Rabu 23 May 2018 18:36 WIB

Larangan Caleg untuk Mantan Koruptor Dinilai Konstitusional

Pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan penjara.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Anggota KPU 2012-2017 Hadar Nafis Gumay menyampaikan pendapatnya dalam diskusi polemik di Jakarta, Sabtu (20/1).
Foto: Republika/Prayogi
Anggota KPU 2012-2017 Hadar Nafis Gumay menyampaikan pendapatnya dalam diskusi polemik di Jakarta, Sabtu (20/1).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2012-2017 Hadar Nafis Gumay menilai rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan anggota legislatif tidak akan bertentangan dengan pasal 240 ayat 1 huruf g Undang-undang 7/2017 tentang Pemilu. Sebab menurutnya, pengaturan pada pasal tersebut bersifat umum.

"Sebetulnya tidak. Pengaturan di pasal 240 itu kan sifatnya umum. Terpidana itu kan di dalamnya macam-macam. Ada terpidana korupsi, ada terpidana kejahatan kekerasan terhadap perempuan. Jadi, bisa saja dilarang untuk bentuk tertentu, yang memang di UU Pemilu tidak disebutkan," kata dia di Jakarta, Rabu (23/5).

Bunyi pasal 240 ayat 1 huruf g tersebut, "Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana."

Hadar juga melihat adanya inkonsistensi pada DPR, pemerintah dan Bawaslu. Sebab mereka telah mengesahkan ketentuan pencalonan anggota DPD melalui PKPU 14/2018. Isi PKPU ini jelas berbeda dengan keinginan DPR, pemerintah, dan Bawaslu dalam mengatur ketentuan pencalonan anggota legislatif.

Padahal pembentukan PKPU 14/2018 itu jelas telah melalui konsultasi dengan DPR, pemerintah, dan Bawaslu. Karena telah diundangkan pada April lalu, maka berarti tiga institusi telah menyetujui isi PKPU tersebut. Di PKPU 14/2018, diatur bahwa mantan narapidana kasus korupsi dilarang mencalonkan diri menjadi anggota DPD.

"Di PKPU 14/2018 itu dilarang, padahal sama-sama untuk peserta pemilu juga kan, untuk DPD. Kok saat itu tidak dipermasalahkan, sekarang dimasalahkan. Kenapa saat itu tidak ada kesimpulan yang mengatakan DPR tidak setuju misalnya," ungkap dia.

Karena itu, menurut Hadar, alasan DPR, pemerintah dan Bawaslu bahwa usulan KPU soal larangan mantan napi korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu, itu tidak tepat. Sebab, pasal di dalam PKPU 14/2018, yang menjadi turunan dari UU Pemilu, telah mengatur larangan tersebut.

"Pasalnya kurang lebih isinya sama (melarang mantan napi korupsi maju ke Pemilu 2019). Yang satu untuk DPD, yang satu untuk DPR. Nah, dari UU yang sama (UU Pemilu), kok kemudian mau diarahkan dengan PKPU yang berbeda," kata dia.

Langkah KPU yang ingin tetap mengeluarkan aturan pelarangan napi korupsi menjadi caleg mendapat dukungan dari Perludem. Direktur Perludem Titi Anggraini menilai pemberantasan korupsi tidak selesai hanya dengan memenjarakan dan membina para narapidana kasus korupsi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Sebab, dampak kerusakan akibat perilaku koruptif itu meluas.

"Daya rusak yang dilakukan oleh mantan napi korupsi tidak selesai hanya dengan mendapatkan pembinaan di Lapas, karena dia mendapat pembinaan untuk dirinya pribadi, tapi daya rusak yang disebabkan perilakunya itu berdampak panjang," katanya.

Menurut Titi, negara tidak boleh mengambil risiko dengan memberikan kembali akses kekuasaan kepada mereka yang punya rekam jejak buruk. "Kita tidak boleh mengambil risiko dengan membiarkan orang yang gagal mengelola keuangan negara karena koruptif, kembali mendapatkan kewenangan yang sangat luar biasa itu," ujar dia.

Baca: KPU Pastikan Mantan Koruptor tak Boleh Jadi Caleg

Titi memandang, rumusan KPU soal larangan mantan napi korupsi menjadi caleg itu relevan. Sebab mantan napi tersebut akan dinominasikan sebagai pejabat publik. Posisi ini akan membuat mereka bisa mengakses kembali kewenangan legislasi, anggaran dan pengawasan.

Negara, lanjut Titi, juga harus melindungi kepentingan yang lebih besar, yakni pemilih dan warga negara. Caranya dengan tidak mengambil risiko tersebut. Sehingga orang yang terbukti gagal saat menjadi pejabat publik, tidak kembali mengakses kekuasaan. "Agar pemilih dan masyarakat tidak berada dalam situasi berisiko," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement