Sabtu 02 Jun 2018 01:00 WIB

Strategi Mencegah Radikalisme di Sekolah

Guru sebagai ujung tombak pendidikan nasional memiliki peran strategis

Satriwan Salim
Foto: dok. Pribadi
Satriwan Salim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satriwan Salim, Pengajar di Labschool Jakarta-UNJ dan Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia/FSGI)

 

Radikalisme di Sekolah

Peristiwa bom Surabaya yang terjadi baru-baru ini menimbulkan fenomena baru dalam kajian terorisme. Fenomena baru itu adalah keterlibatan satu keluarga termasuk anak-anak dalam aksi terorisme, dengan melakukan aksi bom bunuh diri. Anak-anak yang terlibat nota bene merupakan siswa berusia sekitar 8-18 tahun, yaitu usia sekolah.

Temuan yang lebih menngerikan lagi adalah intoleransi dan bibit-bibit radikalisme sudah masuk dan berkembang di sekolah-sekolah. Hasil penelitian terbaru dari  PPIM UIN Jakarta (2017), dilakukan terhadap siswa/mahasiswa dan guru/dosen dari 34 provinsi di Indonesia. Di antara hasilnya yaitu sebanyak 34,3 persen responden memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama lain selain Islam.

Kemudian, sebanyak 48,95persen responden siswa/mahasiswa merasa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Yang lebih mengagetkan lagi 58,5 persen responden mahasiswa/siswa memiliki pandangan keagamaan dengan opini yang radikal.

Persoalan yang muncul, mengapa bibit-bibit radikalisme bisa masuk ke sekolah? Dan bagaimana strategi sekolah agar mampu mencegah pemahaman radikalisme memengaruhi cara berpikir guru dan siswa?

Menjawab pertanyaan pertama di atas, sudah banyak kajian dilakukan oleh banyak lembaga terkait intoleransi, antikebinekaan dan bibit-bibit radikalisme yang mulai masuk ke ranah persekolahan. Semua lembaga relatif sepakat jika radikalisme yang masuk ke sekolah melalui; (1) aktivitas pembelajaran di kelas oleh guru, (2) melalui buku pelajaran yang diduga memuat konten intoleransi, (3) melalui pengaruh dan intervensi alumni dalam kegiatan kesiswaan di sekolah dan (4) lemahnya kebijakan kepala sekolah/yayasan dalam mencegah masuknya pengaruh radikalisme. Untuk hasil ini kita bisa lihat laporan riset dari Ma’arif Intitute (2017).

Guru sebagai ujung tombak pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam rangka “mencerdaskan kehidupan bangsa”, sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya siapapun gurunya, apapun mata pelajaran dan jenjang sekolah tempat mengajar, semestinya paham, bahwa mereka adalah insan pedagogis yang sedang melakukan aktivitas kebangsaan, berlomba-lomba mencapai tujuan bernegara.

Tapi kenyataannya terbalik, ada oknum guru yang justru mengajarkan kepada siswa untuk memusuhi negara ini dengan segala konsensus dan simbol-simbol kebangsaannya. Mengatakan bahwa Pancasila adalah thogut, UUD 1945 (dan segala perangkat hukum di bawahnya) adalah buatan manusia sehingga tak wajib dipatuhi, hormat kepada bendera merah putih adalah haram atau bid’ah bahkan ada oknum guru yang terlibat aktif menjadi anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) menemukan ada guru yang bersimpati bahkan mendukung “perjuangan” organisasi teroris ISIS di Timur Tengah. Dan rasa simpatinya tersebut disampaikan di depan kelas. Ada juga guru yang terang-terangan mempromosikan organisasi HTI di depan kelas; mempertanyakan eksitensi Pancasila, mempromosikan ide negara khilafah dengan segala doktrinasi HTI lainnya. Ini ditemukan di salah satu sekolah negeri di Bogor. Juga ada laporan bahwa ada guru di Batam, yang tidak mau hormat kepada bendera merah putih di saat upacara bendera. Padahal guru tersebut sedang menjadi pembina upacara. Sikap seperti itu sudah sering ditunjukkannya di depan siswa & guru lain. Tragis bukan?!

Pembelajaran minus nalar

Kemudian nilai intoleransi juga muncul di pembelajaran, ketika guru tidak mampu mendisain pembelajaran yang menggugah nalar siswa; pembelajaran kritis (critical thinking & critical pedagogy) dan problem based learning. Pembelajaran kita belum terbiasa dengan pergulatan ide, perdebatan dan argumentasi yang baik. Semua itu cerminan keterampilan berpikir kritis, yang lazim dikenal HOTS (Higher Order Thinking Skill). Pembelajaran kita baru terbiasa dengan ceramah, satu arah dari guru. Pembelajaran yang memberikan ruang dan kesempatan yang luas bagi guru untuk bermonolog. Sehingga pembelajaran dengan “student centered learning” tak terpakai dengan baik.

Para siswa kita hanya dibiasakan menjawab soal-soal kelas rendah, berupa pilihan ganda (PG) belaka. Keterampilan berpikir masih tingkat rendah (lower order thinking skill); mengingat, menghafal dan memahami. Berhenti pada jenjang memahami sebuah teks atau peristiwa. Belum bergerak naik mengaktifkan keterampilan berpikir tingkat tinggi; menganalisis, membandingkan, mengkomunikasikan, mengkritisi, problem solving dan berkreasi (HOTS).

Belum terkonstruksinya desain pembelajaran berbasis critical thinking di atas, diawali oleh belum terbiasanya guru mendengarkan argumentasi siswa, guru tahu segalanya sedangkan siswa tidak tahu, guru selalu benar, guru adalah sumber belajar satu-satunya. Akibatnya adalah siswa menjadi inferior di hadapan guru. Siswa takut bicara dan menyampaikan pendapatanya secara terbuka di depan kelas. Bahkan jika pun ada siswa yang kritis, maka akan dianggap kurang sopan. Sekolah kurang memberikan ruang aktualisasi diri kepada siswa. Pola-pola seperti itulah yang masih lazim terjadi di dunia persekolahan kita. Seperti yang pernah dikeluhkan dan dikritik oleh Soe Hok Gie (1942-1969) bahwa, “guru bukanlah dewa, dan murid bukanlah kerbau yang dicocok hidungnya. 

Makanya pedagog seperti Ivan Illich (1926-2002) menerbitkan tulisan kontroversialnya berjudul “Deschooling Society” (1970) sebagai bukti bahwa institusi pendidikan dan sekolah abad XX sudah bobrok. Lembaga sekolah secara terencana mengalienasikan anak didik dari diri dan lingkungannya. Pun kumpulan tulisan berjudul “Sekolah itu Candu” (1998), yang ditulis Roem Topatimasang bahwa pendidikan dan persekolahan kita memang sudah rusak, sampai kepada praksis pembelajarannya di kelas.

4 strategi pencegahan radikalisme di sekolah

Jika demikian faktanya, bagaimana strategi kita agar sekolah, guru dan pembelajaran di kelas tidak lagi memberi ruang bagi penyemaian virus intoleransi dan radikalisme? Pertama, guru harus mentransformasikan dirinya menjadi pendidik yang benar-benar mendidik. Pendidik yang tak lepas dari misi kebangsaan; mencerdaskan kehidupan bangsa. Semua guru mata pelajaran harus diberikan wawasan kebangsaan yang baik. Guru adalah role model bagi siswa. Bagaimana nilai-nilai kebangsaan bisa diwujudkan oleh siswa, jika role model-nya saja justru memperlihatkan sebaliknya.

Kedua, mau tidak mau para guru mesti menyegarkan keterampilan mengajarnya. Kewajiban pemerintah sebenarnya untuk memenuhi tuntutan ini. Praktik pembelajaran yang menarik, kreatif, berpikir kritis dan berpusat pada siswa. Inilah tantangan yang mesti dilakukan guru sekarang. Apalagi yang diajar adalah Generasi Z, yang bahasa zamannya berbeda dengan gurunya yang berasal dari Generasi X bahkan sebelumnya. Tinggalkan pembelajaran yang memberi ruang superioritas bagi guru. Guru jangan lagi mendoktrin di depan kelas. Mendidik itu bukan proses doktrinasi. Tapi proses pembangunan karakter melalui argumen & dialog. Bukan melalui monolog!

Ketiga, berdasarkan diagnosis masuknya bibit radikalisme ke sekolah di atas, kepala sekolah/ketua yayasan berperan penting melakukan pembinaan kepada guru yang sudah kadung intoleran bahkan radikal. Kepala sekolah harus memetakan pemahaman “ideologis” para guru. Apalagi bagi calon guru, misalnya di swasta. Rekrutmen guru baru tidak hanya mensyaratkan empat (4) kompetensi guru, tetapi menambahnyaa dengan kemampuan (keterampilan) wawasan kebangsaan guru. 

Termasuk pemantauan konten pembelajaran guru di kelas. Bisa dikroscek pada siswa. Siswa pun harus berani melaporkan kepada wali kelas/kepala sekolah jika ada guru mengajarkan intoleransi di kelas. Siswa jangan sungkan apalagi takut menyampaikan/memprotes (tentu dengan adab yang baik). Triangulasi informasi antara kepala sekolah, wali kelas dan siswa (orang tua) harus dilakukan kontinu.

Kepala sekolah juga mesti ketat dan tegas dalam membuat kegiatan kesiswaan. Keterlibatan alumni dan orang luar tak masalah, asalkan kepala sekolah/wakil sudah mengetahui profil alumni/pembicara luar tersebut. Ruang aktivitas dan kreativitas siswa mutlak harus ada, tetapi dengan kontrol yang baik dari sekolah. Agar doktrin radikalisme tidak terinfiltrasi masuk melalui pihak luar tersebut.

Keempat, yang tak kalah penting adalah sudah waktunya bagi Puskurbuk (Pusat Kurikulum dan Perbukuan) Kemdikbud membuat “model pembelajaran” bermuatan pencegahan radikalisme, intoleransi dan terorisme bagi semua guru mata pelajaran & jenjang. Termasuk pelatihan yang berjenjang, berkelanjutan dan berkualitas. Karena tugas untuk mencegah radikalisme di sekolah itu bukan hanya tugas guru PPKn/PKn dan Pendidikan Agama saja, tapi tugas pokok semua guru.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement