Jumat 08 Jun 2018 01:02 WIB

Salah-kah Iqbaal di Film Bumi Manusia?

Iqbaal dinilai tidak cocok memerankan Minke.

Wartawan Republika, Hazliansyah
Foto: Dok. Pribadi
Wartawan Republika, Hazliansyah

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh Hazliansyah*

Semua tentu sepakat Bumi Manusia milik Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu novel terbaik yang ada di Tanah Air. Isi novel yang mendalam, memuat konten sejarah, politik, sekaligus kisah asmara, menjadikan buku yang pertama kali diterbitkan pada 1980 ini disukai banyak orang.

Dicetak ulang sebanyak 10 kali dalam periode 1980-1981 dan telah diterbitkan dalam 33 bahasa hingga 2005 adalah ukuran betapa mendalamnya novel yang ditulis Pramoedya Ananta Toer ketika masih mendekam di Pulau Buru ini.

Selang 38 tahun setelah pertama kali novel itu diterbitkan, Falcon Pictures bersama Hanung Bramantyo memutuskan mengangkat novel ini ke layar lebar. Sebuah kepastian yang sudah dinanti sejak lama para pembaca novel Bumi Manusia.

Ya, sebelum jatuh ke Falcon Pictures, novel ini sudah beberapa kali diwacanakan untuk difilmkan. Ada Mira Lesmana atau sebelumnya Oliver Stone, filmmaker Hollywood yang terang-terangan tertarik mengangkat novel ini ke layar lebar.

Bila Oliver Stone tidak mendapat restu dari Pramoedya, Mira tak sanggup menggarapnya karena dana.

Mira memutuskan membatalkannya karena pencarian dana untuk membuat film dengan konsep yang ia inginkan memang tidak mudah. Novel dengan kisah yang mendalam, termasuk di dalamnya penjajahan Belanda dan banyak hal lainnya, sangat berat untuk ia wujudkan.

"Pada kenyataanya memang untuk mengumpulkan dana pembuatan film Bumi Manusia masih sangat sulit," kata Mira.

Waktu bergulir hingga akhirnya muncul informasi dari sutradara Comic 8 dan Warkop DKI Reborn, Anggy Umbara yang akan menjadi sutradara film tersebut. Menurut Anggy, yang kala itu sukses menggarap Comic 8, Falcon Pictures telah membeli hak memfilmkan novel Bumi Manusia. Bahkan, ia mengklaim pembicaraannya dengan Falcon sudah terjalin sejak mengerjakan Comic 8.

Namun, sejak itu pula perkembangan pembuatan film tidak terdengar. Sampai akhirnya Falcon mengumumkan bekerja sama dengan Hanung Bramantyo sebagai sutradara dan siap menjalankan proses syuting. Sektor penulis skenario ditempati Salman Aristo.

Kombinasi Falcon Pictures, Salman Aristo, dan Hanung Bramantyo sebenarnya adalah komposisi yang hebat untuk menggarap sebuah film besar. Ketiganya sudah terbukti berhasil mencetak film-film besar Tanah Air.

Salman Aristo misalnya. Ia penulis skenario untuk deretan film seperti Brownies yang membuatnya masuk nominasi penulis naskah terbaik di Festival Film Indonesia. Kemudian cerita-cerita film Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi.

Sementara Hanung adalah rekan dari Salman Aristo saat sama-sama menggarap Brownies. Lewat kolaborasi keduanya pula Hanung meraih Piala Citra. Selanjutnya adalah deretan-deretan film besar seperti Catatan Akhir Sekolah, Ayat-Ayat Cinta, Get Married, Doa Yang Mengancam, Perempuan Berkalung Sorban, Kamulah Satu-Satunya, Sang Pencerah, Perahu Kertas, Rudy Habibie, Kartini dan masih banyak lagi.

Sementara Falcon Pictures adalah rumah produksi yang dikenal dengan standardisasi tinggi proses produksi film, ditunjang dengan promosi maksimal. Tak ayal film-filmnya mencetak jutaan penonton. My Stupid Boss, Warkop DKI Reborn, Comic 8, Bulan Terbelah di Langit Amerika adalah contohnya.

Namun kenapa kemudian respons masyarakat atas film ini sedikit negatif?

Satu-satunya adalah kehadiran sosok Iqbaal Ramadhan yang didapuk memerankan karakter Minke, si tokoh utama. Iqbaal yang begitu sukses memerankan karakter Dilan di film berjudul sama dinilai tidak cocok memerankan Minke.

Dilan sudah lebih dulu dicap sebagai sosok anak muda romantis dengan penuh bahasa puitis. Disinilah yang bagi sebagian kalangan, umumnya penikmat karya sastra Bumi Manusia yang tidak tepat. Tidak sesuai. Atau terlalu dini bagi Iqbaal.

Sejatinya, Hanung ataupun Falcon tentu sudah mengira pro dan kontra ini akan terjadi. Mereka tentu sudah punya hitung-hitungan yang tepat hingga akhirnya menetapkan Iqbaal sebagai pemeran Minke.

Saya sendiri tidak mau mempermasalahkan kenapa Iqbaal yang diberikan peran Minke. Walaupun tidak pernah terpikir sedikit pun Iqbaal bakal memerankan Minke.

Tapi harus diakui jika Iqbaal punya kualitas akting yang mumpuni. Iqbaal tidak bisa dipandang sebelah mata untuk itu. Satu-satunya alasan kenapa Iqbaal lekat dengan karakter Dilan adalah karena kualitas aktingnya. Jika Iqbaal tidak punya kemampuan akting, atau sekadar tampang, bisa jadi film Dilan tidak akan sukses ia perankan.

Sehingga, sudah sepatutnya kita nantikan akan seperti apa Dilan memainkan Minke.

Sejatinya saya tidak terlalu khawatir, karena di belakang Iqbaal ada nama-nama besar pemeran watak yang begitu dahsyat. Sha Ine Febrianti sebagai Nyai Ontosoroh, Ayu Laksmi sebagai Bunda serta Donny Damara sebagai ayah Minke.

Saya adalah salah satu orang yang percaya bahwa lawan main akan membawa pengaruh ke dalam akting seseorang. Iqbaal yang akan beradu peran dengan ketiga pemain itu, diharapkan dapat mengambil energi dan aura kekuatan karakter ketiganya.

Tantangan terbesar sesungguhnya ada pada Hanung Bramantyo. Sebagai sutradara, mau tidak mau ia harus bisa memuaskan ekspektasi para pembaca novel dan para penggemar Iqbaal. Di sinilah kesulitan terbesar.

Pembaca novel dengan imajinasi masing-masing yang tak terbatas, beradu dengan medium film yang terbatas durasi. Hanung harus benar-benar jeli mengombinasikan kekuatan cerita dalam novel dengan penokohan Iqbaal.

Sekali lagi, Hanung harus bisa membuktikan semua pilihannya tepat. Sulit? Belum tentu. Tapi melihat jumlah penonton sejumlah film Hanung belakangan, ia memang harus benar-benar bisa membuktikannya.

Begitu juga dengan Falcon Pictures yang harus menemukan formulasi promosi yang tepat.

Selama ini Falcon termasuk salah satu rumah produksi yang memberikan pos anggaran besar untuk promosi. Tidak jarang jumlahnya lebih besar dari ongkos produksi.

Lihat saja bagaimana Falcon mempromosikan Warkop DKI Reborn. Anggaran besar, dengan konsep promosi yang sesuai dengan pemeran dan tema film sangat sejalan. Sehingga proses yang maksimal tidak akan mengkhianati hasil.

Begitu juga dengan "Bumi Manusia". Falcon yang sudah punya standardisasi tinggi harus menemukan konsep yang tepat untuk berpromosi. Meyakinkan penonton dari semua kalangan, bahwa film "Bumi Manusia" tidak hanya menghibur tapi juga tetap tidak kehilangan "isinya" yang mendalam.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement