Ahad 08 Apr 2018 04:00 WIB

Perenungan Tanpa Sukma

Sukmanya terjebak pada kebencian atas agama yang dianutnya...

Ady Amar
Foto: dok. Pribadi
Ady Amar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar *)

Gegap gempita acap hadir di negeri ini, bahkan sampai batas hingar bingar. Tidak pada hal-hal yang besar saja hingar bingar itu muncul, tetapi pada hal-hal yang sederhana dan sepele pun bisa terjadi. Saat Raisa Andriana, penyanyi Pop R&B, yang kecantikannya nyaris sempurna, menikah dengan lelaki bernama Hamish Daud, aktor dengan ketampanan yang nyaris sempurna pula, maka hari pernikahannya itu di media sosial menjadi hingar bingar dengan #Hari Patah Hati Nasional... Lucu...

Namun, hari-hari ini, hingar bingar terjadi lagi, membesar, dan bahkan menimbulkan kemarahan atas sebuah puisi yang berjudul Ibu Indonesia karya Sukmawati Soekarno Putri. Bagaimana mungkin sebuah puisi mampu membuat kemarahan umat (Islam) atasnya. Puisi yang dibuatnya itu melecehkan simbol-simbol Islam, yang tentu itu hal yang disengajanya. Bagaimana mungkin tidak disengajanya, karena puisi dibuat tentu melalui perenungan panjang. Kata demi kata yang tertuang dalam bait-bait puisi adalah hasil olah pikirnya.

Apa pun hasil dari puisinya, bermutu, biasa-biasa saja, atau bahkan buruk sekalipun, diolah dari proses yang sama, proses perenungan. Simbol-simbol Islam yang disebutnya, dalam puisi Ibu Indonesia, menyangkut cadar dan azan, yang dengan entengnya dibenturkan dengan budaya, bahkan budaya lokal, adalah pendekatan yang salah dan dampaknya mestinya sudah dipikirkannya.

Puisi apa pun bentuknya haruslah sesuatu yang mencerahkan, atau setidaknya memberi pemahaman dengan narasi yang estetis. Menilik judul puisi yang dibuatnya, Ibu Indonesia, mestinya judul dan isi nyambung, misal tentang kelebihan dan keanggunan ibu Indonesia. Namun, tidak demikian dengan puisi 'Ibu Indonesia', justru isinya membenturkan syariat Islam dengan budaya. Satu hal yang tidak patut disampaikan dan bernuansa anti kebinekaan.

Memakai cadar bagi Muslimah, sebagaimana perempuan Jawa memakai sanggul adalah pilihan asasinya. Sedang panggilan azan tentu tidak bisa dihadap-hadapkan dengan kidung. Satu hal yang berbeda. Dan karenanya, umat menjadi marah atas isi puisi yang menghina simbol-simbol sakral agama. Sukmawati sebagai penyair, dan bahkan menyebut diri budayawati, memasuki wilayah tabu yang tidak semestinya dimasukinya.

Sukmanya terjebak pada kebencian atas agama yang dianutnya, meski pengakuannya dia tak mengenal syariat agamanya. Maka perdebatannya menjadi panjang, bagaimana mungkin orang yang tidak mengenal syariat lalu mencoba membanding-bandingkannya dengan budaya sempit lokal. Inilah absurditas yang ditampakkannya.

Karenanya, berbagai tanggapan dari penyair papan atas Indonesia, bahwa puisi yang ditulisnya tidak masuk kriteria untuk dibicarakan, bahkan, maaf, amat buruk. Penyair yang baru belajar menulis puisi sekalipun tidak menulis puisi seburuk itu. Di usia yang sudah tidak muda lagi, Sukmawati gagal menjadi penyair yang baik, tapi justru mampu menebar “teror” pada umat beragama (Islam). Maka, kemarahan umat dilampiaskan dengan berbagai cara konstitusional, meski akhirnya Sukmawati meminta maaf dengan bonus tangisan.

Respons umat Islam atas puisi Ibu Indonesia menyasar semua lapisan. Seniman/wati pun tidak kalah bersemangat menuliskan dan meluruskan puisi Ibu Indonesia. Nadanya penuh kemarahan meski tetap terukur. Banyaknya puisi kontra puisi Sukmawati itu jika dikumpulkan bisa jadi buku Antologi Puisi tersendiri. Begitu pula esai-artikel-opini, tidak sedikit pula hadir merespons puisi Ibu Indonesia, termuat di banyak media khususnya media sosial dengan berbagai sudut pendang penyampaian. Jika dikumpulkan, ini pun bisa dibukukan sebagai Bunga Rampai tersendiri.

Ada kisah menarik di periode awal Islam yang bisa jadi perenungan kita bersama, belajar dari kisah Ali Radhiyallahu Anhu. Suatu ketika seorang Yahudi melecehkan Islam. Ali tidak banyak bicara lalu membantingnya dan mencabut belatinya untuk dihujamkan. Apa yang terjadi? Si Yahudi itu malah meludahi wajah Ali, dan seketika Ali melepaskannya dan urung menghabisinya. Para Sahabat Radhiyallahu Anhu yang menyaksikan kejadian itu, menanyakan padanya, kenapa Ali melepasnya dan justru setelah dia diludahi. Jawab Ali: Saat agama dinista aku tidak tahan untuk tidak menghabisinya. Tapi setelah aku diludahinya, aku lepaskan dia, oleh sebab aku tidak ingin kemarahanku itu karena menyangkut pribadiku terhina. Maknanya adalah Ali Radhiyallahu Anhu marah saat agama dilecehkan, tapi jika menyangkut masalah pribadi, dia dengan ikhlas melepasnya.

Karenanya, gegap gempita umat dari seluruh lapisan dengan semangat yang sama, seolah memiliki satu pandangan yang sama, bahwa agama sebagai keyakinan sakral jangan dibuat bahan olok-olok yang tak semestinya. Umat akan membela agamanya dengan tanpa dikomando oleh kepentingan-kepentingan sempit. Umat Islam digerakkan oleh Suara Tuhan bagian dari keimanannya. Sebagaimana kisah Ali Radhiyallahu Anhu di atas, bahwa iman itu menembus dan melampaui batas serta waktu yang tak terukur.

Biarlah kasus ini menjadi pelajaran, tidak cuma bagi Sukmawati, tapi juga bagi Ade Armando, Abu Janda, dan yang lainnya yang kerap memperolok simbol agama. Tidak boleh ada pihak yang “memaksa” para pelapor penistaan agama itu agar mencabut laporannya. Menghimbau sih boleh-boleh saja, tapi memaksa adalah dua hal berbeda. Himbauan dari Ketua MUI KH Ma’ruf Amin, agar para pelapor mencabut laporannya tidak perlu jadi perdebatan internal di kalangan umat, yang justru akan merugikan...

*Pemerhati masalah sosial

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement