Selasa 15 May 2018 01:00 WIB

Luluh Lantaknya Sistem Keamanan Kita

Suburnya teror di suatu negeri membuktikan minimnya keamanan dan pengamanan.

Nindira Aryudhani
Foto: dok. Pribadi
Nindira Aryudhani

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nindira Aryudhani *)

 

Kasus bom kembali menyeruak. Seperti hendak ambil bagian dalam hiruk pikuk isu nasional. Mulai dari beberapa hari yang lalu ketika ada kerusuhan di Mako Brimob. Bagaimana mungkin lembaga sementereng Brimob bisa kalah oleh napi teroris? Padahal anggota Brimob di Mako, jumlahnya pasti banyak dan mereka pasti mahir menggunakan senjata. Jika diklaim bahwa perusuhnya adalah napi teroris berikut senjata-senjata tajam yang ditemukan, bagaimana mungkin lembaga sekelas Brimob bisa kecolongan akan masuknya senjata-senjata semacam itu? Cobalah berpikir dengan akal sehat. Ada yang janggal rasanya.

Kemudian selanjutnya teror bom di gereja Surabaya baru-baru ini, juga mengerucutkan kembali opini terorisme. Ditambah, terjadinya menjelang bulan suci Ramadhan. Sungguh pola yang sama. Bom itu kalau tidak menjelang Ramadhan, ya menjelang Natal dan Tahun baru. Berbagai pihak mengecam. Jelas. Karena terorisme adalah tindakan tak beragama. Meski selalu mengkambinghitamkan Islam. 

Pelakunya sering disebutkan berjenggot, bercadar atau berhijab. Yang seperti ini langsung saja diidentikkan pada Islam. Tapi yang berkepala pelontos seperti Ashin Wirathu dan yang bersanggul seperti Aung San Suu Kyi dalam pembantaian warga muslim Rohingya di Myanmar, tidak nampak populer sebagai teroris. Kendati tindakannya jelas-jelas tersimpul pada terminologi teroris.

Namun demikian, pernahkah kita coba berpikir bahwa adanya kasus-kasus teror bom semacam ini justru menunjukkan buruknya sistem keamanan dalam negeri kita? Lembaga-lembaga berisi aparat berkelas mentereng seyogyanya sementereng aksinya. Jika dengan mudah ‘dikalahkan’ oleh teroris, tentu kredibilitas lembaga tersebut jadi patut dipertanyakan. Tapi nyatanya, alih-alih mem-perppu-kan sistem keamanan agar lebih kredibel, pemerintah melalui Menko Polhukam malah lebih memilih menyatakan perlunya revisi UU Anti Terorisme.

Para pejabat harus sadar bahwa rakyat sudah makin pintar. Counter terorisme sudah masyhur sebagai agenda global yang basah, sarat dana, dan pasti memfitnah Islam. Sementara lihatlah, pembantaian umat Islam di Palestina dan Rohingya, hanya disebut isu kemanusiaan. Padahal, itu jelas genosida yang secara terminologi lebih tepat disebut terorisme itu sendiri.

Sedikit mundur ke belakang, ketika di dalam negeri ramai pembunuhan ustadz dan ulama. Pelakunya mengintai beberapa hari sebelumnya, mengapa yang demikian tidak disebut terorisme padahal jelas pelakunya menebar teror? Korban yang meninggal mengalami penganiayaan, tapi alasan penganiayaan hingga korban meninggal tak diketahui dengan jelas. 

Giliran pelaku sudah ditangkap, disebutnya sebagai orang gila agar kebal hukum. Lagi-lagi, ini sebuah kejanggalan akan sistem keamanan di dalam negeri. Yang seolah-olah ada standar ganda. Tanpa mengurangi rasa empati kepada korban bom Surabaya, bagaimana pun ada satu hal yang harus kita sadari bersama. Yakni, jika korban teror itu ustadz/ulama, maka pelakunya orang gila. Dan jika korbannya teman-teman yang non muslim, maka pelakunya disebut Islam radikal. Duh, terlalu sesat logika.

Tapi yang miris dari semua itu, suburnya teror di suatu negeri telah membuktikan bahwa kondisi negeri itu minim keamanan dan pengamanan. Minimalisasi ini bisa karena kredibilitas lembaga keamanan dan pengamanan dalam negeri yang tidak berpihak kepada rakyat. Artinya, rakyat masih sering menjadi korban teror. Apa gunanya ada lembaga kementerian politik, hukum, dan keamanan jika kasus teror masih marak? Tidakkah justru negeri ini benar-benar luluh lantak jika sistem keamanannya minimalis?

Dan hendaklah kita tidak alpa, salah satu bentuk kedaulatan bagi sebuah negara yang bervisi mandiri adalah aspek keamanan dalam negeri. Karena itu, jika di tengah-tengah masyarakat banyak kasus teror, maka bisa dipastikan negara yang bersangkutan adalah negara yang rapuh dari dalam.

 

*) Relawan Opini dan Media, Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur, E-mail: [email protected]; [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement