Selasa 22 May 2018 01:15 WIB

Antara Soeharto, Guru, dan Siswa

Siswa itu ibarat mutiara di dalam lautan.

Satriwan Salim
Foto: dok. Pribadi
Satriwan Salim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satriwan Salim, Pengajar di Labschool Jakarta-UNJ dan Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia/FSGI)

 

Tulisan singkat ini saya tulis karena teringat salah seorang mantan anak didik, sekitar  5 (lima) tahun lalu yang menjadi inspirasi untuk adik-adik kelasnya, semasa SMA bahkan sampai kuliah. Inspirasi karena setumpuk prestasi yang ditorehkannya. Dalam sebuah dialog di perjalanan, menuju salah satu stasiun tv swasta di daerah Kedoya, Jakarta Barat. Saya menemaninya dalam mobil yang dikendarai pihak stasiun tv, sebab mereka mengundang siswa tersebut (setelah saya rekomendasikan ke pihak tv) dalam sebuah acara dialog pagi bertemakan kepemimpinan.

Singkat cerita, selama di perjalanan dari Labschool Jakarta menuju Kedoya, yang cukup jauh, kami mengisinya dengan diskusi kecil-kecilan sebagai teman menghidupkan suasana di tengah kemacetan yang sudah menjadi langganan di Jakarta pada jam kerja.

Berikut torehan dialog kurang lebihnya yang saya masih ingat sampai sekarang. Diskusi bermula ketika anak ini bertanya kepada saya, “Pak, nanti pas siaran dialog tv itu kira-kira saya ditanya apa yah?” Saya jawab, “Ya, paling kamu ditanya sama penyiarnya tentang siapacontoh figur pemimpin yang menjadi favorit kamu.” Respon saya kepadanya seraya sambil memerhatikan kemacetan sekitar.

Wah kalo begitu bagusnya saya jawab bagaimana ya, Pak?” Lalu saya menimpali, “Itu terserah kamu mau pilih siapa sebagai sosok yang kamu kagumi. Bisa tokoh nasional atau dunia. Bisa juga nama pahlawan atau pemimpin negara kita. Siapa saja sih.”

“Kalau Bapak, kira-kira siapa sosok figur pemimpin bangsa yang dikagumi?”, tukas siswa ini secara cepat menimpali jawaban saya. Sepertinya, dia penasaran alias kepo dengan jawab saya. Kebetulan dia menjabat sebagai ketua umum OSIS di sekolah kami waktu itu. Performance dia secara akademik dan kepemimpinan memang bisa dikatakan laik diteladani oleh adik-adik kelasnya. Sebagai guru PKn saya acap kali diajak diskusi mengenai politik dan kebangsaan olehnya, baik di depan kelas maupun di luar kelas. Saya tak paham mengapa siswa berdarah Minang ini suka berdiskusi dengan saya. Kadang-kadang capek juga melayani siswa yang minat keingintahuannya tinggi, apalagi menyangkut nama-nama dalam sejarah bangsa, yang kontroversial, atau para founding fathers-mothers atau pemimpin di masa kini. Tapi sudah menjadi panggilan saya sebagai pendidik.

Bahkan dalam suatu momentum di kelas X. Setelah menjelaskan materi tentang sistem politik Indonesia, dalam diskusi anak muda ini bertanya ke saya, “Pak, jika saya ingin menjadi pemimpin, sebagai pemula, buku apakah yang bisa saya baca, sebagai modal dasar saya menjadi pemimpin?” pintanya ke saya. Saya jawab singkat, “Kamu wajib baca buku berjudul Retorika karya Aristoteles!” Lantas dia mengangguk dan saya perhatikan sorot matanya menunjukkan optimisme dan ambisi seorang pemimpin muda.

Kembali pada pertanyaan kepo siswa tadi. Saya bilang, “Kalau saya sih kagum sama para founding fathers kayak Tan Malaka, M. Natsir, Soekarno, HOS Tjokroaminoto, Hatta dan Agus Salim.” Sembari menguraikan secara umum karakter & nilai-nilai kepemimpinan apa yang bisa ditiru dari enam bapak bangsa di atas. Seperti kecerdasan, kesederhanaan, berwatak tegas & berpendirian, kesalihan dan komitmen kebangsaan tentunya.

Kemudian saya berucap lagi, “Nah, nanti kalau kamu ditanya penyiarnya siapa tokoh favorit, kamu jawab saja nama kayak Tan Malaka itu. Kan biasanya anak-anak muda suka sama figur yang kontroversial, revolusioner plus anti-mainstream. Pasti penyiarnya juga senang dan ‘kaget’ dengar ada siswa kagum pada nama ini. Tan Malaka itu kan belum terlalu diketahui masyarakat. Jadi, kamu bilang saja Tan Malaka!”, demikian “hasutan” saya padanya.

Mendengar “hasutan” saya tadi dia menimpali, “Pak Satriwan maaf, saya jujur kalau ditanya siapa sosok pemimpin yang saya kagumi. Saya sebenarnya menghormati dan terkesan dengan Pak Harto. Presiden Soeharto adalah orang yang juga sangat berjasa pada republik ini.” Belum panjang dia menguraikan alasannya mengidolakan Bapak Pembangunan ini saya memotong. “Hah, serius kamu mengidolakan sosok Soeharto? Yang benar ah jangan bercanda nih. Mau masuk tv nasional lho.” Saya kaget dan terheran-heran mendengar ada anak muda zaman sekarang (nota bene Generasi Z) mengidolakan sosok yang dipersepsikan otoriter dan korup sekaligus pelanggar HAM. Setidaknya konstruksi label seperti itu ada tertulis dalam buku pelajaran SMA.

photo
Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Di luar dugaan, tiba-tiba ada seorang siswa kelas XI yang mengidolakan figur yang paling dibenci pada reformasi 98 oleh mahasiswa dan sebagaian masyarakat Indonesia. Kenyataan ini sungguh sulit saya terima. Tapi saya tak bisa membantahnya, karena itu adalah pilihan (mungkin politis atau ideologis) anak didik yang suka membaca ini.

“Kenapa kamu suka dengan Soeharto?” pungkas saya. Dia jawab kurang lebih, “Saya baru membaca buku tentang Soeharto Pak” (seingat saya kalau tak salah dia menyebutkan judul buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”), demikian jawab siswa yang pada hari itu mengenakan batik sekolah kami.

“Saya membaca jika sebenarnya Soeharto adalah sosok pemimpin yang berwibawa, tegas dan sudah sangat berjasa terhadap Indonesia, Pak! Kalau tak ada beliau kita tak akan menikmati pembangunan jalan, tol, listrik, irigasi yang bagus bahkan kita pernah swasembada pangan. Beliau juga ikut dalam perang kemerdekaan. Banyak lagi jasa yang lainnya, Pak. Kita sekarang kebanyakan memandang hanya pada sisi buruk Soeharto. Kalau ditimbang-timbang adil, Soekarno pun punya keburukan dan dosa dalam kepemimpinannya di masa lalu. Mungkin karena sekarang kita di era reformasi, makanya profil Soeharto selalu dinilai negatif di mata anak-anak muda. Tapi saya melihatnya berbeda, Pak!” Demikian jawabnya yakin. 

Kurang lebih seperti itulah argumentasi siswa yang pretasinya bejibun bahkan sampai di level internasional ini. Yang akhirnya lulus dengan predikat cum laude, menjadi mahasiswa berprestasi tingkat universitas dari salah satu kampus ternama di Yogyakarta pada 2017 lalu. 

Saya terpaksa berpikir dan merefleksikan jawaban siswa tadi. Ternyata yang kita sampaikan di kelas, belum tentu akan menjadi “keyakinan” bagi para siswa. Siswa pun memiliki sumber pembelajaran sendiri, seperti di atas dia membaca buku selain buku paket wajib. Punya penilaian personal terhadap sosok pemimpin bangsa. Pilihan (mungkin politis dan ideologis) yang saya sebagai guru tidak bisa merubahnya secara radikal. Atau setidaknya memengaruhinya untuk jangan lagi mengidolakan “The smiling general” itu. Saya menghormati pilihannya.

Siswa itu ibarat mutiara di dalam lautan. Tugas utama seorang guru adalah menyelami ke dasar lautan, mengambil dan mengangkat mutiara tersebut ke permukaan. Sehingga mahal harganya. Mutiara itu berharga, karena diselami dan dibawa ke permukaan. Begitulah kurang lebih tugas guru. Seperti kata HOS Tjokroaminoto (1882-1934), “Mendidik itu memupuk serta mengembangkan pemikiran dan potensi murid, bukan menanamkan pemikiran dan kemauan guru.” Itu dibuktikan kemudian hari oleh Pak Tjokro. Inilah prinsip inspiratif yang sampai kini terus saya coba pakaikan di kelas.

Diskusi di mobil perihal kepemimpinan yang seru tersebut, akhirnya berhenti ketika kami sampai di studio tv. Sampai di sana berbasa-basi dengan pihak tv dan penyiar. Kemudian di-makeup sedikit. Lanjut live dialog tentang kepemimpinan. Lebih tepatnya membedah buku tentang kepemimpinan di sekolah. Kalau tak salah judul bukunya: “The Damn Leader”. Mendialogkan buku bersama penulisnya. Sampai acara usai, ternyata pertanyaan seperti yang kami duga dan tebak di atas tak pernah satu kalimatpun keluar dari mulut news anchor. Prediksi kami terlalu ambisius, merasa percaya diri dan memang salah, karena tak pernah ditanya oleh penyiarnya.

Tapi, bagi saya ingatan tentang cerita kepemimpinan Soeharto yang keluar dari mulut anak didik saya waktu itu, muncul kembali saat ini. Tepat di bulan Mei, sebab bulan ini adalah waktu yang bersejarah dalam narasi kebangsaan kita. Puncaknya 21 Mei, ketika sosok pemimpin yang diidolakan mantan siswa saya ini menyatakan mengundurkan diri. Sekejap berubahlah takdir sejarah kita. Nama besar Soeharto pun tercoreng dalam buku pelajaran (sejarah). Tapi tidak bagi mantan delegasi ajang kompetisi internasional bergengsi, Harvard National Model United Nations (HNMUN), yang saat ini telah menyandang gelar sarjana teknik dan pun sudah menerbitkan buku bertemakan kepemimpinan, berjudul: “Youth Leadership Kiat Pemuda dalam Menanam Jiwa Kepemimpinan Sejak Dini (2016).

Pertanyaannya sekarang: “Apakah bekas anak didik saya tersebut masih tetap mengidolakan Soeharto hingga hari ini?” Akan saya tanyakan ketika bertemu dengannya nanti.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement