Ahad 20 May 2018 21:01 WIB

Dicintai dan Dibersamai Allah dalam Ramadhan

Puasa itu sebagai benteng yang kokoh.

Ady Amar
Foto: dok. Pribadi
Ady Amar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar, Pemerhati Masalah Sosial dan Keagamaan

 

Seorang perempuan berkulit hitam kelam mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wassallam membawa keluhan. Demikian keluhannya, “Saya terjangkit penyakit ayan (epilepsi). Ketika penyakit itu kambuh, maka aurat saya bisa tersingkap. Karena itu, doakanlah saya kepada Allah.”

Nabi Shallallahu Alaihi Wassallam bersabda, “Pilihlah salah satu, engkau mau bersabar, sehingga engkau mendapatkan surga. Kalau tidak, akan aku doakan bagi kesembuhan dirimu.” “Saya memilih bersabar saja,” jawab perempuan itu. Tapi dia melanjutkan, “Sesungguhnya setiap kambuh, maka aurat saya bisa tersingkap. Karena itu, sudilah untuk mendoakanku agar auratku, saat penyakit ini kambuh, tidak tersingkap.” Maka beliau berdoa untuk perempuan itu.

Kisah di atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Atha’ bin Abi Rabbah, layak dipakai sebagai intro dalam tulisan ini, berkenaan dengan “sabar”. Atha’ bin Abi Rabbah—seorang tabi’i—yang didapatnya kisah itu dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhu, “Maukah aku perlihatkan seorang perempuan penduduk surga?” Jawabku (Atha’), “Ya.” Maka dikisahkannya tentang perempuan malang pengidap ayan di atas.

Dalam konteks berkenaan dengan kesabaran, maka puasa Ramadhan disebut sebagai “bulan kesabaran”: “Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedang kesabaran pahalanya adalah surga.” (HR. Ibnu Khuzaimah). Sebelum mendapat surga, di dunia pun para sha’imin (orang-orang yang berpuasa) disematkan gelar sebagai kekasih-kekasih Allah (ahbabuLlah), sebagaimana firman-Nya (QS. 3: 146), “Allah mencintai orang-orang yang sabar.” ...

Sedang karunia lainnya yang diberikan bagi orang-orang sabar berupa janji-Nya akan Kebersamaan Allah Yang Mengiringinya (ma’iyyatuLlah), sebagaimana diterangkan Allah (QS. 2: 249), “Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar.”

Tampak begitu respeknya Allah pada hamba-Nya yang sabar, dengan diberi-Nya dua pencapaian spiritual sebagai ahbabuLlah dan ma’iyyatuLlah. Ujian yang datang, mestinya, bisa lebih disikapi dengan kesabaran tinggi. Bukankah tujuan seorang mukmin itu kecuali mengharap maqam “dicintai” dan “dibersamai” Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Adakah yang lebih “nikmat” dari itu semua?

Sulit dilawan dengan sabar

Karenanya, Ramadhan dan Sabar seharusnya menjadi “madrasah” penempaan diri untuk bersikap, berperilaku dan beribadah dengan lebih baik. Dan ini bisa jadi bekal selepas Ramadhan berlalu. Di “madrasah” Ramadhan inilah semestinya umat berharap sebanyak-banyaknya meraih pahala, dan memohon ampun agar dosa-dosa di masa lalu dihapus-Nya. Dan Ramadhan patutlah dijadikan “madrasah” untuk melatih kesabaran... 

Tidak cuma bersabar dalam haus dan lapar, atau bersabar menjaga perilaku untuk tidak bersikap tidak baik, tapi juga bersabar dalam menjaga hati dan pikiran... Hati dan pikiran diharapkan tidak menyimpan hal-hal keburukan, tapi diarahkan cuma pada hal-hal kebaikan semata.

Setiap melaksanakan ibadah ada tuntutan untuk bersabar dalam mengerjakan, dan terutama adalah puasa. Jika tidak bersabar dalam beribadah, maka tujuan-tujuan dari ibadah itu tidak akan sampai. Hanya yang serius dalam beribadah saja yang akan merasakan kesulitan, dan itu akan dilawannya dengan kesabaran. 

Bahkan al-Ghazali dalam magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin, menyebut, “Bahwa seseorang tidak dikatakan beribadah jika dia tidak merasakan kesulitan dalam dirinya ... Semua musibah itu memerlukan kesabaran dalam menyikapinya. Jika tidak, dia tidak akan tenang dalam beribadah... Para penempuh jalan akhirat lebih banyak ditimpa cobaan dan musibah.”

Sabar secara etimologis bermakna “pengekangan” dan “pengendalian diri”. Karenanya, kesabaran adalah pengekangan terhadap diri (ego) dari gejolak kalbu, pengendalian lisan dari segala bentuk keluhan, dan pengendalian bagi anggota jasmani agar tidak berbuat yang tidak pantas.

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah Rahimahullah, berpendapat dengan pendapat yang saling melengkapi, bahwa sabar itu mengandung tiga makna; kendali atas diri sendiri, gigih/kegigihan, dan kendali atas hadirnya karakter yang utuh.

Sabar di sini tentu tidak identik dengan mencari-cari ujian. Tapi sabar di sini adalah sikap yang bisa menerima segala bentuk ujian dengan sikap ksatria dan legawa. Juga bukan memberi stimulan bagi pemeluknya untuk meminta datangnya ujian. Artinya, setiap ujian datang siap menerimanya dengan semata mengharap surga-Nya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam memberi kiasan yang sungguh tepat, “Puasa itu sebagai benteng yang kokoh.” Berbagai pendapat menerangkan maksud “benteng” dalam konteks hadits  di atas. Bisa sebagai “pelindung” dari kemaksiatan, sedang sebagian pendapat lainnya memaknai “benteng pelindung dari api neraka”. Penafsiran yang tampak variatif ini bukanlah bentuk pertentangan, sebab setiap orang yang terlindung dari kemaksiatan, maka sejatinya dia terlindung dari api neraka.

Marhaban Ramadhan... Bulan meraih kemurahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ampunan atas dosa-dosa hamba-Nya, dan pelepasan diri dari siksa api neraka.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement