Jumat 06 Apr 2018 19:56 WIB

Mendemokratisasikan Pikiran, Mengendalikan Lisan

Anugerah kebebasan semestinya menjadi ruang-ruang dialog memperjuangkan yang baik

Tauchid Komara Yuda
Foto: dokpri
Tauchid Komara Yuda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Tauchid Komara Yuda *)

Baru-baru ini, Sukmawati Soekarno Putri menjadi viral di linimasa media sosial lantaran puisinya berjudul 'Ibu Indonesia' yang dianggap menyinggung ajaran Islam. Beberapa pihak lainnya menilai, apa yang dilakukan Sukmawati bukan bermaksud menista, melainkan semata-mata ekspresi perasaan subjektif pengarang. 

Meskipun ekspresi subjektif merupakan asasi dan bagian dari kemerdekaan berpikir, namun demikian, kita hidup bukan sekadar menjadi individu dari kerumunan. Bagaimanapun ada common value yang membuat benar atau salahnya setiap tindakan menjadi tergantung pada konteksnya. 

Sebagaimana peribahasa dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.  Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas, rasanya perlu mengulik sedikit bagaimana demokrasi dalam imajinasi kebangsaan. Terutama, dalam kaitannya dengan sebab mengapa agama menjadi begitu penting dalam ruang publik Indonesia.

Harus dipahami bahwa demokrasi Indonesia memiliki jalur historis yang sama sekali berbeda dengan demokrasi Barat. Di Barat, demokrasi lahir untuk merespons kekuasaan teokratis yang dianggap membatasi hak-hak sipil dan politik warga negara. Hal inilah yang kemudian menjadi asal usul munculnya paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara.

Sementara di Indonesia sebaliknya, demokrasi lahir bukan untuk merevisi kekuasaan teokratik. Gagasan demokrasi diprakarsai para cendekiawan yang duduk bersama menyulam lima dasar berbangsa dan bernegara, yang lantas kita kenal sebagai Pancasila. Dalam Pancasila, terkandung dasar pemikiran tentang pentingnya nilai-nilai religiusitas dalam membangun nasionalisme. 

Ini telah menjadikan segala urusan kenegaraan, baik itu, politik, ekonomi, pembangunan dan sebagainya harus bersandar pada prinsip-prinsip nilai Ketuhanan sebagai yang utama. Lalu diikuti dengan kemanusiaan (humanity), persatuan (unity), demokrasi berbasis kemusyawaratan (democracy deliberatives), dan terakhir, keadilan sosial (social justice).

Para pendiri bangsa menyadari pentingnya nilai-nilai agama sebagai bagian dari pembentuk karakter bangsa yang korporatif, tidak melulu bersifat dogmatis, apalagi agitatif.  Perihal ini juga pernah ditulis Jürgen Habermas, sosiolog asal Jerman dalam bukunya, Ein Bewußtsein von dem was fehlt: “di dalam demokrasi, suara hati umat beragama dapat menjadi kekuatan kritis terhadap kekuasaan tiranis dan ketidakadilan sosial. Sebagaimana dipraktikan oleh civil right movement yang dipimpin pendeta Marthin Luther King Jr di AS, gerakan Solidarność di Polandia, dan people power movement di Filipina. Bukti itu menerangkan bahwa bagaimanapun pemerintahan demokratis membutuhkan legitimasi dari para warganya yang beriman” (Hadirman, 2015: 19).

Kendatipun begitu, tetap ada hal yang juga perlu diperhatikan sebagai konsekuensi logis dari menyatunya antara agama dan negara, apalagi dalam negara heterogen. Contohnya adalah sulitnya menyatukan penalaran keyakinan yang berbeda-beda ke dalam kesepakatan tunggal tentang kenegaraan. Maka dari itu, wujud kebebasan yang diberikan pada setiap orang-orang Indonesia harus dilekatkan tanggung jawab moral untuk menjunjung keyakinan sesamanya. Ini dimaksudkan agar demokrasi yang berlangsung dapat tetap berkolaborasi dengan nilai-nilai yang ada ditengah-tengah masyarakat, demi menjaga keberlangsungan kebinekaan yang kita idam-idamkan. 

Perkara tanggung jawab moral inilah yang semestinya menjadi dasar-dasar etika berperilaku: meskipun tidak ada batasan bagi seseorang orang berpikir, namun demikian ketika berada dalam ruang publik, kebijaksanaan seseorang akan diuji dengan kemampuannya untuk menempatkan diri. Mengingat sepandai-pandainya orang, ia dapat saja keliru. Akan tetapi, realitanya hanya sedikit saja orang yang menganggap perlu untuk mengambil tindakan untuk mencegah kekeliruan mereka (Mill, 2006). 

Ihwal inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah mungkin seorang Sukmawati Soekarno Putri tidak mengetahui konsekuensi yang akan diterimanya sebelum membacakan puisi tersebut? Rasanya tidak. Kalau begitu, lantas mengapa beliau tetap membacakan puisi kontroversialnya di hadapan publik? Apalagi kita mengetahui tahun lalu, mantan gubernur Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, baru saja tersangkut kasus penistaan agama akibat pidatonya yang dianggap melecehkan QS Al-Maidah: 51. 

Pengalaman Sukmawati ini barangkali cukup menjadi suatu pelajaran bahwa mendemokratisasi pikiran itu boleh, tapi mengendalikan lisan itu kewajiban.  Terutama bagi para pejabat dan aparatus pemerintahan, penghormatan atas nilai-nilai yang berada di dalam masyarakat harus menjadi yang utama dalam melayani masyarakat. Mengingat pemerintah bukanlah realitas yang terpisah dari masyarakat. Pemerintah adalah perwujudan diri masyarakat ke level yang lebih tinggi.

Bagi kita bangsa yang plural, anugerah kebebasan yang baru genap berumur 20 tahun semestinya dapat menjadi ruang-ruang dialog untuk memperjuangkan yang baik, sekaligus menguatkan imunitas persatuan bangsa. Bukan membuat individu menjadi gangguan untuk individu lain, apalagi sampai mempertajam friksi keberagaman  dan memantik konflik horizontal. 

 

*) Anggota Kaukus Aliansi Kebangsaan dan Asosiasi Peneliti di Institute for Democracy and Welfarerism

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement