Rabu 28 Mar 2018 00:03 WIB

Toleran dan Pancasilais yang Ngumpet

Semua pihak mestinya bersuara lantang menentang intoleran itu atas nama Panca Sila.

Ady Amar
Foto: dok. Pribadi
Ady Amar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar *)

Di tengah kesulitan, tantangan dan halangan, maka adalah biasa jika muncul para “ksatria” tangguh pembela nilai yang diyakininya menghantar pada kebaikan. Semua manusia akan menjadi “ksatria” pemberani jika nilai yang diyakininya itu terusik, dan nilai dalam konteks tulisan ini, adalah apa yang kita kenal dengan agama.

Agama adalah aturan yang mengikat para pengikutnya untuk patuh pada aturan-aturan yang dibangun lewat landasan teologis. Tidak boleh ada yang melanggar aturan yang telah ditetapkan. Aturan itu dipegangnya erat sebagai bagian dari kepatuhan pada Tuhannya.

Maka jangan coba-coba menawar peraturan Tuhan dengan tawaran-tawaran semu, dan itu melanggar aturan-Nya. Tidak boleh ada yang melanggar apalagi menistanya. Agama satu dengan lainnya tidak boleh intervensi dengan memasuki wilayah agama lainnya, melarang-larang pemeluk agama tertentu menjalankan syariat agamanya.

Negara di mana kita bermukim, punya aturan dalam memposisikan agama-agama yang ada dalam bingkai aturan saling menghormati. Negara menjaga jarak yang sama, berdiri sama rata tanpa ada pembeda antara mayoritas dan minoritas. Semua dalam perlakuan dan perlindungan yang sama.

Peran negara dalam menjaga harmonisasi itu harus ditampakkan dalam semangat keadilan. Negara menjadi wasit yang netral, berdiri di tengah tanpa membedakan mayoritas dan minoritas. Jika negara mampu menjadi wasit yang netral, menegakkan aturan sesuai konstitusi, maka sikap-sikap intoleran tidak akan mendapat tempat bersemai di negeri ini.

Toleransi menjadi intoleran, dan itu akan menuju pada disharmoni bangsa. Itulah bisa jadi jalan pertikaian antarumat beragama menemukan pijakannya. Kasus Ambon dan Poso, yang banyak memakan korban, belum hilang dalam ingatan. Menjadi bijak jika mau belajar dari sejarah kelam yang pernah terjadi untuk tidak mengulanginya.

***

Masjid Al-Aqsha, tentu bukan di Jerusalem, tapi ini ada di Sentani, Papua. Satu nama tapi beda tempat, namun sama-sama “menderita” di tengah sikap intoleran yang dilakukan oleh umat mayoritas di sana.

Kenapa dengan Masjid Al-Aqsha di Sentani itu? Beredar edaran dari Persatuan Gereja-Gereja Kota Jayapura (PGGKJ), yang berisi 8 poin “ujaran” intoleran. Bagaimana bisa gereja mengatur-atur bangunan masjid yang punya “otonomi” khusus untuk mengatur dirinya.

Di antara poin-poin intoleran itu, dua di antaranya, adalah agar suara azan menggunakan loudspeaker diarahkan ke dalam masjid, tidak keluar masjid. Azan adalah panggilan bagi muslim yang bermukim di sekitar masjid untuk mendatangi masjid dalam rangka shalat berjamaah. Poin yang lain, agar menara dan bangunan masjid, pembangunannya harus dibongkar, dimana bangunan masjid tidak boleh lebih tinggi dari bangunan gereja.

Filosofi azan itu memanggil umat Islam untuk shalat berjamaah. Bagaimana mungkin loudspeaker diarahkan ke dalam masjid? Yang di dalam masjid tidak perlu dipanggil dengan suara keras. Permintaan dari PGGKJ itu adalah permintaan mengada-ada, lebih tepat adalah permintaan dengan tujuan membelenggu syiar agama tertentu untuk menjalankan perintah agamanya.

Jika permintaan absurd itu lalu dibalas oleh komunitas muslim di tempat di mana muslim mayoritas, misal di Aceh, Madura, Sumatera Barat, dan lainnya, maka bangunan integrasi bangsa akan pecah berantakan, disebabkan sikap-sikap intoleran dari mereka yang tidak mengenal pengikat ideologi dalam berbangsa (Panca Sila).

Sedang masjid bangunannya tidak boleh lebih tinggi dari gereja, merupakan hal mengada-ada lainnya. Bangun saja gereja lebih besar dan tinggi melebihi masjid, itu hal yang wajar. Di Jawa, bangunan gereja berdiri magrong-magrong dibanding dengan bangunan masjid yang seadanya, meski jumlah komunitas muslim mayoritas di tempat itu.

Muslim tidak perlu membalas perlakuan intoleran itu. Muslim justru perlu mengajarkan pada umat-umat lainnya, bahwa tidak semata karena Panca Sila toleransi ini terbangun, tapi tidak kalah pentingnya adalah karena muslim adalah mayoritas...

Benarlah apa yang pernah dikatakan Nurcholish Madjid (Cak Nur), yang dikenal sebagai lokomotif Islam Liberal di Indonesia, yang tidak kuasa untuk tidak mengungkap sebuah fakta...

“Bahwa Islam dan umatnyalah yang memberi andil besar atas sikap toleransi dan mengokohkan pilar-pilar bermasyarakat dan bernegara di negeri ini...”

Cak Nur mengungkap itu pada “Konperensi Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, di Yogyakarta, hampir dua dekade silam.

Ucapan Cak Nur di atas adalah bentuk responsnya atas pendapat Romo Franz Magnis Suseno dalam acara yang sama. Dimana Romo Magnis mengatakan, Panca Sila-lah yang menjadi alat kohesivitas yang mempererat persatuan bangsa ini.

Menjadi keharusan bagi setiap yang beragama memiliki ruang melihat kelompok lainnya dalam keberagaman dan saling menghormati. Perlakuan intoleran, sebagaimana kasus Sentani itu, harusnya tidak mendapat tempat di negeri ini. Semua pihak mestinya bersuara lantang menentang intoleran itu atas nama Panca Sila...

Tidak malah ngumpet jika menyasar umat Islam, tidak terdengar suara penolakan atas perlakuan intoleran itu... Inilah sikap manusia ambigu di tengah gegap gempita menjunjung nilai toleransi dan penegakan hukum yang adil.

*Pemerhati Masalah Sosial

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement