Sabtu 21 Apr 2018 04:00 WIB

"Kartini" Berbikini di Dunia Otomotif

Tradisi 'lady car/bike wash’ menempatkan perempuan pada kasta rendah

Reiny Dwinanda
Foto: istimewa/doc pribadi
Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Reiny Dwinanda*

Jika Raden Ajeng Kartini hidup di masa kini, apa kira-kira komentarnya ketika mendapati kota kelahirannya, Jepara, menjadi sorotan nasional gara-gara pertunjukan tarian erotis di pantai tempat namanya diabadikan? Hatinya pasti hancur berkeping-keping.

Lebih dari itu, Kartini pasti akan bergerak, berbuat sesuatu. Warga Jepara, Jawa Tengah, juga tidak diam. Akhir pekan lalu (15/4), mereka menumpahkan emosinya ke jalan. Warga berdemonstrasi menentang pornoaksi di kotanya.

Insiden itu menjadi tamparan keras bagi warga Jepara, terlebih menjelang peringatan Hari Kartini. Alih-alih mengedepankan nuanasa otomotif, perayaan hari jadi klub motor pada Sabtu (14/4) itu justru mempertontonkan tarian erotis oleh penari berbikini yang memainkan lakon "cuci motor".

Belum lagi reda pembicaraan tentang pornoaksi di Jepara, kasus lain terkuak di Batam. Kejadiannya juga berlangsung di hari yang sama, saat umat Islam memeringati Isra Mi'raj. “Pesta Rakyat” yang diselenggarakan ormas dan klub motor di halaman kantor Pemerintah Kota Batam itu ditingkahi dengan kehadiran penari berpakaian minim dengan goyangan sensual.

Dalam kedua kasus tersebut, kinerja polisi patut diapresiasi. Aparat bergerak cepat dan tersangka pun telah ditetapkan. Mereka terjerat pasal 33 dan pasal 34 Undang-Undang nomor 44/2008 tentang Pornografi.

Masalahnya selesai? Tentu tidak. Seperti yang diakui oleh salah satu tersangka yang tak lain ialah panitia acara di Jepara, acara semacam itu bukan kali pertama digelar.

Keberadaan “lady car/bike wash” jamak di acara otomotif, baik yang digelar agen tunggal pemegang merek maupun komunitas. Itu pula yang tampak di video viral di Banyuwangi pada awal April lalu.

Rentetan kejadian tersebut merupakan fenomena gunung es kasus pornoaksi di Indonesia, khususnya di dunia otomotif. Selama ini, atraksi “lady car/bike wash” seolah aman-aman saja dari jerat hukum. Bahkan, di gelaran otomotif terbesar, Indonesia International Motor Show (IIMS), “lady car/bike wash” juga pernah dihadirkan oleh peserta pameran.

Pemandangan yang khas lainnya di IIMS ialah kehadiran perempuan dengan pakaian yang menunjukkan lekuk tubuh sebagai "pemanis" mobil, motor, ban, ataupun aksesoris ototmotif yang ditawarkan ke publik. Mereka disewa sebagai sales promotion girl.

Sebagai perbandingan, mari kita tengok pentas Formula 1. Sebelum musim balap 2018, Liberty Media selaku pemilik F1 memutuskan tradisi panjangnya terkait "grid girls".

Para “grid girl” mulai muncul di dunia balap sekitar tahun 1960.  Kini, F1 mencari cara untuk menyesuaikan bisnisnya agar lebih sesuai dengan abad 21.

Kebijakan itu menuai pro dan kontra. F1 menganggap "grid girls" tidak sesuai dengan bisnis era modern. Di lain sisi, promotor F1 di Rusia dan Monako menentang ide menggantikan gadis-gadis pemegang nomor grid dengan “grid kids”. Mereka tak suka dengan gagasan yang sudah lebih dulu dipraktikkan di pertandingan sepakbola tersebut.

Bagaimana dengan kita? Menyedihkan memang ketika mengetahui tarian seperti yang diperagakan para “lady car/bike wash” itu telah menjadi pemandangan biasa di sana-sini, di muka umum, dan bahkan di hadapan anak-anak.

Melestarikan tradisi menghadirkan “lady car/bike wash” bukan saja menunjukkan peran dunia otomotif dalam mendegradasi moral anak bangsa, namun juga mempromosikan kegiatan melawan hukum.

Atraksi itu juga menempatkan perempuan pada kasta terendah, sebagai objek untuk dieksploitasi. Betapa tidak, fokus acara sesungguhnya bukanlah di pencucian kendaraan bermotor, melainkan pada tubuh perempuan.

Industri otomotif sebenarnya masih punya banyak cara lain untuk menggoda calon konsumen agar tertarik dengan produknya. Mengapa tak melangkah lebih maju dengan membuat promosi yang bisa merangkul kalangan yang lebih luas dan lebih mendidik masyarakat?

Di lain sisi, mata rantai objektifikasi dan komodifikasi tubuh perempuan  tidak mungkin terputus jika pihak sebelah saja yang dituntut untuk berubah. Perempuan pun harus tahu cara menghargai dirinya sendiri sehingga semakin sempit celah bagi siapapun untuk mengeksploitasi dirinya.

Indonesia tak mungkin seperti Rusia dan Monako dalam memandang “grid girls”. Respons Bupati Jepara Ahmad Marzuqi dalam melihat fenomena “lady car/bike wash” cukup mewakili semangat masyarakat luas. Ia mengutuk insiden tersebut dan mengategorikannya sebagai tindakan amoral dan merendahkan harkat perempuan. Marzuqi pun memerintahkan aparat untuk lebih ketat dalam memberikan izin kegiatan agar kejadian serupa tak terulang.

Selain norma moral, norma hukum di Indonesia pun sudah jelas soal itu. Masih mau coba-coba? Bersiaplah, hukum tentang pornografi membayangi dengan ancaman 10 tahun penjara.

Selamat Hari Kartini!

 *Penulis adalah wartawan Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement