Kamis 19 Apr 2018 00:30 WIB

Skandal Facebook dan Kebingungan Kongres

Skandal itu mengajarkan betapa pentingnya data dan informasi dalam dunia saat ini.

Pradana Mahasiswa Pascasarjana UI
Foto: dok. Pribadi
Pradana Mahasiswa Pascasarjana UI

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Pradana WH *)

Baru-baru ini Mark Zuckerberg sebagai pemilik Facebook dipanggil kongres Amerika Serikat dan menjalani sesi tanya jawab lebih dari 10 jam. Pemanggilan ini terkait dengan adanya dugaan Facebook atas penjualan data dan informasi dari penggunanya secara tidak sadar. Pemanggilan Zuckerberg ke hadapan kongres adalah buntut dari Skandal “Cambridge Analytica” yang disinyalir mengambil 50 data pengguna facebook  untuk dijual dan dipergunakan dalam kampanye politik Presiden Trump.

Cara yang dilakukan oleh Cambridge Analytica adalah dengan keterlibatan Steve O Bannon. Bannon membuat permainan psikologi yang memetakan psikologi pemilih politik dalam pemilu yang mengantarkan Trump menjadi pemenang. Permainan ini membutuhkan pemainnya untuk log in menggunakan Akun Facebook yang meminta persetujuan untuk mengakses data dari si pemain.

Namun ternyata, aplikasi dari pihak ketiga ini mampu mengakses informasi dari relasi pertemanan si pemain dan mengumpulkannya menjadi peta kekuatan politik yang berkontribusi dalam hiruk pikuk Pemilu 2016. Skandal ini melebar hingga adanya dugaan keterlibatan Rusia dan dugaan Facebook di bawah Zuckerberg memiliki tendensi bahkan sudah pernah menjual data pengguna Facebook untuk hal lain yang melanggar hukum.

Jika Anda menonton sidang tanya jawab antara Zuckerberg dengan kongres, ada hal menarik yang sangat terlihat nyata. Ternyata, para ahli hukum dan anggota Kongres Amerika Serikat masih lah belum paham dengan apa itu media sosial seperti Facebook.

Pertanyaan–pertanyaan dasar yang memusingkan bagi Zuckerberg seperti “bagaimana Anda bisa mendapatkan uang dari bisnis yang penggunanya gratis?” hingga “apakah Facebook sudah menanyakan kepada para penggunanya jika ada pihak ketiga atau aplikasi yang mau menggunakan datanya?” atau pun pernyataan yang membuat Zuckerberg hanya mampu melempar senyum masal seperti “Seharusnya Facebook membuat sebuah cara untuk penggunanya dapat memilih informasi apa yang dapat dibagikan (share) ataupun untuk memperingatkan penggunanya akan aplikasi ketiga”.

Pertanyaan yang ingin saya lontarkan kepada Anda, apakah Anda dapat merasakan apa yang Zuckerberg rasakan? Atau justru memang pertanyaan Kongres tadi mewakili rasa penasaran Anda?

Jika memang Anda sama penasarannya dengan kongres, maka akan saya bantu berikan jawabannya. Yang pertama bagaimana Facebook dapat mendapat uang dari penggunanya yang gratis? Zuckerberg menjawab dengan singkat “We run Ads, Senator”. Ya dengan Iklan. Bisnis Facebook adalah bisnis jaringan dan pemaparan informasi di dalam satu platform yang masif. Secara teknikal kita sebagai pengguna facebook adalah produk dari facebook.

Yang membuat banyak perusahaan berlomba–lomba dan dengan rela membayar jutaan dollar untuk memasang iklan di Facebook adalah kemungkinan sebuah iklan dan produk dapat dilihat jutaan orang penggunanya. Pemasangan iklan di Facebook dengan 2 milliar pengguna akan sangat efektif dibandingkan dengan platform lain seperti televisi misalnya. Lalu Zuckerberg sebagai gate keeper memasang tarif untuk volume dan engagement rate yang diinginkan.

Untuk pertanyaan kedua dan pernyataan lanjutannya Zuckerberg hanya menjawab “I believe you already have the ability to do that, Sir”. Facebook seperti juga perusahaan digital lain selalu memasukan Terms and agreement Box. Kotak ini memberikan penjelasan tentang; apa yang dapat dan tidak dapat anda lakukan dalam platformnya, izin untuk memberikan data dan informasi anda pada pihak lain, hingga risiko yang Anda dapatkan jika tetap melanjutkan penggunaan Facebook apapun bentuknya. Kotak yang acapkali kita abaikan dan langsung mengetuk kata yes I agree. Dan nampaknya para senator ini sperti kebanyakan kita, tidak pernah membaca secara seksama apa yang ada di dalam terms and agreement box.

Kebingungan–kebingungan dari kongres yang memawakan waktu hingga 10 jam dan tidak mendapatkan apa–apa memberikan kita gambaran bahwa teknologi informasi ini, walaupun telah masuk ke kehidupan sehari-hari dari masyarakat Amerika dan Global. Namun, pengetahuan teknis pada media semacam ini masih lah jauh di level yang rendah. Dan penanganan secara hukum Amerika Serikat tidak akan mungkin bisa dilakukan.

Mengambil pelajaran dari skandal Facebook khusus untuk Indonesia

    .

“It’s clear now that we didn’t do enough to prevent these tools from being used for harm as well. That goes for fake news, foreign interference in elections, and hate speech, as well as developers and data privacy. We didn’t take a broad enough view of our responsibility, and that was a big mistake. It was my mistake, and I’m sorry. I started Facebook, I run it, and I’m responsible for what happens here.” – Mark Zuckerberg.

Dalam tanya jawab dengan kongres, Zuckerberg mengakui, adanya kesalahan dari Facebook dalam menjaga kerahasiaan dan informasi pribadi penggunanya. Walaupun Cambridge Analytica adalah pencuri data dalam skandal ini, namun Facebook seharusnya dapat lebih menjaga informasi dari para penggunanya. Dan Zuckerberg juga menyadari adanya kontribusi Facebook dalam pemilu Amerika Serikat tahun 2016 berkenaan dengan campur tangan asing, dan ujaran kebencian yang juga berimbas dari skandal ini.

Amerika Serikat memang dibangun dengan filosofi sebagai tempat bernaung yang aman dari para Individunya. Nilai–nilai keamanan pribadi yang bersifat individualistik sangatlah kental dalam cara mereka berinteraksi dan menjalani hidup. Dengan latar belakang sejarah mereka yang merupakan keturunan para pelaut dari Eropa yang mencari tempat aman dan membangun City upon a hill atau panutan dunia sangatlah gamblang terasa. Maka apapun yang mengancam kebebasan Individu akan menjadi perhatian yang besar.

Begitu pula dengan skandal Facebook ini. Adanya fakta bahwa data mereka dipakai oleh korporasi–korporasi besar untuk memasarkan produknya, juga bagai mana data ini ternyata dapat disalah gunakan merupakan sebuah ancaman yang bertentangan dengan nilai hidup mereka. Ditambah lagi dengan ketidak tahuan para penggunanya tentang cara kerja sosial media yang ironis, maka kepastian hukum sebagai jalan mereka mencari keamanan sangatlah dibutuhkan.

Dan sebagai pengingat, sistem hukum Amerika memiliki cara untuk memakai kasus sebelumnya sebagai preseden untuk memustuskan keadilan hukumnya. Zuckerberg dengan Facebook-nya kali ini secara teknis memegang nasib dari industri Tech Amerika secara menyeluruh.

Skandal Facebook ini mengajarkan kita tentang betapa pentingnya data dan informasi dalam dunia saat ini. Akan sangat disayangkan misalnya ketika kita berbicara mengenai kasus E-KTP, kita selalu tertahan dalam diskursus “berapa triliun rupiah kerugian negara akibat pengadaan E-KTP”. Ataupun diskusi publik mengenai “siapa saja yang mendapat bagian dari uang pengadaan E-KTP”. Padahal, kumpulan ratusan juta data yang terlunta–lunta dalam proses E-KTP memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari sekedar uang triliunan rupiah.

Bayangkan dengan 50 juta data saja Cambridge Analytica dapat memetakan suara politik dan strategi yang tepat untuk mendapatkan suara. Jika 250 juta data rakyat Indonesia jatuh di tangan yang tidak bertanggung jawab baik di dalam, maupun luar negeri, maka potensi kerusakan apa yang bisa terjadi sungguh di luar imajinasi.

Selanjutnya sesi tanya jawab Zuckerberg mengingatkan kita tentang betapa pentingnya membaca segala hal, khususnya di dunia Teknologi serta digital. Berapa banyak dari Anda yang membaca isi dari terms and agreement box dari Facebook, Instagram, Twitter atau platform lainnya? Begitu pula berapa banyak dari kita yang mengindahkan himbauan bahaya(warning) dari para gate keepers seperti Facebook maupun Google, ketika memasuki situs web yang beresiko mengambil data anda? Literasi Digital bagi rakyat Indonesia yang memiliki penetrasi digital terbesar kedua di dunia (hootsuite Digital Report 2018) bukan hanya menjadi hal yang penting. Tetapi sebuah kewajiban yang mutlak. Dan hal ini bisa dimulai dengan membaca secara seksama.

Jadi sebagai pengguna Facebook terbanyak nomor 2 di dunia, perlukah kita memperhatikan skandal ini? Tentu saja perlu. Tetapi, perlu diingat bahwa Indonesia bukanlah Amerika Serikat. Kita tidak memiliki nilai individual yang sekental mereka. Komunitas dan jejaring tempat bercerita adalah nilai yang jauh lebih dominan dalam masyarakat kita.

Sebelum maraknya ujuran kebencian hingga penyebaran berita palsu, hingga opini kontroversial yang tidak bertanggung jawab, Facebook di Indonesia adalah tempat saling bercerita yang aman dan sangat bersahabat. Selain itu Pengguna Facebook di Indonesia bukanlah menjadi target dari korporasi triliunan dolar. Facebook di Indonesia menjadi tempat menaikan ekonomi kecil dan menengah dari Indonesia sebagai situs toko online yang mumpuni. Walaupun telah ada berbagai marketplace seperti Tokopedia atau BukaLapak, tetapi penggunaan Facebook seperti ini di Indonesia masih penting.

Karena ini semua, jika Anda menggunakan Facebook untuk bersosialisasi, untuk bercerita tentang kehidupan yang bermanfaat, untuk menyebarkan hal-hal yang bersifat menyenangkan maupun informatif, menyebarkan berita yang sudah teridentifikasi, serta untuk menjalankan kebutuhan perdagangan mikro sehari-hari, maka Anda telah menjadi pengguna sosial media yang baik. Namun, jika Anda menggunakan Facebook untuk melempar opini, saling menyerang, menyebarkan ujaran kebencian, maupun menyebarkan berita yang belum teridentifikasi apalagi hoaks, maka Anda belum siap bermain sosial media.

 

Terakhir dan yang paling penting dari semua, jika Anda masih enggan, ataupun malas untuk membaca teks dengan seksama dalam bentuk platform apapun di dunia digital, maka Anda belum siap untuk memasuki era digital ini. 

 

*) Mahasiswa Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement