Sabtu 31 Mar 2018 09:13 WIB

Menelanjangi Diri di Media Sosial

Justin Rosenstein, pencipta like Facebook justru khawatir akan dampak sosial media.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Asma Nadia

Dunia marah pada Facebook. Sekitar 50 juta akun disalahgunakan untuk memenangkan calon presiden Donald Trump pada pemilihan presiden AS 2017. Ini kedua kali penyalahgunaan internet diberitakan telah memengaruhi kemenangan sang presiden negara adikuasa, setelah sebelumnya sejumlah agen Rusia dikabarkan beraksi di dunia maya untuk memenangkan kampanye.

Tagar #deletefacebook viral di berbagai media sosial dan berdampak luas terhadap popularitas Facebook. Dalam waktu singkat beberapa tokoh terkenal dengan jumlah follower besar langsung menutup akun Facebook mereka.

Elon Musk pembuat mobil listrik Tesla dan pendiri SpaceX menutup akunnya yang memiliki 2,6 juta pengikut. Sebuah majalah populer dengan 25 juta pengikut turut menutup akunnya. Artis, tokoh, dan berbagai perusahaan besar mulai menutup akun mereka.

Kekayaan pendiri dan pemilik Facebook, Mark Zuckerberg turun 4,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp 67,5 triliun dalam sehari. Saham Facebook merosot tajam hanya dalam waktu sekejap. Beberapa pakar menganalisis setidaknya nilai saham Facebook tergerus hingga 80 miliar dolar AS (sekitar Rp 1.100 triliun) sejak pemberitaan tersebut.

Ketakutan pasar mulai menular pada saham-saham teknologi lainnya dan ikut memangkas kekayaan para pemiliknya. Sebut saja, Jeff Bezos pemilik amazon.com, ikut kehilangan 2,1 miliar dolar AS. Sementara pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin, masing-masing kehilangan kekayaan 1,5 miliar dolar AS. Semua dikaitkan dengan kebocoran Facebook.

Mengapa ini terjadi dan siapa yang paling patut disalahkan? Tentu saja Facebook ikut bertanggung jawab. Sekalipun sudah meminta maaf dan berjanji akan melakukan perbaikan, Facebook tetap harus membayar mahal.

Sebenarnya jika ditelusuri lebih dalam, Facebook tidak sepenuhnya bersalah karena perusahaan yang menyalahgunakan datanya adalah sebuah lembaga analisis politik, Cambridge Analytica, yang mencuri data melalui sebuah aplikasi kuis. Satu per satu peserta kuis diambil datanya dan dijadikan target kampanye.

Hanya saja, jika ditelusuri lebih jauh siapa yang bisa disalahkan, masing-masing pemilik akun juga mempunyai andil karena membuka dirinya untuk menjadi korban.

Kita telah menelanjangi diri sendiri di media sosial. Status-status seperti: Sedang jalan-jalan keluar negeri sekeluarga. Mumpung pembantu lagi pulang kampung. Tanpa sadar merupakan pengumuman ke publik, termasuk ke para kriminal: Rumah sedang kosong sebab tidak ada yang menjaga, silakan jika ingin merampok.

Atau status: Sejak tadi sendirian di kafe karena yang ditunggu belum juga datang. Sama dengan memberi tahu ke khalayak yang di antara mereka mungkin saja menyimpan kesal atau dendam terhadap kita. Update status tadi bisa diartikan bagi mereka yang berniat jahat: Kalau mau balas dendam sekarang waktu yang tepat.

Karena itu, sikap bijak dan waspada diperlukan saat menggunakan media sosial. Tetap lindungi diri dan privasi. Jangan terlalu terbuka, terlebih mengekspos diri, sebab tidak akan sulit mencari satu dua sosok jahat dari jutaan orang yang bebas menerobos jendela diri via media sosial.

Justin Rosenstein, pencipta tombol like Facebook pada 2007 justru khawatir akan dampak psikologis penggunaan jejaring sosial. Pria berusia 34 tahun itu mundur dari Facebook pada 2009 dan mencoba meminimalisasi penggunaan aplikasi medsos. Sean Parker, presiden pertama jejaring sosial terbesar itu, mengaku tak mau lagi mengakses Facebook dan media sosial yang lain. "Terlalu membuang waktu,” katanya.

Pada era teknologi ini memang semua serbamudah. Tidak hanya bagi kita, tapi juga bagi mereka yang berniat jahat untuk melakukan aksinya. Baru-baru ini puluhan akun bank dicuri secara elektronik. Peristiwa yang seharusnya menyadarkan kita untuk selalu menyimpan data hard copy selain data digital untuk berjaga.

Saya sendiri sampai sekarang masih aktif menggunakan Facebook, Instagram, atau media sosial lainnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan agar berbagai pihak secara membabi buta menutup atau memboikot, karena media sosial bila digunakan dengan optimal juga tidak sedikit manfaatnya.

Namun, waspada, termasuk membangun kehati-hatian anak-anak kita yang mungkin sangat lugu dan cenderung terbuka, terbawa arus media sosial diperlukan. Sebab pada akhirnya, semua keburukan media sosial akan menghampiri apabila kita membuka lebar-lebar pintunya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement