Senin 14 May 2018 05:07 WIB

Terorisme Keluarga dan Ekspalanasi Atas Teror Bom Surabaya

Ilmu pengetahuan terkejut atas adanya fenomena terorisme keluarga atas bom Surabaya

Personel penjikan bom (Jibom) bersiap melakukan identifikasi di lokasi ledakan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Ngagel Madya, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5).
Foto: M RIsyal Hidayat/Antara
Personel penjikan bom (Jibom) bersiap melakukan identifikasi di lokasi ledakan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Ngagel Madya, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5).

Oleh: Al Chaidar*

photo
Pengamat terorisme Al Chaidar.

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

[Qur’an surah at-Tahrîm/66:6]

Dunia dikejutkan oleh bom bunuh diri yang dilakukan oleh satu keluarga di Surabaya dan Sidoarjo. Ledakan terjadi di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya Utara, Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro 146 dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Jalan Arjuna.

Dunia tersentak oleh fenomena aneh yang tak terjelaskan oleh teori manapun tentang sikap radikal yang diambil oleh sebuah keluarga, bersama-sama melakukan bunuh diri di tempat yang dipersepsikan sebagai tempat kafir.

Pemilihan target gereja menunjukkan betapa ideologi Wahabi tak menghargai nilai kemanusiaan. Ledakan bom di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro Surabaya, Jawa Timur, diperkirakan terjadi sekitar pukul 07.45 WIB. Pelaku diduga seorang ibu yang membawa dua anak usia di bawah lima tahun (balita). Ketiganya tewas seketika di lokasi kejadian.

Semua serangan teroris biasanya tak melibatkan anak-anak balita sebagai prajurit pelaku perang sektarian terorisme. Tak terpikirkan bagaimana pada awalnya seorang ibu dengan menggandeng dua orang anak usia balita memaksa memasuki ruang kebaktian di GKI Jalan Diponegoro Surabaya pada sekitar pukul 07.45 WIB.

Saat itu kebaktian di GKI Jalan Diponegoro Surabaya belum dimulai. Menurut jadwal, kebaktian akan berlangsung pada pukul 08.00 WIB. Ibu dan dua anaknya yang berupaya masuk ke ruang kebaktian ini sempat dihalau oleh seorang sekuriti di pintu masuk GKI Jalan Diponegoro Surabaya, sebelum kemudian ketiganya meledakkan diri di halaman gereja.

Sementara ledakan yang terjadi di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jalan Raya Arjuno, diduga berasal dari bom mobil. Bom mobil terjadi di halaman gereja dengan cara menabrakannya di pintu. Tiga lokasi ledakan itu menurut data kepolisian, terjadi tepat di depan Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, GKI Diponegoro di Jalan Raya Diponegoro, dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno.

Mereka sekeluarga ingin masuk surga barengan, sebuah cita-cita eskatologis yang sangat luar biasa. Terorisme memang sebuah pilihan strategi kaum ‘milenarian’ dalam memerangi sekulerisme, liberalisme, dan kapitalisme, serta sosialisme. Kaum millenarian sangat percaya akan kehidupan setelah mati yang lebih baik bagi siapa saja yang berjuang untuk agama-Nya. Hanya saja mereka mempersepsikan metode berjuang yang salah.

Belum lagi usai duka akibat teror bom di tiga gereja di Surabaya, ledakan kembali dilaporkan terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu malam 13 Mei 2018 yang juga dilakukan oleh sebuah terorisme keluarga. Ledakan terjadi di sebuah rusunawa di Desa Wonocolo, Kecamatan Taman. Tepatnya di lantai 5 kamar No. B2.

Bangunan permukiman tersebut berada di belakang Polsek Taman Sidoarjo. Serangan terorisme keluarga ini sangat kecil pengaruhnya; bahkan tak mampu meruntuhkan kapitalisme, sekulerisme dan demokrasi yang selama ini mereka benci.

Melihat kejadian-kejadian bom yang dilakukan oleh keluarga, maka secara Antropologis harus kita lihat apa yang menggerakkan keluarga ini untuk melakukan bom bunuh diri sambil menyerang orang-orang yang berlainan agama dengan mereka.

Dalam bibliografi antropologi, terorisme keluarga adalah hal yang baru. Meskipun dalam sejarah pernah terjadi situasi kekecewaan dan sakit jiwa pasca perang di Jerman pasca Nazi tahun 1944 dan di Aceh pasca Perang Aceh-Belanda tahun 1879, namun keduanya berbeda spektrum dalam hal bunuh diri sekeluarga pasca perang.

Apa yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo hari ini adalah sebuah serangan, sebuah pertempuran kecil yang dimainkan oleh keluarga-keluarga yang sangat bahagia, memiliki properti yang lumayan berkecukupan, namun melakukan serangan bom bunuh diri secara sadar.

Tak terbayangkan bagaimana keluarga ini mengorbankan anak-anaknya sendiri yang lucu-lucu dan menggemaskan dalam sebuah serangan terhadap tetangga mereka sendiri yang selama ini tak memusuhi atau menyerang mereka.

Tidak ada ‘kafir harbi’ (kaum non-muslim yang penuh pertikaian) di Surabaya dan Sidoarjo. Tidak ada setting situasi perang saudara seperti di Suriah dan Irak atau di Ambon, Ternate (tahun 2000) atau di Poso.

Eksplanasi apakah yang bisa diberikan oleh ilmu pengetahuan atas fenomena yang sangat mengejutkan ini?

 

*Al Chaidar, pengamat terorisme dan dosen Departemen Antropologi,

Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement