran anaknya itu terbebani dengan pendidikan formal yang dijalaninya. Pendidikan formalnya selesai, tapi mengorbankan hafalan Alqurannya, sedikit sesalnya...

Anak keduanya, Nada, perempuan, baru lulus SLTA, hafal Alquran tiga puluh juz (Hafidhah). Adiknya, anak ketiga yang juga perempuan, Adila, masih duduk di SLTA, yang juga hafidhah...

Lalu anak keempatnya, Ammar, yang duduk di SLTA yang berbasis agama, yang juga mencetak siswa penghafal Alquran. Anak kelimanya, Muhammad (16 tahun), pendidikan Pondok Pesantren di Solo. Muhammad hafal Alquran tiga puluh juz (al-Hafidz)... Saat i’tikaf malam kedua puluh enam bulan Ramadhan ini, di Masjid al-Ikhlash, di kawasan Tanjung Perak Surabaya, dia menjadi imamnya. Suaranya yang masih kekanak-kanakan, namun merdu dengan mahraj bacaan yang baik, membuat kekaguman tersendiri. 

Dan sang adik yang bungsu, Abdurrahman (SLTP), juga mengikuti jejak kakaknya, yang juga mengenyam pendidikan Pondok Pesantren di kota yang sama.

Saya terkagum dengan Pak Hamid ini dalam memenej anak-anaknya. Suatu hari, beliau bercerita yang tampak sebagai pikiran orang sederhana, tapi justru menghunjam dan mengaduk-aduk perasaan saya. Begini...

Saya berpikir, bahwa menghafal Alquran itu suatu keharusan. Dengan mampu menghafal Alquran itu sama saja dengan menjaga Kalamullah. Saya sendiri tidak hafal Alquran, katanya, tapi saya berharap pada anak-anak agar hidup lebih mengutamakan yang prinsip dulu, baru kemudian yang lainnya...

Menghafal Alquran dan mempelajari ilmu agama adalah hal prinsip, dan mencari ilmu duniawi itu sampiran yang mengikutinya. Tambahnya, apalagi saat ini banyak perguruan tinggi negeri dan swasta ternama sudah mengapresiasi para calon mahasiswanya, baik al-hafidz maupun hafidhah diterima tanpa tes masuk... 

Jika nantinya anak-anak akan meneruskan pendidikan pada ilmu-ilmu lain, ya silakan. Jika tidak, mereka sudah punya bekal hidup yang baik. Saya yakin, anak-anak yang membela agama Allah, akan juga dipermudah Allah dalam kehidupannya. Saya bertawakal kepada Allah atas anak-anak saya, ucapnya.

Prinsip hidupnya itu tentu mendapat sokongan dari sang istri Feriyal Bawazer, yang memiliki pandangan dan prinsip yang sama dengan suaminya. Jika tidak, mustahil beliau bisa mewujudkan “sebuah karya” memaknai kehidupan, khususnya pendidikan bagi anak-anaknya yang tidak biasa itu dengan baik. Pasangan hidup yang serasi yang dihadirkan dan menghasilkan anak-anak yang juga luar biasa.

Bahagia dunia akhirat

Para hafidz dan hafidhoh mempunyai kedudukan dan derajat yang tinggi dalam pandangan Allah. Tidak itu saja, anggota keluarga inti, terutama ayah ibu akan mendapatkan kedudukan istimewa...

Allah akan memberikan kepada para penghafal Alquran kelak di akhirat, “mahkota kehormatan”. Sesuai dengan hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, “Baginda bersabda: Orang yang hafal Alquran kelak akan datang, dan Alquran akan berkata, ‘Wahai Tuhan, pakaikanlah dia dengan pakaian yang baik lagi baru.’ Maka orang tersebut diberi mahkota kehormatan... 

Alquran berkata lagi, ‘Wahai Tuhan, tambahkanlah pakaiannya.’ Kemudian orang itu diberi pakaian kehormatannya. Alquran berkata lagi, ‘Wahai Tuhan, ridhailah dia.’ Maka kepadanya dikatakan, ‘Baca dan naiklah.’ Dan untuk setiap ayat [yang dibacanya], dia diberi tambahan satu kebajikan.” (HR. at-Tirmidzi).

Banyak pula hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan para penghafal Alquran... Tidak saja bagi para hafidz dan hafidhoh itu sendiri keutamaan itu diberikan, tapi orangtua para penghafal Alquran pun akan mendapatkan pertolongan...

Sebagaimana hadits riwayat Buraidah al-Aslami Radhiyallahu Anhu, dia berkata mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa yang membaca Alquran, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada Hari Kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orangtuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya (orangtuanya) bertanya, ‘Mengapa kami dipakaikan jubah ini?’ Dijawab, ‘Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Alquran’.” (HR. al-Hakim).

“Barangsiapa yang membaca (menghafal) Alquran, maka sungguh dirinya telah menyamai derajat kenabian, hanya saja tidak ada wahyu baginya...” (HR. al-Hakim).

Pak Hamid dan sang istri bukanlah orang yang sederhana dalam berpikir. Pikirannya tampak sederhana di pandangan khalayak yang mengabdikan diri pada materi semata. Namun, sebenarnya dia berpikir dan sekaligus bertransaksi dengan Tuhan untuk mendapatkan peruntungannya yang kekal di akhirat... Anak-anaknya akan memakaikan jubah kemuliaan padanya dan sang istri, pertanda dia lulus sebagai orangtua bagi “pendidikan” anak-anaknya... Wallahu A’lam. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement