Jumat 18 May 2018 15:22 WIB

Penanganan Terorisme oleh Polri Bertentangan dengan KUHAP

Penanganan terorisme oleh Polri sudah jauh dari KUHA

Tersangka teroris SH (kanan) dan AR (kiri) dikawal ketat petugas Densus 88 Antiteror saat rekonstruksi rencana pembuatan bom di Kiaracondong, Bandung, Jawa Barat, Kamis (26/10)
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Tersangka teroris SH (kanan) dan AR (kiri) dikawal ketat petugas Densus 88 Antiteror saat rekonstruksi rencana pembuatan bom di Kiaracondong, Bandung, Jawa Barat, Kamis (26/10)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andri W. Kusuma, Pengacara

Revisi UU tindak pidana terorisme saya pikir memang perlu memiliki maksud, agar penanganan masalah terorisme tidak lagi di monopoli oleh Polri. Apa yg dilakukan Polri saat ini dalam penanganan teroris sebetulnya juga sudah jauh dari dan bertentangan dengan KUHAP yang merupakan ‘kitab sucinya’. Namun revisi ini jangan dianggap memperluas kewenangan Polri, hal itu akan sangat berbahaya.

Saat ini saja Polri sering sekali melakukan bukan saja abuse of power, tetapi execive power. Karena dia yang menangkap, dia yang lidik, dia yang menilai sendiri secara subjektif alat-alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup, dan dia yang melakukan penyidikan sampai melakukan perampasan nyawa, harta benda dan penahanan.

Kalau Polri dengan KUHAP-nya tidak sanggup menjangkau, maka harus diisi oleh instrumen keamanan dan pertahanan negara lainnya, lantaran terorisme memiliki spektrum yang luas. Sebab akan sangat berbahaya jika Polri ditambah kewenangannya, yang saat ini sudah begitu besar, karena ujung dari tindakan polisi adalah putusan hukum yang akan jadi jurisprudensi, bukan tidak mungkin dalam tidak pidana lain Polri menjadi dibenarkan untuk melanggar KUHAP, melanggar KUHAP sama saja melanggar HAM.

Karenanya UU Terorisme harus memang direvisi terutama kata atau diksi ‘tindak pidana’ harus diganti menjadi ancaman atau anti, atau apa saja yang penting kata tindak pidana dihilangkan. Karena memang senyatanya dalam kegiatan teroris itu ada tiga hal penting, mereka melakukan yang namanya penggalangan, perekrutan dan persiapan sampai pada pelaksanaan.

Dari empat itu, tiga di antaranya tidak bisa dijangkau Polri. Karenanya peran BIN dan TNI bisa masuk di sini, apalagi dalam hal letak geografis negara kita memiliki pintu-pintu masuk yang sangat banyak.

photo
Revisi UU Anti-Terorisme

Yang kedua penindakan, jelas Polri sendiri tidak akan mungkin sanggup, contoh Santoso di Palu, beberapa waktu lalu. Sangat jelas peran TNI, belum lagi misal teror di laut, jelas Polri tidak sanggup, juga teror di udara dll. Sementara TNI memiliki satuan khusus yang menguasai bahkan tiga matra sekaligus. Sebut saja Den 81 gultor Koppasus, Denjaka Marinir, Den Bravo Paskhas.

Di sini bisa bukan saja diisi atau ditambal. Tetapi sekaligus mengganti Densus 88 yang sudah jelas-jelas dapat dibilang gagal. Kemudian dalam terorisme tersebut juga ketika setelah operasi atau penindakan ada yang berhasil ditangkap baru masuk tahap selanjutnya penyidikan. Di sini baru kewenangan Polroi jalan, pada saat dan setelah terpidana teroris itu selesai menjalani pidana.

Pada tahap ini harus ada peran dari Kementerian Agama dan setelah keluar tahanan pada tahap ini harus ada peran dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial, untuk melakukan deradikalisasi, deradikalisasi sering kali diartikan sempit oleh negara, hanya penyuluhan agama saja. Padahal ada juga yang penting yaitu kita harus perhatikan pendidikannya (Kementerian Pendidikan) juga lapangan pekerjaannya agar mantan napi teroris ini tidak lagi dikucilkan dalam masyarakat dan dapat hidup normal. Kalau tidak dia dapat lebih radikal dari sebelumnya.

Dari uraian di atas jelas sekali mengapa sampai dengan saat ini kita masih saja gagal menghadapi dan mengurangi aksi-aksi terorisme ini. Karena memang UU saat ini belum secara komprehensive melibatkan seluruh kekuatan negara.

Sekali lagi penanggulangan aksi terorisme tidak bisa dimonopoli hanya oleh satu institusi saja. Selain tidak efektif juga sangat berbahaya, dapat terjadi abuse bahkan excesive power, yang tidak dapat dikontrol, ujungnya korbannya adalah rakyat. Apalagi kalau masih banyak di tubuh Polri oknum-oknum yang tidak profesional dan menjadi alat politik tertentu, dan sekali lagi masalah terorisme memiliki spektrum yang luas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement