Selasa 27 Mar 2018 18:39 WIB

Bank Wakaf Mikro dan Political Will Pemerintah

Pengembangan wakaf di tanah air dapat lebih terarah dan terencana

Lisa Listiana
Foto: dokpri
Lisa Listiana

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lisa Listiana *)

Beberapa hari lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempublikasikan siaran pers terkait izin yang diberikan untuk sebanyak 20 Bank Wakaf Mikro. Meski inisiasi pendirian Bank Wakaf Mikro ini perlu diapresiasi dengan baik, agaknya terdapat beberapa hal yang masih perlu diklarifikasi. Potret peran political will (kehendak politik) pemerintah dalam pendiriannya pun menjadi menarik untuk digali, kaitannya dengan pengembangan wakaf dan ekonomi syariah di Indonesia dalam jangka panjang.

Berdasarkan publikasi resmi OJK, Bank Wakaf Mikro ini sejatinya adalah Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang ditujukan untuk memberikan akses permodalan secara lebih inklusif. Sasarannya adalah masyarakat di lingkungan pondok pesantren, dengan semangat untuk turut mengembangkan keuangan dan ekonomi syariah nasional.

Dana donasi yang terhimpun dijadikan sebagai modal, yang sebagian disalurkan dalam bentuk pembiayaan dan sebagian lainnya ditempatkan sebagai deposito di Bank Umum Syariah. Skema  pembiayaan  Bank  Wakaf  Mikro  adalah  pembiayaan  dengan pendampingan tanpa  agunan dengan nilai maksimal Rp 3 juta dan margin bagi hasil setara 3 persen. Sedangkan penempatan deposito dimaksudkan untuk memperoleh bagi hasil yang selanjutnya akan digunakan untuk membiayai beban operasional Bank Wakaf  Mikro.

Hingga pertengahan Maret 2018 tercatat tiga Bank Wakaf Mikro telah diresmikan secara langsung oleh Presiden. Ketiga Bank Wakaf Mikro tersebut adalah, Bank Wakaf Mikro KHAS Kempek di Cirebon yang diresmikan Oktober 2017, Bank Wakaf Mikro Al Fithrah Wava  Mandiri di Surabaya yang diresmikan 9 Maret 2018, dan Bank Wakaf Mikro An Nawawi Tanara di Banten yang diresmikan beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 14 Maret 2018.

Meskipun baru tiga yang diresmikan, namun OJK menyampaikan bahwa 20 Bank Wakaf Mikro sebenarnya telah  menyalurkan  pembiayaan  ke-2.784  nasabah  yang  tergabung  dalam 568 kelompok usaha (KUMPI). Total pembiayaan pilot project tersebut dilaporkan mencapai Rp 2,45 miliar.

Konsep Bank Wakaf Mikro, menurut hemat penulis, memang bagus. Hanya saja terkesan kurang merangkul otoritas yang berwenang di area tersebut. Berdasarkan UU Wakaf Nomor 41 tahun 2004, Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan lembaga independen yang memiliki mandat untuk mengembangkan perwakafan nasional. Otoritas lain yang juga memiliki kewenangan terkait wakaf di Indonesia adalah Kementerian Agama melalui Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf. Namun pada setiap berita terkait Bank Wakaf Mikro, tidak terdapat informasi mengenai koordinasi antara OJK dengan keduanya. 

Dari beberapa berita yang beredar, akad awal donasi untuk modal Bank Wakaf Mikro bukanlah wakaf. Tidak ada informasi tentang keterkaitan pihak yang memiliki otoritas dalam hal perwakafan di Indonesia dengan eksekusi Bank Wakaf Mikro. Jika memang demikian, mengapa lembaga ini menggunakan kata “wakaf”?

Tahun sebelumnya, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) telah menginisiasi konsep serupa. Ide awal namanya adalah Bank Wakaf Ventura. Namun kabarnya ICMI perlu mengganti nama karena regulasi tidak memungkinkan menggunakan nama "bank". Meski wacana peluncuran Wakaf Ventura oleh ICMI lebih dulu digulirkan dan ditargetkan eksekusinya tahun 2017, sampai saat ini gagasan tersebut belum terealisasi. 

Sedangkan Bank Wakaf Mikro yang diresmikan secara langsung oleh presiden, lebih dulu memperoleh izin dari OJK. Bahkan diperbolehkan menggunakan kata “bank” dan “wakaf”. Dari kasus ini, penulis melihat betapa besarnya peran political will dari pemerintah untuk mendorong terwujudnya gagasan ataupun program tertentu.

Berpenduduk mayoritas muslim, berdasarkan Global Islamic Finance Report 2017, posisi Indonesia dalam Islamic Finance Country Index justru turun dari peringkat keenam ke peringkat ketujuh. Skor Indonesia 23.98 kalah jauh dibandingkan negara tetangga Malaysia yang menduduki peringkat pertama dengan skor mencapai 79.25.

Kaitannya dengan besarnya political will yang dimiliki pemerintah, maka perlu dioptimalkan untuk mendorong lebih banyak gagasan dan program yang dapat mendorong akselerasi perkembangan keuangan dan ekonomi syariah di tanah air. Potensi yang ada di depan mata perlu didorong oleh political will yang diwujudkan dalam kebijakan yang tak hanya baik, namun juga bijak, sehingga mampu memberikan manfaat yang lebih luas.

Dalam konteks perwakafan di Indonesia, political will pemerintah dapat diarahkan untuk menginisiasi pembuatan Masterplan Pengembangan Wakaf Nasional. Alternatifnya, pemerintah dapat menindaklanjuti evaluasi permasalahan dan rekomendasi wakaf yang telah dipaparkan oleh BAPPENAS dalam Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (MAKSI). Dengan demikian, menurut hemat penulis, pengembangan wakaf di tanah air dapat lebih terarah dan terencana dalam jangka menengah dan jangka panjang. Koordinasi antar lembaga juga dapat lebih terjaga. 

Potensinya yang begitu besar, memerlukan dukungan dalam bentuk political will pemerintah untuk merealisasikan kebaikan-kebaikan dari wakaf. Inisasi Bank Wakaf Mikro merupakan satu langkah yang baik. Semoga dukungan pemerintah untuk memajukan perwakafan di Indonesia tidak hanya berhenti sampai di sini. Masih banyak agenda strategis yang perlu dilakukan untuk memajukan perwakafan, dalam rangka mendorong akselerasi pertumbuhan keuangan dan ekonomi syariah di tanah air. Wallahua’lam

 

*) Mahasiswi S3 Islamic Banking and Finance, International Islamic University Malaysia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement